Harapan 28

1.8K 116 13
                                    

Lala menghembuskan nafasnya lega setelah mamah Dewa perlahan memejamkan matanya. Tangannya secara spontan mengambil sebelah tangan mamah Dewa lalu menggenggamnya erat.

"Syukurlah, kamu bisa nenangin dia." Ucap sang dokter yang baru saja selesai menarik jarum suntiknya dari mamah Dewa.

"Sekarang, ibu Mawar-mamah Dewa, sedang dalam pengaruh obat. Jadi, dia akan tidur lelap dalam beberapa jam ke depan."

Lala menganggukan kepala mengerti.

"Tapi, dok, kalau pas bangun tante Mawar bakal ngamuk lagi, nggak?" Tanya Lala.

"Biasanya sih enggak. Kondisi pasien memang sudah cukup stabil. Tapi, kadang-kadang saat dia teringat akan kejadian itu dia bisa mengamuk karena kecewa. Tapi, biasanya sifatnya sementara. Saat bangun tidur nanti, biasanya dia sudah lupa dan akan bersikap biasa saja" jelas sang dokter.

"Oleh karena itu, untuk saat ini, kalau bisa jauhkan pasien dari hal-hal yang bisa membuat pasien ingat akan kejadian pahit itu."

Lala kembali mengangguk. Lala tentu tahu kejadian pahit yang dimaksud sang dokter. Kejadian yang beberapa waktu lalu baru saja diceritakan oleh Lusi.

"Ah, ngomong-ngomong, kamu pacarnya Dewa, ya? Saya seneng Dewa dapat pacar yang mengerti keadaan ibunya." Ucap sang dokter sambil tersenyum tulus.

Lala akhirnya pun tersenyum salah tingkah. Tentu saja dia tak mempermasalahkan keadaan mamah Dewa. Tapi yang jadi masalah, Lala dan Dewa kan sudah tidak lagi berpacaran.

Tapi, apa harus Lala jelaskan pada sang dokter? Ah, Lala rasa tidak perlu. Iya, sebaiknya tidak usah dijelaskan.

"Kamu beruntung sekali bisa jadi kekasi Dewa." Tiba-tiba sang dokter kembali bicara.

"Dari dulu, sampai sekarang, dia selalu bisa meluangkan waktu untuk ibunya. Dia gak pernah marah atau sekedar nunjukin rasa lelahnya saat ibunya ngamuk tengah malam. Dia bakal tetep sabar bujuk ibunya sampai tenang."

"Kadang saya mikir, kalau sama ibunya aja dia bisa sebaik dan sesabar itu, gimana ya saat dia punya pacar? Kamu pasti dimanjain banget ya sama Dewa" dokter itu terkekeh pelan setelah mengucapkannya. Mungkin dia sedang membayangkan bagaimana manisnya Dewa terhadap Lala.

Padahal nyatanya saat berpacaran dulu, kalau dipikir-pikir lebih banyak pahitnya dari pada manisnya.

"Ah, saya jadi lancang banget ya nanyain kamu kaya gini. Maaf ya." Lala hanya mengangguk mengiyakan.

Lagian, kalau tidak mengiyakan permintaan maaf sang dokter Lala mau apa? Mau marah-marah? Kan gak mungkin ya.

"Yaudah saya permisi dulu ya. Nanti kalau Dewa dateng, suruh dia dateng ke ruangan saya." Ucap sang dokter sebelum akhirnya beranjak pergi dari ruangan itu.

Meninggalkan Lala dan Mamahnya Dewa berdua dalam ruang rawat. Dengan tangan Lala yang masih menggenggam tangan Mamah Dewa.

Beberapa saat sebelumnya...

L

ala sudah selesai mengganti pakaian untuk mulai bekerja. Hari ini, dia mendapatkan jam kerja dari sore hingga malam hari.

"Udah mau pulang, Sa?" Lala bertanya pada salah satu teman kerjanya, Sasa, saat gadis itu memasuki ruang ganti.

"Iya, La. Udah abis jam kerja gue." Ucap gadis itu.

"Rame banget ya? Capek banget kayanya." Ucap Lala basa-basi.

"Ya, lumayan sih, La. Biasalah, akhir pekan." Lala mengangguk paham.

HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang