Sudah hampir setengah jam menunggu Ezra, tapi pembimbingnya tak kunjung datang. Alisha bahkan menelfon dan mengirimi pesan berkali-kali. Gitu ya, seenaknya mentang-mentang pembimbing.
Sementara Eli masih membuka-buka buku, dia terlihat telaten dan teliti. Pantas ya orang kaya dia jadi anak Olimp. Dia juga terlihat pekerja keras, dia sangat fokus dengan matematikanya. Wah, Alisha iri. Sementara Adel hari ini entah kemana padahal dia terlihat masuk kelas dari pagi.
Beberapa kali melongok ke jendela, gadis dengan bando kecil berwarna hitam memasang headset. Matanya menyipit, melihat pemuda yang sedang mendrible bola. Kaindra.
Ah, masa bodoh. Alisha melipat tangan ke meja, meletakan kepala ke atasnya. Melihat langit sore yang masih menyisakan warna biru dan awan putih. Menikmati semua ini tanpa Ezra sambil mendengarkan musik.
Gadis itu mengerjap, di depannya sudah ada buku yang tersender ke jendela jadi ia tak silau oleh cahaya oranye yang tajam. Entah siapa yang menaruh. Alunan musik masih terdengar dari headset. Ah, ia ketiduran.
Mendapati kursi di depannya kosong. Eli kemana? Alisha menutup mulutnya yg sedang menguap. Tubuhnya merasa pegal.
Ezra dan Bellva menghampiri Alisha yang masih berusaha mengumpulkan nyawa. Mereka berdua gandengan tangan sambil tertawa.
Pembimbingnya duduk di sebelah kiri Alisha. "Malah enak-enakan molor, soal yang gue kasih udah?" Sepertinya memang siswi yang paling dibenci Ezra itu dirinya.
"Udah ka." Ia menggeser lembaran kertas ke depan tempat duduk Ezra. Alisha melepaskan headset dari telinganya.
Bellva tanpa permisi mengambil sebelah headset yang tergeletak begitu saja dan mendekatkan ke telinga.
"Lo dengerin musik nya Frank Ocean? Wah. itu musik nya bagus banget loh. Gue suka. Apalagi yang Thinkin Bout You." Entah kenapa hari ini Bellva terlihat menyenangkan. Ia tak dingin, bahkan terkesan antusias dengan headset di telinganya. Alisha berekspresi seadanya.
"Masih ngantuk ya lo?" Muka bantal banget kayaknya si Alisha atau Bellva yang terlalu peka. Daripada dikira nyolot, Alisha jawab dengan cengiran bodohnya.
Alisha masih belum melupakan sikap Bellva yang kemarin. Gadis itu malah sedang memikirkan hal positif 'Mungkin kemarin juga Bellva lagi kesambet sundel bolong.'
"Yaudah tidur aja dulu selama Ezra ngoreksi." Gadis cantik berkulit putih itu tersenyum hangat. Hati Alisha kembali berpikir jika Bellva ini sebenarnya baik.
Alisha menoleh pada Ezra. Bisa saja pemuda itu tiba-tiba marah seperti kemarin. Dia kan pemarah yang tak mudah ditebak.
Ezra melirik tanpa minat. "Apa!? Yaudah tidur aja. Ntar dibangunin kalo udah selesai." Suara Ezra terdengar ketus.
Melanjutkan tidur yang tertunda, Alisha kembali memasang headset dan menjatuhkan wajah mengahadap Ezra dengan tangan sebagai bantal tapi tak nyaman, ia merasa tidak tenang, lalu mengganti posisi jadi menghadap jendela.
berawal dari fokus dengan alunan musik, siswi itu semakin menikmati dan kembali ke tempat yang dinamakan mimpi.
Samar dia mendengar suara Eli. "Maaf ka telat. Habis dari kamar mandi."
🎬🎬🎬
Alisha menyadarkan tubuhnya dengan mengerjapkan mata. Lagi dan lagi di depannya sudah tersender buku pada jendela yang membuat wajah cantiknya terhalang sinar matahari.
Gadis itu menguap dan melihat arloji. Ternyata udah sejam terpejam. Perasaannya baru sebentar. Ezra bilang mau dibangunkan, ini malah ditinggal. Apa dia kebo banget ya tadi sampai tak bisa dibangunkan.
Atau mungkin kedua kaka kelasnya sengaja meninggalkannya ketiduran sampai malam, dan Eli juga nggak ada rasa kasian buat bangunin Alisha apa?
Kenapa kehidupan Grand Master keras sih? Apa karena di jakarta?
Terlihat disampingnya ada kertas soal sudah tertata rapi, dibawahnya ada beberapa buku tulis yang tak Alisha tahu pemiliknya.
