Kerjaan enggak bakal selesai dengan baik kalo enggak dijalani pakai hati yang tulus dan ikhlas. Apalagi kalau harus menggunakan otak, ya walaupun buat orang cerdas mah bebas. Mood atau enggak, enggak bakal jadi bego.
Alisha menghembuskan nafas lemas meski sebenernya lebih ke memelas. Dia tuh sudah kayak pembantu yang lagi menunggu majikannya makan. Duduk dibawah dengan beberapa kertas yang tergeletak di lantai dan sesekali melirik ke meja. Hawanya tuh nelangsa banget. Mana enggak ada yang peduli lagi.
"Udah selese?" Tanya Ezra yang tadi memergoki Alisha menoleh ke arahnya.
Alisha menunduk dan menggeleng. Yang bikin greget itu ekspresinya kayak lagi dimarahin sama majikan.
"Kak, pulang duluan boleh?" Tanya Eli membuat Ezra mengalihkan perhatian.
"Udah selese semua kan? Enggak ada yang mau ditanyain?" Pemuda itu bertanya baik-baik karena siswi itu daritadi enggak bikin masalah. Jawabannya juga sudah Ezra koreksi.
Eli mengangguk membuat Ezra membiarkannya pergi meninggalkan ruangan lalu pembimbing itu mulai fokus lagi pada Adel yang masih memperbaiki jawaban.
Alisha melengos, ingin sekali menangis terus mengadu ke mamahnya. Tapi kemudian menggeleng.
'Ah lebay, gini doang nangis. Enggak. Ini mah bisa lo lewatin.'
Alisha melirik ke kaki kirinya yang tanpa sepatu membuatnya terasa menyedihkan. Duh, baperan banget sih.
Gadis itu menunduk berusaha buat enggak memikirkan keadaannya sekarang. Dia harus fokus dengan lima soal lagi atau kalo enggak pasti dimarahin. Tapi soalnya bikin Alisha muak karena enggak paham.
Diam-diam dia menjambak rambut. Padahal dulu dia suka banget sama matematika, tapi kenapa saat ini terasa menyebalkan. Ini ya suka dukanya matematika.
"Udah sinih. Duduk." Ucapan Ezra membuat Alisha menoleh. Udah sepi, kapan Adel pulang? Kok nggak sadar sih? Pasti gara-gara sibuk meratapi diri.
Siswi itu menurut, memunguti kertas dan menaruhnya ke meja di depan Ezra. Bahkan sampai saat ini Alisha masih enggak mau menatap pembimbingnya. Pertama karena dia takut. Kedua, dia enek, sebel dan benci dengan pemuda di depannya.
Ezra mengambil lembar jawaban Alisha. "Biar cepet selese gue ngoreksi sambil nunggu lo nyelesaiin." Ucapannya biasa saja tapi terdengar tak menyenangkan di telinga Alisha.
"Lo buruk banget ya di geometri. Banyakin latian bab geometri lagi. Gue tau emang nggak sesederhana itu tapi kalo lo terbiasa sama geometri bakal gampang buat nyelesein soal yang kaya gini." Ezra menunjuk soal yang masih kosong karena enggak Alisha isi.
🎬🎬🎬
Alisha terduduk di salah satu kursi dekat pintu gedung pool indoor. Tangannya menghapus air mata yang sedari tadi turun. Rasanya tuh mau ngamuk deh sama Ezra. Bisa-bisanya dia tuh buang sepatunya ke kolam renang yang dalam dan luas itu.
Sampai sekarang gadis itu enggak habis pikir Ezra setega itu. Dari tadi Alisha sudah kebingungan bagaimana cara mengambilnya karena dia enggak bisa berenang, dan juga dia kan enggak bawa baju ganti. Selain itu, dia daritadi mencari alat buat mengambilnya. Tapi enggak ketemu.
Apa pakai galah dekat kantin yang waktu itu dipake buat mengambil sepatu bareng Callia? Tapi itu kan jauh banget. Ibarat tuh dari sabang ke meraukenya Grand Master.
Alisha melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul enam sore. Anak-anak sudah pulang, termasuk Callia. Beberapa atlet renang juga sudah enggak ada, tinggal menyisakan satu dua anak yang masih ingin latihan. Gadis itu menghembuskan nafas frustasi. Rasanya pengin meninju Ezra terus menendangnya ke kolam renang.
"Eh, lo siapa?" Suara itu membuat Alisha menunduk lebih dalam. Menutupi wajah dengan rambut yang tergerai ke depan.
"Atlet renang?" Tanyanya yang langsung dijawab gelengan. Walaupun enggak mendongak tapi Alisha tau cowok itu berdiri di sampingnya. Duh, dia siapa sih. Kenapa enggak pergi.
"Terus lo siapa? Jangan-jangan lo mau.... Ooh... Lo pacarnya Gio ya?" Nadanya itu terdengar menuduh tapi kemudian kegirangan kayak sudah berhasil menebak teka-teki, padahal mah salah.
Siapa sih cowok ini? Atlet? Atau Dylan tukang ramal? Ah nggak mungkin. Dia itu cowok sok tau. Mending bener, salah lagi tebakannya.
"Bentar ya gue panggilin." Ucap cowok itu hampir berlalu menemui yang namanya Gio Gio itu kalau Alisha enggak menahan tangannya.
Gadis itu jadi terpaksa mendongak memperlihatkan wajahnya yang membuat cowok itu terkejut. Mata merah, pipi basah, ingusan lagi. Malu-maluin banget. Tapi kemudian Alisha menunduk lagi.
"Heh lo kenapa? Habis diputusin ya?" Katanya menatap Alisha lekat dengan nada suara yang mengejek.
'Sabar Sha, lo harus sabar.'
Cowok ini tuh sok tau banget deh. Mending kenal, wajah aja Alisha enggak paham. Cewek berambut panjang sebahu itu menggeleng tapi masih menutupi mukanya.
"Terus lo kenapa nangis? Belum di jemput? Mau minta anter gue?" Sumpah ini cowok kalo Alisha enggak sabar udah ditendang ke kolam renang.
"Lo tuh enggak jelas banget jadi cewek. Maunya apa sih?" Katanya dengan nada kesal setelah melihat Alisha menggelengkan kepala tanpa suara untuk kesekian kalinya.
Lagian siapa yang suruh buat meladeni Alisha. Mau sendiri kok ngamuk sendiri. Kalo enggak kuat mah mending angkat tangan gitu. Pergi misalnya.
Dasar bego.
Alisha yang tadinya ragu karena dia cowok asing akhirnya memberanikan diri buat menunjuk kolam renang. Bermaksud memberi tahu kalo sepatunya di sana.
Cowok itu paham, lalu manggut-manggut. "Ooh, gitu doang. Bilang dong jangan geleng-geleng doang. Kalo bisa mulutnya dipake biar orang nggak salah paham ngira lo bisu." Tanpa jeda cowok itu berjalan ke kolam renang di depan mereka lalu menceburkan diri.
Gadis itu membelalakkan mata tak percaya, dia berjalan maju beberapa langkah melihat cowok itu berenang ke tengah mengambil sepatu putih. Masalahnya cowok itu masih pakai seragam sekolah. Besok pakai baju apa?
"Nih." Katanya menaruh sepatu basah di depan Alisha tapi gadis itu malah tak peduli. Dia memandangi seragam cowok itu yang basah dengan mulut sedikit terbuka.
Enggak enak jadi merepotkan. Apalagi enggak kenal. Padahal Alisha tak menyuruh, tapi merasa bersalah banget.
Ezra menjauhkan kaki dari pintu setelah melihat cowok itu menaruh sepatu basah di depan Alisha. Pemuda itu juga masih punya perasaan, kalau si Alisha belum mengambil sepatu, niatnya mau diambilin.
Tapi dia urung setelah melihat sepatu itu sudah di atas lantai, bukan diatas air lagi. Ezra melakukan itu juga dengan alasan, karena nggak mungkin siswi Excellent Grand Master itu enggak disiplin.
"Baju lo." Ucap Alisha menyentuh ujung lengan kemeja putih di badan cowok itu.
Seolah paham, apalagi setelah lihat ekspresi Alisha, dia menyingkirkan tangan cewek itu halus. "Udah enggak papa. Gini doang. Baju gue bisa di cuci atau beli lagi di koperasi. Tuh sepatunya, udah gih sana pulang. Udah mau setengah Tujuh. Lo belum di jemput? Apa mau gue anter?"
Alisha enggak mau merepotkan lagi, dia menolak halus.
"Makasih." Ucapnya menunduk. Saking enggak enaknya Alisha sampai menunduk terus dari cowok di depannya. Siswi itu mengambil sepatunya dan berlari menuju pintu keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glass Bead
Teen Fiction"Nomer lo?" "Nomer apa ka?" Cewek itu bukannya bego. Dia hanya punya jawaban bercabang seperti nomor sepatu, dia kan lagi pake sepatu atau nomor loker dan mungkin juga nomor keberuntungan. Siapa tau kan cowok itu mau nanya gitu. -Nggak semua manusia...