04 - Buku Harian

57 9 2
                                    

Satu minggu berlalu sejak insiden penyelamatan itu. Di sekolah, sama sekali tak ada tanda-tanda kemunculan gadis aneh yang telah Billy tunda kematiannya. Tidak di kantin, di koridor, di lapangan, di perpustakaan, maupun di tempat-tempat lain yang biasa dikunjungi oleh siswa sekolah menengah atas itu.

Bahkan, si gadis tak lagi terlihat berjalan menyusuri tempat dimana kejadian itu pernah terjadi. Ia benar-benar lenyap, seolah yang terjadi hanyalah mimpi yang dialami Billy dalam tidurnya.

Meski begitu, Billy masih belum tertarik untuk membaca isi buku harian berwarna biru itu. Selain karena ia tak suka membaca sesuatu yang baginya tak penting seperti buku harian, Billy juga tak punya waktu untuk duduk dan fokus membaca bagian demi bagian yang tertulis disana.

Sejak kejadian itu, buku tersebut sudah ia keringkan terlebih dahulu. Kalau sampai dibiarkan basah, maka kumpulan kertas tersebut akan menyatu dan sulit terbaca.
Beberapa halaman terpaksa luntur karena air hujan. Sebagian yang lain hanya terkena basah di bagian bawah.

Mudah saja mengembalikan buku itu kepada pemiliknya. Sebab di bagian awal, tertulis jelas alamat lengkap dari gadis itu. Sayang, lokasinya cukup jauh dari rumah dan sekolah Billy. Karenanya, pemuda tersebut lebih memilih untuk menemukan gadis aneh itu di sekolah. Hitung-hitung memberi surprise kepada 'si gadis yang jiwanya entah kemana'.

Sudah diselamatkan, sekarang bukunya disimpan baik-baik pula. Billy telah membayangkan satu cup besar minuman segar yang akan dia dapat atas kerja kerasnya itu. Itu pun kalau si gadis berbaik hati memberinya sesuatu. Mengingat kejadian pekan lalu dimana ia pergi tanpa pamit membuat Billy kembali merasa kesal.

Betapa tidak sopannya gadis itu. Apakah ia tak pernah dididik untuk berlaku baik oleh orang tuanya? Tapi sudahlah, tak penting mengurusi sesuatu yang seperti ini. Yang pasti, kehidupan Billy yang membosankan mungkin akan jadi menarik sejak kejadian itu.

***

Pukul delapan malam. Billy baru saja pulang dari tempat bimbingan belajar. Ia buka pintu kamar dengan lesu, lalu membanting tubuhnya ke kasur tanpa lebih dulu melepas seragam sekolahnya.
Penat, ia pulang dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer karena dompetnya tertinggal di rumah. Mau meminjam uang kepada teman lain, tapi ia selalu ingat perkataan ibunya.

"Jangan mudah berhutang karena hal-hal kecil. Kalau masih bisa diatasi sendiri, maka berjuanglah. Lelaki tidak boleh membuat keputusan sembarangan. Apalagi bila akan berdampak besar di masa mendatang."

Selalu, kata-kata ini yang jadi penyemangat dikala Billy merasa hampir putus asa. Ah, ibunya memang benar-benar motivator terbaik, meski agak sedikit cerewet seperti ibu-ibu lainnya.

Billy menghela nafas sambil menatap langit-langit kamar yang dilukis dengan motif awan dan langit biru. Sengaja dibuat begitu sejak pertama kali pindah ke rumah ini agar tiap kali tidur ia merasa tenang dan damai.

Entahlah, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Sudah tiga belas hari sejak kejadian itu dan si gadis masih belum bisa ditemukan. Billy tak tahu harus mencarinya kemana lagi. Ia masih enggan pergi kerumah gadis itu untuk mengantarkan buku harian ini. Siapa dia sehingga seorang Billy yang telah menyelamatkan nyawanya juga harus jauh-jauh mengantarkan buku ini pula?

Billy mengubah posisi berbaring menjadi duduk di atas kasur. Diliriknya meja belajar kayu berwarna coklat di sudut ruangan kamar.

"Baiklah, mari kita mulai saja malam ini. Mencari informasi sebanyak-banyaknya sebelum mengerjai orang aneh itu. Hahah."

Billy berdiri, lalu berjalan menuju meja belajar tadi. Dibukanya laci di sebelah kiri meja tersebut. Dibawah tumpukan komik-komik super hero kesukaannya semasa sekolah menengah pertama, ada buku harian biru yang sengaja ia sembunyikan. Bisa gawat kalau ibu atau adiknya masuk kesini lalu mengacak-acak seisi kamar. Apalagi kalau sampai mereka melihat ada barang milik perempuan disini. Tamat sudah riwayatnya.

Demi ReinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang