Alva memanyunkan bibir memandangi Alisha dari samping. Pemuda itu menaruh tangan di pinggang menatap Alisha yang masih tak peduli. "Lo yakin Cha? Gue pergi beneran nih."
Sudah ketiga kalinya cowok itu bolak-balik ke rumah Alisha hanya untuk membujuk pergi. Alisha semakin sibuk menghitung, dia mengangguk tegas tanpa melihat Alva. "Cha yaampun. Gue pengen liburan sama lo. Ayo dong."
Kesal karena tak ditanggapi, pemuda itu duduk di lantai menyenderkan kepala di meja belajar Alisha. "Ahhh.. Chacha ayo dong.. Gue maunya jalan sama lo." Anehnya cowok itu menggerakkan kaki Alisha memohon. Persis anak kecil yang minta duit ke mamanya buat beli petasan pas ramadhan.
Alisha mendelik, membuat pemuda itu merunduk takut. "Kan gue udah bilang pergi sendiri aja. Gue sibuk. Temen lo kan banyak. Kalo gue nggak nyelesaiin dimarahin sama pembimbing, lo tega liat gue dimarahin?"
Alva berdiri tegak, melebarkan mata tak percaya. "Pembimbing lo suka marahin lo? Serius? Kurang ajar tuh Pak pembimbing marahin adek gue. Udah tua, keriput tukang marah lagi." Omelnya justru membuat Alisha kebingungan.
"hah? Lo ngomong apa sih?" Cewek itu menatap Alva. Dia mengabaikan soal di depannya.
"Pembimbing lo tuh. Gara-gara dia kita nggak jadi ke pantai kan? Lagian apa haknya coba ngatur-ngatur kehidupan weekend kita. Pake nyuruh dateng ke rumahnya pula. Ah dasar pak tua botak."
Lagi, Alisha yang tak paham hanya melongo. "Walaupun gue belum tau mukanya ya cha. Gue udah bisa nebak muka pembimbing lo tuh keriput, botak setengah, kacamataan, terus disini nih ada kerutan tiga." Alva menunjuk keningnya sendiri.
Alisha merapatkan bibir, hampir aja ketawa. "Terus nih, dari rumahnya yang gede begitu pasti istrinya banyak. Kayaknya dua apa tiga gitu. jangan-jangan malah empat. Dih gila aja tuh bapak-bapak."
Aneh melihat pemuda itu marah-marah Alisha mengangguk kuat ikut menyetujui. "Bener tuh. Udah jelek nyebelin lagi."
Kesempatan aja tuh buat Alisha meluapkan kekesalannya pada Ezra tanpa diketahui. Cewek itu pernah diajarin oleh Alva kalo mau ngatain boleh asal jangan sampai ketahuan. Dan itu dilakukan sekarang. Toh Ezra juga enggak bakal tau.
"Yaudah. Makanya pergi yuk." Ajak Alva kesekian kalinya yang ditanggapi gelengan. "Masih banyak yang harus gue kerjain. Lo sama temen lo aja deh."
"Tapi lo nggak papa gue tinggal? Ntar kangen lagi." Alisha menghembuskan nafas lewat mulut. Tak ada kata sabar lagi buat menghadapi Alva. "Pergi nggak lo!" Bentaknya membuat pemuda itu terkekeh.
"Yaudah deh. Gue sama temen-temen aja. Kakanda pergi dulu ya cantik." Alva mengacak rambut Alisha dan segera berlalu sebelum cewek itu berubah menjadi macan betina.
🎬🎬🎬
Gadis dengan rambut yabg diikat asal-asalan itu memijat pelipisnya. Merasa pusing dan jenuh selama dua hari di dalam kamar. Belum lagi karena puluhan kertas dan tumpukan buku di depannya.
Meski merasa seperti akan mati karena beban dan tanggung jawab dari kertas-kertas itu, dia tetap mengerjakannya. Masih lima puluh nomer lagi. Tekad dan keinginannya tak bisa terkalahkan dengan lelahnya belajar.
Alisha masih memandangi pesan dari Ezra yang dikirim kemarin malam membuatnya merasa semangat menyelesaikannya. Karena bukan hanya satu dua soal yang sulit untuk di pecahkan.
'Ka Ezra GALAK'
Kalo lo capek belajar. Lo harus mau nerima susahnya jadi orang bego!
Dia nggak boleh menyerah. Waktunya hanya untuk belajar. Malam kemarin dia lembur sampai pukul setengah satu pagi lalu memasang alarm pukul empat pagi dan mulai berjuang dengan angka-angka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glass Bead
Teen Fiction"Nomer lo?" "Nomer apa ka?" Cewek itu bukannya bego. Dia hanya punya jawaban bercabang seperti nomor sepatu, dia kan lagi pake sepatu atau nomor loker dan mungkin juga nomor keberuntungan. Siapa tau kan cowok itu mau nanya gitu. -Nggak semua manusia...