[Bahasa] 15+
❝You're mine, and always be mine.❞
Ketika cinta membutakan seseorang dalam cara pandangnya terhadap orang lain, dan melegalkan segala cara agar dapat mencapai apa yang ia tuju.
Started : April 2, 2019
Ended : June 17, 2019
• Thriller/ps...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hyunjin's POV
Pupus harapan.
Itulah yang terjadi padaku, aku rasa memang tak ada gunanya untuk hidup setelah apa yang aku lakukan juga aku ragu apakah hidupku ini masih ada manfaatnya?
Ibuku terus-menerus memberiku banyak semangat, tapi aku masih saja merasa bahwa hidupku ini sia-sia.
Banyak sekali media yang meliput ke rumah keluargaku, entah aku pun bingung bagaimana mereka semua bisa mengetahui semua ini.
Ibu mungkin merasa iba dengan keadaanku, si anak psikopat nan brengsek ini. Tapi tidak dengan Ayah, ia marah, marah sekali dengan perbuatanku. Hampir saja malam itu aku mati terbunuh di tangannya, beruntung Ibu menghalangi dan berusaha menjelaskan kerapuhanku saat ini.
Tapi aku pikir, ini beruntung atau merugikan?
Entahlah.
Tiba-tiba aku memekik kaget saat melihat berita di televisi saat pagi hari. Di sana terpampang fotoku dan berbagai macam pernyataan yang seketika membuat kepalaku pening.
"Shh.." aku mengeluh sakit ketika melihat berita pembunuhan yang mereka bilang adalah aku pelakunya.
"Hyunjin? Nak?"
"Hyunjin!" dan saat itu juga, pandanganku menjadi benar-benar gelap.
Saat terbangun, ternyata aku dibaringkan di ranjang tidurku tetapi anehnya ada sebuah selang infus yang mengalirkan cairan itu pada tangan kiriku.
"Kondisinya belum stabil." itu yang aku dengar dari dokter saat membuka mataku.
"Tolong untuk jangan terlalu memikirkan sesuatu, dia sensitif sekali." ibuku hanya mengangguk mendengarnya. Kemudian mengalihkan pandangannya padaku yang tengah menatapnya.
"Udah bangun, nak?" ia tersenyum lembut sembari mengusap rambutku pelan.
Membuatku semakin sadar akan segala dosa yang pernah kuperbuat padanya.
"Jaga kesehatanmu, Hyunjin." ujar dokter yang umurnya sekitar dua puluh tahun lebih tua dariku.
Setelahnya ia pamit dari kamarku, dan hanya meninggalkanku berdua saja dengan Ibuku.
