16- Perkelahian.

89 16 5
                                    

Happy reading!!!
***
Ryan berdiri diambang pintu sebuah ruangan. Hampir satu bulan dia tidak ke sini. Tata letak ruangan itu masih sama, meja belajar di sudut ruangan, poster club sepak bola kesukaannya juga masih terpasang rapih di samping rak bukunya. Hingga miniatur jembatan golden gate yang Ia letakan di atas meja belajar juga tidak bergeser sedikitpun dari posisi semula dia letakan.

"Kengan banget gue."

Ryan melangkah ke sofa yang sengaja dia letakan mengahadap jendela, tepat samping meja belajar miliknya.

Meletakan tasnya, lalu mengambil gitar yang bersender di punggung sofa. Memetiknya perlahan, menikamati setiap alunan bunyi yang dia ciptakan. Hingga matanya menangkap sebuah buku kecil yang terletak di atas nakas.

Beranjak dari duduknya, mengambil buku itu lalu kembali ke sofa. Tinta merah yang melingkari sebuah angka di halaman pertama membuatnya cukup terdiam lama. Dibawah angka itu tertulis,

'ulang tahunnya'

Bukan hanya angka, tapi bulan dan tahun juga. Bahkan hobi sampai cita- cita tertulis lengkap di halaman pertama buku itu. Halaman berikutnya tertulis huruf 'R' besar, Di bagian atas kanan tertulis waktu pertama dia menulis ini. Dia sengaja hanya menulis inisial saja, agar tidak ada yang tahu. Beruntung inisialnya juga sama dengan Risa, jadi memungkinkan siapa saja yang melihatnya tidak akan tahu bahwa huruf 'R' yang di maksud bukan dirinya, melainkan Risa.

Ryan tersenyum, ini satu hal dari Risa yang dia ingat, ulang tahunnya.

Dulu waktu Masa Orientasi Siswa SMP berlangsung, dia tidak sengaja mendapat biodata tentang Risa. Saat itu para OSIS menyuruh mereka menulis biodata tentang diri mereka masing-masing. Lalu setelah itu di serahkan pada anggota OSIS-nya. Kemudian menyerahkan kembali biodata mereka secara acak, jadi bukan miliknya sendiri yang dia dapatkan, melainkan milik Risa.

Selanjutnya, mereka akan ditunjuk oleh salah satu anggota OSIS untuk membacakan biodata oranglain yang mereka dapat.

Chrisa Alya Diantari. Nama itu tertulis rapi di atas sebuah kertas yang saat itu ada di tangannya. Entah kenapa dia yang ditunjuk saat itu, jadi dia langsung membacanya saja. Setelah Ryan selesai membacanya, salah satu anggota OSIS memanggil orang yang barusan biodatanya di bacakan. Tepat saat itu, Ryan melihat Risa. Saat itu pula, dia benar-benar menyukai Risa. Gadis dengan rambut terkuncir satu, tak lupa senyum manisnya, yang membuat Ryan tak berkedip saat itu.

"Hampir lima tahun lamanya gue suka sama lo."

Matanya memandang lurus, entah apa yang dirinya lakukan sekarang. Bertahan dengan perasaan nya sampai saat ini.

Sekilas dia teringat tanggal di makam itu. Ryan kembali membuka halaman pertama, dan....

Sama.

Tanggal lahir Risa dan tanggal di makam itu sama.

Jadi, selama ini Risa tidak pernah melihat wajah ibunya?

------

Pagi sekali Ryan sampai di sekolah. Saat ini dirinya sedang berjalan ke kelas. Tangan kanannya mengambil ponsel di sakunya, mengecek beberapa notifikasi pesan yang masuk. Semalam, Dean memberitahunya kalau hari ini dia harus menemuinya pagi-pagi di kantin.

Tapi setelah sampai di kelas, tidak ada tanda-tanda Dean sudah berangkat. Di parkiran juga Ryan tidak melihat keberadaan motor Dean, padahal tadi hanya beberapa murid saja yang sudah sampai ke sekolah.

"Dean mana, sih?"

"Di kantin kali, ya?"

Baru akan beranjak meninggalkan kelas, ponsel ditangannya bergetar.

"Ryan!" Suara keras Dean membuat Ryan sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Lo dimana?"
"Kantin! Lo kesini cepet! Ada kerusuhan!!"
"Kerusuhan?"
"Cepet Yan!!"

