Alisha membanting hpnya sembarangan. Dia sudah puluhan kali memandangi nomor Ezra, ragu apakah harus menelfon atau tidak.
Ezra yang terakhir kali sudah marah tingkat akut kaya lagi kesambet genderuwo. Alisha merinding sendiri membayangkan tadi siang. Ah, tapi dia juga kesal dengan Ezra. Apa mending nyerah aja? jadi anak Excellent yang biasa-biasa aja.
Cewek dengan celana pendek itu menuruni tangga menuju dapur. Melirik mama dan papanya sedang menonton tv bersama. Dia membuka kulkas, mencari eskrim vanila satu-satunya.
"Mah, es krimnya mana? Mamah yang makan?" Teriaknya dari ruangan berbeda.
"Enggak sayang. Mamah nggak makan."
Alisha berjalan mendekat pada mamahnya. "Kok eskrim nya enggak ada? Papah ya?" Tanyanya menyelidik. Lelaki paruh baya itu terkekeh, jarang kan ya liat bapak-bapak doyan eskrim.
"Bukan juga sayang. Tadi Alva yang makan. Dia kesini nyariin kamu tapi belum pulang."
Alisha membulatkan mata. "Serius mah? Jam berapa?" tanyanya sambil berbinar.
"Tadi jam lima an."
Alisha melihat jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Dia beranjak menuju pintu dengan semangat tapi kemudian berbalik lagi. "Nggak jadi kerumah Alva?" Tanya papah.
"Nggak ah, ntar juga kesini bentar lagi." Jawab Alisha menaiki tangga menuju kamar.
Cewek dengan rambut yang diikat asal itu kembali memandangi hapenya. Kok Alva enggak kasih kabar sih?
Alisha menghembuskan nafas, ngapain sih mikirin Alva. Sekarang prioritasnya itu Ezra, dia harus bertahan atau enggak. Disatu sisi Alisha pengen hidup tentram juga, entah kenapa setelah jadi anak Olimp hidupnya terasa lebih nggak tenang. Membuatnya nggak nyaman.
Tapi disisi lain dia juga nggak pengen ditendang secara brutal dari Ezra. Dia masih pengen memperjuangkan hasil yang udah di dapat dari belajar lemburnya berbulan-bulan.
Satu ide muncul di otak nya. Dengan cepat tangannya meraih hape. Mengetik pesan permintaan maaf. Kalo sekali ini nggak di bales berarti Alisha nggak berlanjut.
Hampir lima belas menit dia bolak-balik melihat hapenya, masih menanti balasan dari Ezra. Alisha jadi resah sendiri. Dia menyenderkan kakinya pada dinding belakang tempat tidur. Jangan kan di bales di baca aja enggak.
"Sayangku Chacha..." suara itu terdengar beriringan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Alisha yang terkejut refleks berdiri diatas tempat tidurnya.
"Alva!" teriaknya melotot.
"Uuuu... Tayang, Abang pulang kok nggak di sambut?" Katanya sok imut mendekat. Alisha melempar bantalnya. Kesal tapi rindu.
"Sebel gue! Lo tuh kan udah gue bilang kalo masuk tuh ketok. Gue kan cewek!" Teriaknya lagi sambil menunjuk geram.
Alva duduk di ranjang. Matanya mendongak melihat Alisha yang berdiri di tempat. "sapa yang biang lo cowok?"
"Alva! Lo tuh nyebelin yah. Kan gue udah gede. Udah ada privasi!" Alisha masih menatap Alva nyalang.
"eh eh eh... Lo kok manggil gue sembarangan sih. Panggil kakanda dong. Lo kan lebih muda."
"Udah sana pergi. Kesel gue. Pergi nggak lo." Alisha mendorong tubuh Alva. Tapi cowok itu menahannya. "Gue kan kesini kangen. Lo malah ngusir gue. Lo juga kangen kan?" tanyanya meledek.
Dalam hati Alisha mengiyakan. Tapi kemudian malanjutkan mendorong tubuh Alva menuju pintu. "Kangen kangen pala lo! Kalo kangen kasih oleh-oleh. Jangan kaya bang toyib, bilang beli berlian balik bawa tangan kosong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Glass Bead
Teen Fiction"Nomer lo?" "Nomer apa ka?" Cewek itu bukannya bego. Dia hanya punya jawaban bercabang seperti nomor sepatu, dia kan lagi pake sepatu atau nomor loker dan mungkin juga nomor keberuntungan. Siapa tau kan cowok itu mau nanya gitu. -Nggak semua manusia...