Siswi itu melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandi, membersihkan wajahnya dengan air lalu menghembuskan nafas lelah. Seharian ini harus berpikir keras, apalagi tadi tes ketiganya.
Sebenarnya kalo nilainya enggak seri dengan Eli dan Luna di peringkat dua seharusnya ia bisa bersantai. Peringkat satu sudah mutlak si Adel. Nilai tertulisnya paling tinggi.
Alisha menyematkan rambutnya, untung enggak rontok gara-gara mikir tadi. Buat jadi anak olimp disini tak mudah. Tes ketiga ini lebih sulit, pilihannya ada dua. Pertama pembuktian rumus dan kita tak bisa nemilih sesuka hati alias kocokan. Kedua, pembimbing memberikan soal yang setara dengan olimp tingkat mudah lalu menjelaskan secara masuk akal di hadapan mereka.
Gadis itu menaruh telapak tangan di kening mencoba mengecek suhu, agak panas sih gara-gara mikir. Tapi kemudian dia melebarkan mata, meneguk salivanya susah. Samar-samar ia mendengar suara tangisan.
Alisha menoleh, mengecek pintu kamar mandi yang semuanya terbuka kecuali pintu pojok. Suasananya mendadak horor. Dia merinding teringat dulu saat masa pengenalan sekolah sempat dengar dari kaka kelas pernah ada murid yang bunuh diri di kamar mandi karena tak mampu bertahan di grand master.
Awalnya Alisha enggak percaya, tapi hari ini ia mendengar sesuatu yang ganjil. Gadis itu meremas roknya lalu memberanikan diri berjongkok mengintip. Terlihat sepatu putih yang memijak lantai, Alisha lega tapi juga terkejut karena pintu toilet yang terbuka menampakkan Callia yang keluar dari sana.
Callia tak peduli terus berjalan lalu mencuci tangan di samping Alisha yang masih melongo. Gadis itu menyadari mata Callia yang merah. Jadi tadi dia yang menangis, Alisha berdehem menguasai diri.
"Selamat ya Call lo peringkat satu fisika." Alisha berusha mengurangi suasana yang tak nyaman ini walau sebenarnya dia bingung harus apa, yang diucapkannya barusan entah tepat atau tidak di situasi ini.
Callia tak menanggapi banyak hanya mengangguk sekilas. Dia menyibukkan diri mencuci muka. Gadis itu mendekatkan wajah ke cermin, mengecek matanya lalu menoleh pada Alisha yang bersiap pergi.
"Gue ... Mata gue masih merah ya?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.
Alisha mengangguk membuatnya jadi menghela nafas. "Lo ngga papa?"
Pertanyaan itu membuatnya memejamkan mata beberapa saat. Ada saat dimana kita merasa sakit dan orang bertanya apa kita baik-baik saja justru membuat kita merasa ingin lebih banyak menangis.
Gadis berambut panjang itu mengangguk sambil menunduk berusaha menunjukkan sisi terkuatnya. Hanya dengan melihat bibir Callia yang tergigit kuat membuatnya tahu kalau temannya itu rapuh. Alisha mengelus pundak Callia berkali-kali ikut memberinya kekuatan.
Lukanya masih baru membuat Callia tak sanggup menahannya, gadis itu sedikit demi sedikit mengeluarkan tetesan air dari matanya dengan pundak yang bergetar karena terisak-isak. Alisha secara naluri memeluknya memberikan rasa nyaman dan berharap dapat mengurangi beban yang ditanggung dan Callia juga balas memeluknya erat.
Untung saja toilet sepi membuat keduanya tak merasa terganggu. Namun pikiran Callia masih berfungsi, dia juga takut tertangkap basah sedang memeluk Alisha. Nanti malah beredar kabar lesbian dari excellent. Sesegera mungkin gadis yang lebih tunggi beberapa senti dari Alisha ini menghapus air matanya dan berusaha terlihat baik-baik saja tanpa ada apapun.
"Gue boleh nginep di rumah lo ngga?" pertanyaan Callia membuat Alisha melebarkan mata terkejut dan bingung. "Hah?"
Anak Excellent tuh aneh-aneh banget. Hari pertama saja kelakuan sudah bikin Alisha heran. Masalahnya ini belum sepuluh kali bertemu, bagaimana mungkin Alisha membawa pulang seseorang?
Bagaimana nanti menjelaskan ke mamah dan papahnya? Tapi ya kasian juga sih, Kayaknya punya masalah berat.
Kenal kepribadiannya saja belum. Kalo ini anak punya karakter yang buruk gimana? Bukannya suudzon tapi apa salahnya waspada.
🎬🎬🎬
"Itu sama aja kalian berdua nggak sayang sama Callia. Kalian lupa kalo ada Callia. Dan setelah itu terjadi, dengan gampangnya Ayah ngajak tinggal bareng tanpa Ibu."
Suara itu membuat Alisha mengurungkan niat mengetuk pintu kamarnya, gadis itu kembali memegang nampan berisi air dan apel dengan kedua tangan. Mungkin lebih baik membiarkan temannya itu sendiri dulu.
"Cukup! Callia nggak mau denger. Ooooh jadi waktu itu Ayah nanya Callia bakal milih siapa diantara kalian berdua buat...."
Alisha menghembuskan nafas panjang, lalu pergi menjauhi kamar menuju ruang keluarga.
"Nggak jadi?" tanya mamahnya saat Alisha menaruh nampan di meja. Gadis itu menaruh pantatnya di sofa samping Mamah. Papahnya duduk di sofa single dengan tv yang menyala.
"Kayaknya Callia ada masalah keluarga deh Mah. Kasian, dari di sekolah nangis terus." Mamahnya mengelus pundak anaknya yang sedang prihatin itu. Papah juga ikut menoleh, menyadari anaknya sudah mulai tumbuh dewasa.
Mamah tersenyum lembut menatap Alisha. "Semua orang punya masalah. Tergantung orang yang mengahadapi, kalo dia emang orang yang lapang dada dan sabar dia nggak bakal menganggap masalahnya itu batu besar yang menghalangi jalannya. Ya memang sih, ada kalanya manusia itu merasa di titik yang paling rendah. Adakalanya juga dia merasa ditinggal oleh orang-orang tercintanya tapi semua itu pasti berlalu. Yang paling penting itu jangan nyerah buat tersenyum lagi. Pasti ada orang yang sayang sama dia. Jangan lupa juga kita buat menghargai keputusan orang. Jangan egois."
🎬🎬🎬
Alisha memperhatikan Callia yang duduk termenung di dekat jendela sedang melihat bintang. Gadis itu agak ragu juga apa waktunya tepat buat menyapa. Tapi kemudian mendudukkan dirinya di samping Callia.
Gadis berambut panjang itu bahkan tak menyadari keberadaan Alisha jika tak menepuk pundaknya. "Lo udah ngabarin keluarga nginep disini?"
Alisha tipe anak yang enggak enakan, dia kebanyakan mikir tentang waktunya tepat atau tidak. Dia terlalu banyak takut salah. Dia takut bakal membuat Callia menangis lagi atau malah tambah menyakiti. Atau juga takut Callia berpikir Alisha enggak suka dia menginap di rumahnya dan mengira Alisha sedang mengusir.
"Belum." Callia menggeleng setelah beberapa saat diam membuat Alisha semakin lekat menatapnya.
"keluarga lo pasti khawatir nyariin."
Nah kan, Callia menutup mata dengan tangan kirinya. Dia menangis lagi bikin Alisha merasa jahat gara-gara salah ngomong. Alisha menepuk bahu temannya yang bergetar berusaha menenangkan.
"Sha, gue bahkan sekarang nggak sanggup buat hadapi ini." Callia tahu, seharusnya dia enggak menahan semuanya sendiri. Ini bukan kontes kekuatan, ini adalah bebannya. Ini masalah hidupnya.
Callia masih menjeda kalimat selanjutnya, matanya menatap langit kamar dengan bibir bawah yang digigitnya kuat. Setelah dirasa sanggup dia mulai membuka mulutnya.
"Hari ini gue ngabarin mereka kalo gue peringkat satu fisika, tanggapan mereka gembira. Tapi kejutan itu seakan bikin istana yang udah gue rancang runtuh seketika saat gue mulai membangunnya." Callia tersenyum miris. Merasa dirinya benar-benar menyedihkan.
"Mereka pisah di hari pertama masuk sekolah impian gue. Dan gue mempersembahkan mimpi itu buat siapa sekarang? Mereka itu benteng gue. Mereka alasan kenapa gue baca buku sampe begadang tiap malem. Semuanya jadi kacau kaya gini. Percuma gue tuh belajar. Sia-sia."
Mendengar itu membuat Alisha jadi ikut meneteskan air mata, dia bisa memahami apa yang Callia bicarakan. Alisha kembali memeluk Callia yang sekarang menangis lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glass Bead
Teen Fiction"Nomer lo?" "Nomer apa ka?" Cewek itu bukannya bego. Dia hanya punya jawaban bercabang seperti nomor sepatu, dia kan lagi pake sepatu atau nomor loker dan mungkin juga nomor keberuntungan. Siapa tau kan cowok itu mau nanya gitu. -Nggak semua manusia...