13 - Pelarian

20 4 0
                                    

Aku tak lagi masuk sekolah sejak hari dimana hasil pemeriksaan kesehatan diberikan. Sebelumnya, sebenarnya beberapa kali aku telah membolos. Tapi kali ini, tak satu hari pun aku menginjakkan kaki di tempat itu lagi.

Ayah sudah menemui guruku untuk menjelaskan alasan mengapa aku tak bisa masuk sekolah untuk waktu yang cukup lama. Namun demi nama baik perusahaan ayah, kondisi kesehatanku harus disembunyikan. Itu sebabnya tak ada yang tahu mengapa aku tak masuk kelas. Mungkin mereka kira aku tengah menjalani liburan di sebuah pulau yang jauh. Pulau kapuk maksudnya. Hahah.

Tapi, bukan berarti aku benar-benar berhenti dari pendidikanku, hanya saja, anggaplah saat ini aku sedang cuti sejenak. Tak buruk juga. Menepi sebentar dari lingkungan sekolah dengan siswa-siswinya yang tak aku sukai, mungkin sedikit baik bagi kesehatanku.

Selama satu setengah bulan itu, hampir tiap hari aku pergi ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Puncaknya, ketika aku mesti dirawat karena perawatan di rumah tentu berbeda dengan yang dilakukan di rumah sakit. Tapi tetap saja, aku sering kabur seperti diriku yang biasanya.

Selang infus dan beberapa alat medis yang menempel di badanku benar-benar merepotkan. Aku tak bisa banyak bergerak. Untuk pergi ke kamar mandi pun seringkali harus memanggil perawat terlebih dahulu. Benar-benar merepotkan.

Beberapa terapi yang aku jalani pun sempat membuat rambutku sedikit rontok. Mengerikan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kepalaku dalam kondisi botak tanpa rambut sehelai pun. Mungkin akan terlihat menyeramkan seperti makhluk aneh semacam tuyul di film Harry Potter. Ahahah. Oke, ini tidak lucu. Ini mengerikan.

***

Hari ini, matahari bersinar dengan cerah. Cahayanya masuk menembus celah tirai kamar rumah sakit tempatku dirawat. Terlihat silau, tapi lebih baik karena terasa lebih hangat daripada hujan.

Dua hari lalu, aku meminta supirku untuk mengantarkan seragam sekolahku kesini. Bukan untuk pergi ke tempat itu lagi, tapi untuk berjalan-jalan keluar rumah sakit. Sungguh, cobalah tinggal disini sejenak dan kamu akan tahu bahwa disini terasa begitu membosankan.

Aku sudah merencanakan semuanya dengan baik. Setelah perawat yang bertugas merawatku mengecek semua alat medis yang melekat di tubuhku, ia pergi ke ruang lain di rumah sakit. Meninggalkan aku sendiri tanpa seorang pun yang menunggui. Ayah bekerja seperti biasa, sementara mama sibuk mengurus pentas seni yang akan dilakukan Emily bersama teman-temannya yang lain.
Yosh! Hari yang tepat untuk kabur.

Aku berhasil keluar dari rumah sakit tanpa ada yang curiga. Kalau ayah tahu, mungkin ia akan menempatkan beberapa bodyguard untuk menjagaku agar tak kabur lagi. Tapi terserah, itu urusan belakang. Yang penting, hari ini aku bisa bebas.

Sakitar dua ratus meter dari rumah sakit, aku berhenti berjalan setelah kepalaku terasa begitu berat. Segera aku duduk di sebuah kursi taman untuk beristirahat sejenak.

Baru saja akan memikirkan rencana petualangan selanjutnya, seorang pemuda memanggilku dari jarak beberapa meter.

Aku tak ingat siapa dia. Tapi aku tahu kalau orang asing ini pernah melintas di hidupku sebelumnya.

Dia bilang, dia adalah orang yang menyelamatkanku dari insiden kecelakaan yang hampir saja terjadi. Ah, aku ingat. Dia yang sudah menyentuh tanganku tanpa izin.

Alih-alih meminta uang dan benda lainnya sebagai ucapan terimakasih, ia justru memintaku untuk kembali bersekolah. Dan aku, tak mau membongkar kenyataan bahwa saat ini aku tak bisa pergi ke tempat itu karena sedang menjalani perawatan. Walau pada saat itu aku sedang memakai seragam sekolah ketika misi pelarian tengah berlangsung.

"Buku harianmu. Buku itu ada padaku sekarang."

Langkahku terhenti setelah mendengar teriakan dari pemuda itu. Ternyata benar, dia yang telah mengambil barang milikku.

Aku memintanya untuk mengembalikan buku itu, dengan imbalan apa pun yang ia mau. Uang, makanan, atau apa saja. Akan kuberikan selama aku bisa mendapatkan buku harian itu kembali.

Tapi ia tetap bersikeras menginginkan aku untuk kembali ke sekolah. Entah apa untungnya bagi orang itu melihatku disana. Yang pasti, kekesalanku membuatku harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, walau baginya penjelasanku hanya terdengar seperti cerita sinetron yang klise.

Beberapa detik setelah itu, aku mengeluarkan secarik kertas dan sebuah pena. Aku tulis nomor handphone-ku disana, agar suatu saat ia bisa menghubungiku. Walau memang di buku harian itu ada alamat lengkap, tapi aku tak yakin orang ini mau mengantarkannya.

"Hubungi aku ketika kamu ingin mengembalikan buku itu. Sekarang, simpan saja dulu."

Setelah memberikan kertas itu, aku berlalu ke arah rumah sakit. Aku ingin mengambil beberapa obat yang tertinggal di kamar. Untuk berjaga-jaga, sebab sepertinya badanku sudah terasa tidak enak.

Beru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba kepalaku semakin terasa pusing dan berat. Aku merasa hari itu langit terasa seolah berputar tiba-tiba. Tanpa sadar,  pandanganku sudah mengarah ke atas. Ke arah orang-orang yang membentuk lingkaran di atasku.

Dua detik kemudian, semuanya gelap dan aku tak bisa mengingat apa-apa.

Demi ReinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang