Alisha menghembuskan nafas, menuruni tangga yang sepi itu menuju lantai dua. Siswi itu membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Yaiyalah, dia pasti ketahuan pas melirikin Ezra tadi.
Lagian walaupun Ezra nggak nengok juga kerasa lagi diliatin. Cowok itukan terlalu pinter. Alisha menggeleng kuat, jangan-jangan Ezra suudzon kalo Alisha naksir. Dih, nggak lah.
Tapi kan bisa jadi.
Cuman nentuin iya atau enggak aja harus perang batin dulu, dasar Alisha. Untung dunia nggak ikutan perang ngikutin batin Alisha.
Langkahnya terhenti melihat seseorang yang bersandar pada dinding sedang memegangi dadanya, matanya juga terpejam. Alisha kenal dan paham, dia itu temen sekelasnya. Luna, si cewek cantik dan kalem yang pernah ngambilin pulpen Alisha dulu pas pertama tes Olimp.
"Luna, lo ngga papa?" Tanya Alisha setelah mendekat. Gadis itu mengangguk pelan menahan sakit.
"Sini sini. Duduk dulu." Kata Alisha sambil menuntun lengan Luna menyuruh duduk pada bangku terdekat di koridor.
"Lo serius ngga papa?" Tanya Alisha menatap khawatir. Lagi lagi Luna mengangguk meski terlihat susah bernafas.
"Enggak pulang? Mau gue anterin?"
Alisha mau nganterin pake apaan? Mamahnya aja belum jemput.
"Jemputan gue bentar lagi dateng kok." Jawab Luna tersenyum.
"Lo lagian lagi sakit kenapa berangkat sih?"
"Gue kan nggak lolos matematika, jadi gue ikut KIR. Hari ini pertama mulai. Nggak mungkin gue cuman jadi pengisi kelas Excellent yang kosong. Gue juga pengen punya peran. Masuk ke Excellent susah payah tapi cuman jadi murid biasa aja." Suaranya melemah membuat Alisha makin tak tega.
Padahal niatnya itu mau bilang mending istirahat dulu sampe sembuh baru sekolah lagi. Tapi jawabannya nggak ada di tebakan Alisha sama sekali.
Alisha cuman manggut-manggut, sekalian ajalah nunggu mamahnya disini sama Luna. Kalo nunggu di halte atau bangku dekat taman nggak enak, udah sepi, deket pohon pula, mana sekarang udah jam setengah enam.
Serem.
Luna memegangi dadanya makin erat dengan nafas yang terengah-engah membuat Alisha menoleh. Gadis itu membelalakkan mata saat Luna menaik turunkan kepala kesusahan bernafas. Mirip kayak orang lagi sakaratul maut.
Alisha berdiri, dia tengak-tengok panik. Bingung minta tolong sama siapa karena koridor sekarang sepi. Di sekolah ini pasti masih ada orang tapikan enggak tau dimana manusia itu pada ngumpul.
Dia sekarang ngeblank apalagi lihat Luna yang kelihatan makin kesakitan. Sampai entah darimana Brian datang, cowok itu kayaknya mau pulang karena sudah pakai jaket dengan tas yang di gendong rapi.
"Sha kancingnya buka." perintah Brian menunjuk pada Alisha, menyuruhnya membuka kancing Luna biar nggak terlalu sesak nafas. Gadis itu masih panik malah ikutan pegang kancing bajunya sendiri. "Kok dibuka sih?" Dia sudah berkaca-kaca juga gara-gara takut.
Brian nggak bisa ngandelin Alisha, cowok itu akhirnya jongkok membuka kancing paling atas seragam Luna. Nggak enak sih si Brian, tapi masalahnya Alisha lagi lemot. Mau nyuruh sampe Alisha paham ntar keburu Luna enggak tertolong.
"Lo turun sana ke parkiran. Cari mobil buat bawa Luna. Buruan!" perintah Brian masih menenangkan Luna biar nggak nangis.
"Lun, dengerin gue. Jangan nangis. Hirup udara sebanyak mungkin. Tenang Lun." Ucap Brian lalu menaruh tas sembarang dan membuka jaketnya.
Alisha nurut, dengan kaki yang agak bergetar juga dia berlari cepat sesuai yang Brian suruh. Tangannya meremas rok kuat.
Dari koridor lantai satu dia melihat Ezra membuka pintu mobilnya di parkiran. "Ka Ezra." panggil Alisha tanpa pikir panjang membuat cowok itu menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glass Bead
Teen Fiction"Nomer lo?" "Nomer apa ka?" Cewek itu bukannya bego. Dia hanya punya jawaban bercabang seperti nomor sepatu, dia kan lagi pake sepatu atau nomor loker dan mungkin juga nomor keberuntungan. Siapa tau kan cowok itu mau nanya gitu. -Nggak semua manusia...