Setelah memutuskan panggilan, Ryan mempercepat langkah. Beruntung keadaan koridor cukup sepi, karena memang masih pagi.

Kantin.

Dean bingung, tepat di depannya dua orang siswa berkelahi. Ingin melerai tapi urung, sedikit takut juga sih dia. Melihat perkelahian antara ke duanya semakin menjadi, apalagi kedua orang itu kakak kelasnya.

"Aduh gimana nih?" Dean hanya bisa gigit jari setelah melihat salah satu siswa itu tersungkur dengan luka lebam di pipi, serta sudut bibirnya mengeluarkan darah.

Baru saja Dean akan menghampiri siswa yang tersungkur tadi, namun siswa satunya sudah lebih dulu menarik kerah baju lawannya. Dan sudah di pastikan Dean mundur lagi.

Mana di kantin hanya ada beberapa orang. Itupun mereka langsung pergi setelah melihat perkelahian ini.

"Yan, gimana?" Tanya Dean tanpa suara. setelah melihat Ryan berjalan mendekat.

Ryan berhenti sejenak, menatap kedua siswa di depannya yang sedang berkelahi ini.

"Kak Kevan." ujar Ryan lirih.

Untuk yang kedua kalinya siswa yang tadi hampir Dean tolong, kini tersungkur lagi tepat di hadapan Ryan.

Kevan mendongak, yang tadinya hanya menatap lawannya kini menatap Ryan dengan penuh sorot tajam. Napasnya memburu, kedua tangannya mengepal.

Baru saja Ryan akan menolong siswa yang tersungkur tadi. Bersamaan dengan Kevan yang akan memberi pukulan yang entah ke berapa kalinya. Dengan sigap Ryan mendorong Kevan menjauh.

Dean yang melihat itu langsung berlari mendekat ke siswa tadi. Membantunya berdiri dan membawanya keluar dari kantin.

Ryan tidak tahu masalah apa yang membuat kedua orang itu berkelahi. Tapi yang pasti, kini hanya ada dirinya dan Kevan.

"Lo gak usah ikut campur urusan gue!!" Bentak Kevan mendorong jauh tubuh Ryan.

Walaupun tak ada satupun luka di wajah ataupun tubuh Kevan, tetap saja Ryan khawatir. "Dan sampai mama tau ini, gue yakin dia lebih khawatir dari kepergian Lo tiga hari ini."

Kevan tersenyum sinis, "khawatir, khawatir apa maksud Lo? Khawatir gue nggak pergi dari kehidupan kalian? Iya?!!" Suara Kevan naik satu oktaf.

"Gue...itu. benci. sama Lo!" Tekan Kevan. Telunjuknya mengarah ke wajah Ryan.

"Dan gue tau itu. Lo bisa benci dan lakuin apapun ke gue, asal jangan pernah Lo bikin kecewa mama lagi. Sudah cukup dengan kelakuan Lo sekarang." kini Ryan yang yang berbicara. Dia menunduk, ingin sekali dia mengatakan bagaimana keadaan sang mama saat melihat kelakuan Kevan yang akhir-akhir ini membuat sang mama khawatir dan kecewa.

Sudah muak Kevan mendengar apapun tentang kedua orangtuanya. Tangannya menarik kerah baju Ryan, membuat Ryan menatapnya. Keduanya menatap lama, saling diam.

"Kalo gue bisa milih, lebih baik Lo yang pergi dari kehidupan keluarga gue. Tapi sayang, mereka lebih khawatir kalo orang seperti Lo itu nggak ada di hidup mereka!" Tekan Kevan. Detik berikutnya....

Bugh!

Kevan memberinya satu pukulan yang mampu membuat Ryan tersungkur.

Ryan diam tidak membalas. Jika ini yang di inginkan Kevan, dia terima. Ryan bangkit, mengelap sudut bibirnya yang berdarah.

Kevan menatapnya lama, lalu pergi begitu saja meninggalkan Ryan dikantin. Beruntung keadaan kantin masih sepi, jadi kemungkinan tidak ada yang mendengar ataupun melihat kejadian dirinya dan Kevan tadi.
____

Jangan lupa tinggalin jejak ya, hargai usaha author, oke?

Bye-bye!!

SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang