"Dan Tuhan punya rencana yang terbaik buat lo," sela seseorang tiba-tiba.
Suara itu, Risa menoleh ke arah pintu dimana seseorang berdiri disana. Cowok itu perlahan melangkah, melewati Risa yang sedang duduk dan berhenti tepat di tepi rooftop membelakangi gadis itu.
"Lo tau nggak Ris, dulu, gue kira gue doang yang ngerasain kayak gitu." Ujar Ryan, iya, cowok itu Ryan. Dia menarik napasnya perlahan sebelum melanjutkan ucapannya. "Gue rasa....kita nggak ada bedanya." cowok itu berbalik menatap Risa, mengukir senyum manis sebelum akhirnya berbicara. "Sama-sama kehilangan sosok terpenting dalam hidup, gue dan juga... lo."
Risa menautkan alisnya, maksud 'kita nggak ada bedanya, apa?'
Bukan nya Ryan masih punya kedua orangtua? kenapa cowok itu seakan mengatakan kalau nasibnya sama dengan dirinya?
"Gue...nggak salah denger atau salah memahami ucapan lo, kan?"
Ryan mengangkat kedua alisnya, satu kakinya melangkah maju menatap gadis didepannya dengan sorot mata yang....Risa sendiri tidak tahu.
"Ini benar. Nyata. Gue emang benar-benar kehilangan sosok terpenting dalam hidup gue."
Risa menggeleng, heran. Sudut bibirnya terangkat. "Disaat lo masih punya orangtua yang sayang dan peduli sama lo, Lo masih bilang kehilangan sosok terpenting dalam hidup lo? Gitu?" Risa menatap ke arah lain, berusaha bersikap biasa saja di hadapan Ryan.
"Asal lo tau, nggak ada yang lebih penting dari hadirnya keluarga dalam hidup gue." Risa bangkit dari duduknya, menatap Ryan sekilas sebelum melangkah pergi dari tempat itu.
Dia masih tidak percaya dengan apa yang Ryan katakan. Dia bilang dia kehilangan sosok terpenting adalah hidupnya? Tapi nyatanya, kedua orangtuanya masih lengkap. Dan jika Risa lihat, hidupnya juga lebih bahagia. Tinggal di rumah besar, dengan semua fasilitas terpenuhi. Dan satu lagi yang lebih penting, Ryan masih bisa merasakan kasih sayang orangtuanya.
Sedangkan dirinya?
Merasakan hidupnya bahagia saja sepertinya hanya sekilas.
Ryan masih berdiri menatap kepergian Risa. Cowok itu mungkin bisa salah menjelaskan yang sebenarnya tentang dirinya. Tapi, dia terlalu muak jika harus mengingat masalalu nya. Masalalu dimana menjadikan dirinya seperti tidak di butuhkan lagi oleh oranglain, yang membuatnya merasakan bahwa kehadirannya memang tidak di harapkan.
"Lo nggak tau aja Ris, apa yang sebenarnya terjadi ke gue." ucapnya lirih.
Oke, Ryan memang tahu sekarang alasan Risa menemui mamanya kemarin. Dan soal alamat rumah itu, dia baru saja tahu saat mamanya menghubunginya dengan nada yang Ryan tangkap sedikit...khawatir?
Mungkin, mendenhar nada bicara mamanya yang terus menanyakan kabar gadis itu. Bahkan tanpa Ryan bertanya, mamanya sudah menjelaskan terlebih dahulu saat menghubunginya tadi, menjelaskan perbincangan apa yang mereka bicarakan kemarin. Jadi, sudah jelas alasan dirinya menemui Risa, yaitu untuk memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja. Walaupun tadi sedikit curhat, mungkin.
"Gue ikut seneng. Seenggaknya orang yang merhatiin lo bertambah, walaupun nggak terlihat langsung, sih."
-------
Bentakan dari Kesa tadi cukup membuat hati Risa terguncang, dia memilih berjalan sendiri ke taman saat ini.
Tadi, sampai di kelas, Risa di buat heran sendiri dengan keadaan kelasnya. Riuh, bagaikan pasar. Padahal ini bukan jamkos, melainkan masih waktu istirahat. Semuanya terlihat aktif, ada yang berlarian, teriak-teriak tidak jelas, mengobrol, dan ada juga yang bernyanyi. Di saat semuanya sibuk bermain sendiri, di sana hanya terlihat Kesa yang masih menelungkupkan kepalanya di meja. Tanpa pikir panjang Risa duduk di sebelah Kesa, menepuk bahu temannya itu pelan.
Dia hanya bertanya, "Lo kenapa?"
Namun, tidak ada jawaban yang Kesa berikan, membuat Risa menepuk bahu Kesa kembali dan memanggil nama temannya itu berkali-kali.
"Kes,"
"Lo apaan, sih?! Plis dong jangan ganggu gue!" Bentak Kesa, menepis tangannya kasar.
Risa terlonjak kaget saat suara Kesa naik satu oktaf. Ada apa sebenarnya? Kenapa temannya seperti ini?
"Ah, iya, maaf." Hanya itu yang Risa katakan sebelum kembali beranjak pergi, meninggalkan Kesa yang sekarang menelungkupkan kepalanya kembali di atas meja.
"Gue salah, ya?" Tanya Risa, yang entah pada siapa.
Dia kaget saja tiba-tiba Kesa berbicara kasar padanya, bukan kasar sebenarnya, tapi lebih tepatnya membentak. Dia sendiri juga tidak tahu, kenapa kesa seperti itu. Yang di lakukannya saat ini adalah mencoba berfikir positif saja, mungkin saja kesa sedang ada masalah atau mood-nya yang tidak baik.
"Maafin temen lo ya? Mungkin dia masih....marah." Risa kaget bukan main melihat Raga berdiri tegap membelakanginya dengan satu tangan di dalam saku celana. Entah dari mana datangnya cowok itu, bahkan Risa tidak melihat ada orang di depannya sebelumnya.
"Hah?"
Raga berbalik menatap Risa, cowok itu menatapnya sebentar. "Di maafin, kan?"
"Apanya?" Raga mengatupkan bibirnya rapat mendengar respon gadis didepannya barusan.
"Ee..gini, pokoknya lo maafin, kan?"
"Maafin? Siapa?" Risa dibuat bingung saja oleh cowok di depannya sekarang ini.
"Temen lo. Kes-"
"Woy!! Ada yang berantem!" Seru seseorang tiba-tiba.
Keduanya sontak menoleh, disana sudah banyak murid yang berlarian menuju parkiran, bahkan ada juga yang terjatuh dan memilih bangkit meneruskan berlari kembali.
Risa masih berdiri disana, beda dengan Raga yang sudah hilang entah kemana. Cowok itu segera berlari mendengar ada keributan di area parkir.
--------
"Gila Lo!" Satu pukulan Iqbal berikan pada Reza. Dua cowok itu sedari tadi tidak hentinya melayangkan pukulan demi pukulan satu sama lain.
Semua murid, khususnya para siswa sudah membentuk lingkaran sedari tadi. Mengepung dua cowok yang sedang berkelahi itu. Entah apa yang membuat keduanya menjadi seperti ini, padahal biasanya mereka terlihat akrab.
Suara teriakan heboh dari para siswa terdengar semakin kencang tatkala perkelahian semakin menjadi.
"Lo yang udah nggak waras tau nggak?!! Ha?!" Satu tangan Reza menarik kerah baju seragam Iqbal membuat tubuh Iqbal mendekat ke Reza.
Keduamya bersitatap dengan wajah yang sudah memar. Sorot mata keduanya menajam seakan ada kemarahan yang di tahan kedua cowok itu.
"Apa-apaan lo bedua?!" Raga sudah berdiri di samping keduanya. Satu tangannya melepaskan tangan Reza yang tengah menarik kerah baju seragam Iqbal, membuat cowok itu kembali ke posisi semula.
"Lo tanya aja sama dia!" Setelah mengucapakan itu, Reza bergegas pergi keluar dari kerumunan itu.
Beberapa siswa mengeluh kecewa karena perkelahian keduanya berhenti. Seperti itulah jika ada yang berkelahi mereka jadikan ajang tontonan gratis. Bukannya menolong atau memisahkan keduanya, mereka malah menjadikannya tontonan. Dasar!
Kembali ke Raga dan Iqbal. Keduanya saling diam beberapa saat setelah Raga berhasil membubarkan kerumunan itu. Raga melipat kedua tangannya menatap temannya ini.
"Jelasin ke gue."
Iqbal menatap Raga malas, sudut bibir cowok itu terangkat, tersenyum sinis. "Tenang, cuma salah paham aja."
Mata Raga menyipit, sepertinya ada yang janggal. "Oh ya?...gue bukan orang bodoh yang liat orang berantem kayak gitu cuma gara-gara salah paham doang." Raga menjedanya, tangannya terangkat menepuk punggung Iqbal pelan. "Kalo lo lupa."
________Jangan lupa tinggalin jejak ya, tolong, hargai usaha author yang udah cari ide buat nulis part ini:)
Kalo suka kasih vote, oke?
Sampai jumpa lagi!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Silence
Novela JuvenilDua orang yang tak pernah saling menyapa. Diam, bukan berarti tak mungkin memiliki perasaan antara keduanya kan? ___ penasaran bisa lanjut baca, oke? @di_orvie _2019