'Yang salah lo kerjain ulang, terus kasih ke kelas gue. Sekalian bawain buku gue sama Bellva.'
Alisha menghela nafas, mengetahui siapa yang menulis kemudian mengecek berapa banyak jawaban salah.
Sepuluh soal dicoret Ezra membuat Alisha merasa cemas. Warna bolpoinnya merah dan juga garis coretan nya panjang membuat Alisha berpikir itu adalah peringatan. Meski begitu ada secuil perasaan lega karena ada peningkatan yang artinya pengorbananya sampai lembur itu sedikit demi sedikit membuahkan hasil.
🎬🎬🎬
Alisha menggigit bolpoinnya, kenapa soal sisa terasa sulit. Belum lagi perasaannya tak tenang karena tinggal sendirian diruangan persegi itu. Pukul enam sore, lampu di sekolah bahkan Sudah dinyalakan.
Pikirannya sulit berkonsentrasi karena tak tenang. Gimana kalo ada siswi yanh sudah tak bernyawa menyapa. Jam segini kan rawan ada hantu. Alisha mengambil hapenya, memencet Nomor yang dikira dapat membantunya.
"Halo." Suara dari seberang membuat Alisha tersenyum lega. "Halo Va."
"Ini gue Arka. Kenapa Sha?"
"Bang Arka Alvanya mana?"
"Yee dasar adek durhaka. Gue sama Arka seumuran tapi cuman gue yang dipanggil Abang."
"Tau ah bang. Nggak ada waktu buat bahas gituan."
"Alva lagi di kamar mandi. Bentar lagi keluar kayaknya udah tiga jam disana, tadi sih masih konser kayaknya." Detik kemudian terdengar kekehan Arka.
"Tau deh bang, nggak jelas banget lo. telfon nya jangan dimatiin. Deketin ke tv bang biar ada suara gitu nggak hening."
"Lo dimana sih? halo halo. Masih nyambung tapi enggak dijawab. Gue matiin aja."
"Jangan bang. Dih kan Alisha bilang biarin aja. Udah jangan ganggu. Pokoknya jangan dimatiin terus dideketin ke tv."
"Yee.. Bocah, adanya tuh lo yang ganggu. Udah ah. Gue matiin aja. Nggak boleh boros kuota, lo harus inget diluar sana masih banyak orang yang nggak punya kuota."
"Bang!"
"Iya iya.. Galak banget deh."
Alisha menghembuskan nafas lelah. Nyebelin nya banyak ya Bang Arka tuh nggak jauh beda sama Alva.
Suar berisik yang Alisha kira dari televisi itu membuatnya merasa ada makhluk hidup. Seenggaknya masih ada suara orang gitu. Kalo pun ada yang ngga beres dia bisa cepat meminta tolong Arka atau Alva.
Alisha kembali berkutat dengan tiga soal di depannya sementara siswa satu persatu mulai meninggalkan sekolah.
🎬🎬🎬
"Ezra plis, gue mohon. Bantuin gue plis!" Siswi dengan rambut panjang bergelombang itu menyatukan tangan di depan dada. Tampak sangat bersunggung-sungguh meminta bantuan.
Ezra menanggapi dengan menaruh tangan di depan dada, terlihat angkuh dan sombong. "Ini bukan pertama kalinya ya San, gue nggak mau. Lo pikir gue apaan hah?"
"Tapi Zra, lo pikir Gue mau kaya gini? Zra plis. Nggak lama kok selesain laporan. Ayo dong. Lo jahat sama gue?" Siswi itu menunduk dalam tapi Ezra masih pada Pendiriannya.
"Gue capek. Lo tau ngga? Emang ngga ada yang lain? Kenapa gue hah!" Suaranya sedikit meninggi membuat siswi itu terkejut. Termasuk Alisha yang daritadi tak sengaja menguping. Ezra serem banget.
Masih tak ingin menyerah, gadis di depan Ezra memegang lengannya. Kayaknya dia benar-benar butuh bantuan. "Tau ah. Gue udah bilang enggak!" Pemuda itu acuh tak acuh meninggalkannya.
Alisha segera memasang wajah tak tahunya. Berusaha betsikap biasa saja saat Ezra melihatnya berdiri di ujung koridor. "Eum, ka. Ini u-udah." Dia menyerahkan beberapa buku dan kertas.
Pemuda itu mengambil tanpa kata dan segera berlalu. Alisha bergidik ngeri. Ezra makhluk apa sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Glass Bead
Teen Fiction"Nomer lo?" "Nomer apa ka?" Cewek itu bukannya bego. Dia hanya punya jawaban bercabang seperti nomor sepatu, dia kan lagi pake sepatu atau nomor loker dan mungkin juga nomor keberuntungan. Siapa tau kan cowok itu mau nanya gitu. -Nggak semua manusia...