7. Pendekatan 2

17 5 0
                                    

Aku sudah sampai disebuah bukit. Disini aku bisa melihat pemandangan kota, sangat indah dengan waktu senja. Gavin berdiri disamping ku, Gavin menatapku lalu tersenyum hangat.

"Ini tempat favorit aku. Aku suka banget sama bukit ini." Ujar Gavin.

"Kenapa kamu suka sama bukit ini? Apa karena pemandangannya yang indah?" Tanyaku polos. Gavin tertawa kecil.

"Enggak kok, bukan itu. Aku suka sama bukit ini karena bukit ini selalu bisa bikin aku tenang."

"Loh kok bisa? Gimana caranya?"

"Kalo aku lagi kesel aku pasti datang kesini. Terus aku teriak sekenceng mungkin sampai aku ngerasa puas. Abis itu aku selalu ngerasa bukit ini mencoba buat tenangin aku lewat angin yang berhembus kearah ku. Sejuk. Menenangkan."

Aku memandang lekat lekat wajah Gavin. Terlihat teduh. Namun penuh beban. Aku menghela nafas panjang lalu menutup mataku. Aku mulai menarik nafasku dalam dalam.

"Aaaaaaaaaaaaaaaa..." Teriak ku sekencang mungkin.

Gavin terkejut. Dia memandangiku bingung.

"Kenapa teriak sih? Aku kaget sumpah." Protes Gavin. Aku tertawa renyah.

"Aku lagi kesel aja. Pengen ngelepasin semua beban aku selama ini. Kan kamu yang bilang sendiri kalo kamu lagi kesel kamu suka teriak. Aku pengen coba aja. Siapa tau itu bikin aku tenang."

"Ohh gitu? Aku kira kamu kesurupan sama jin penunggu bukit ini." Ujar Gavin disusul tawanya. Aku pun ikut tertawa.

Gavin pun duduk, otomatis aku mengikutinya. Aku duduk tepat disampingnya. Entah kenapa aku merasakan sesuatu. Aku rasa aku bisa mempercayai Gavin. Didalam hati ku ada niatan untuk menceritakan kisah hidup ku. Tentang semua yang aku lalui. Tentang semua perasaanku yang aku pendam sendirian. Lelah. Aku ingin bercerita. Karena aku rasa aku nyaman dengannya. Dia bisa membuat ku tenang.

"Edrea Leta Leteshia! Kamu kenapa? Kok ngelamun sih?" Seru Gavin setengah berteriak. Aku pun terlonjak kaget.

"Hah? Ehhmm... Gak papa kok. Aku cuma lagi..."

"Lagi apa? Kamu lagi mikirin apa sih sampe aku panggil berkali kali gak denger."

"Serius? Aku cuma lagi nikmatin angin yang lewat. Sejuk banget." Ujar ku berbohong.

"Rea, coba tatap aku." Pinta Gavin. Dan tentu saja aku menolak. Aku menggeleng kuat kepalaku.

"Kamu bohong! Aku tau kamu lagi mikirin sesuatu. Aku tau kamu lagi banyak beban. Coba cerita aja, Rea. Aku bakalan jadi pendengar yang baik. Dan siapa tau aku juga bisa bantuin kamu."

"Iya aku lagi mikirin sesuatu. Aku juga emang lagi banyak beban. Banyak banget. Aku capek. Tapi maaf Gavin aku gak bisa." Lirihku.

"Kenapa? Aku bisa jaga rahasia." Gavin mencoba membujukku.

"Aku percaya kok sama kamu. Aku tau kalo kamu bisa jaga rahasia. Tapi aku gak bisa ceritaa. Ini bukan waktu yang tepat untuk aku berkeluh kesah tentang semua yang aku alami, tentang semua yang aku lewatin selama ini. Tentang semua perasaan yang aku pendam." Jelasku.

Gavin menatapku sendu. Aku sempat melihat wajahnya yang khawatir akan diriku. Tiba tiba aku rasakan hangat di sekujur tubuhku. Ya ampun! Apa ini? Gavin memelukku erat. Aku sempat terkejut dengan tingkahnya ini. Tapi perlahan aku membalas pelukannya. Aku balas memeluknya erat juga. Hangat. Dan aku pun mencium harum tubuh Gavin. Harum mint yang membuat ku tenang.

"Janji ya, Rea? Kamu harus janji kalo ada apa apa kamu harus cerita sama aku. Apapun itu cerita sama aku. Aku bakalan selalu ada buat kamu." Bisik Gavin. Aku mengangguk pelan.

EdreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang