REVISI ENAM

665 63 33
                                    

POV Putri

Aku menangisi takdir yang tak berpihak pada angan yang tak pernah menjadi ingin. Rasanya sakit bagai direjam sayat pisau mengiris denyut nadiku. Aku masih terpaku diam membisu menatap meja makan sedari tadi sepi samasekali tak berpenghuni. Kemana mereka? Biasanya kami akan menghabiskan sarapan bersama di meja makan dengan hiasan canda tawa. Lalu hari ini, aku merasakan atmosfer berbeda, Di mana nenek mengurung diri di kamar sedangkan Rafly membeli ayam potong di pasar, yang tentunya untuk dijadikan hidangan KFC siang nanti.

Aku memakai almamater kampus ku dengan awutan. Ini tugas saudara kandung ku itu, Rafly. Dialah yang selalu menyiapkan keperluan ku sejak dulu sampai saat ini, membangunkan ku dengan siraman air segayung atau menjewer telingaku sampai panjang sebelah. Ah, terasa majas hiperbola ucapanku ini. Entah aku bodoh baru teringat sesuatu, dia pernah mengatakan. tidak selamanya aku yang menjaga kamu dek, belajarlah mandiri. Kalimat sederhana namun mampu menghunus tubuhku menjadi kaku. Aku takut kehilangannya, aku takut dipisahkan oleh nya. Rafly satu-satunya saudara yang kumiliki.

Aku bersiap mengayuh sepeda milik Rafly. Sebelum dia berangkat ke pasar aku sempat mengintip dari balik jendela kamar dia meletakkan sepeda ini diteras rumah, merendahkan tempat duduknya dan meneliti lingkar beserta rantai sepeda ini. Apakah ada yang bocor atau rem nya rusak! Aku tahu dia perhatian kepada adiknya ini. lalu, bagaimana aku bisa membencinya, saat mereka menyembunyikan sesuatu dari diriku.

Aku memarkirkan sepedaku pada deretan mobil mewah dan motor-motor kelas atas. Aku terdiam sejenak dan mengedarkan pandanganku kearah lain, ingin tertawa untuk kepolosanku sendiri. Mana ada orang yang berani menaruh sembarangan benda rongsokan seperti ini, itulah aku yang tak pernah perduli ocehan orang. Toh, aku sama dengan mereka, membayar uang semester, uang bangunan bahkan uang ketoilet pun aku bayar dengan bunga-bunga nya. Upps, maksudku Rafly yang membayarnya.

Aku berjalan melewati gedung-gedung fakultas mewah yang berdiri tegak mewah seperti hotel bintang lima, menatap sekeliling tentunya masih terlapisi embun pagi menerpa kulit putihku. Bukannya masuk kelas atau bertemu lainnya, aku memutar langkahku hingga terduduk di sebuah bangku panjang menatap danau hijau tepatnya di belakang fakultas kedokteran. Aku bersembunyi sendiri saat resah melingkupi hatiku, saat tangis menggentarkan jiwaku. Tak ada yang tahu tempat ini, selain anak kedokteran serta beberapa dari mereka mungkin.

Dibawah pohon Pinus ini aku merasakan kedamaian, termenung membayangkan betapa sempitnya ruang hidupku, ditemani burung-burung berkicau, tak lupa suara riuh aliran air dari danau ini. Kepala ini kusandarkan pada pojok bangku dan tangan juga ikut ku rentangkan mengusir penat dan pilu, pelan-pelan aku menutup mataku, melabuhkan angan sampai termimpi. sesaat, remang-remang kurasakan usapan lembut pada kepalaku. Tubuhku seperti tersengat listrik darahku juga berdesir hebat, apa setan yang melakukannya atau makhluk-makhluk halus kasat mata tak menyukai kehadiran ku.

Bagaikan magnet yang tertarik dengan sentuhan hangat, aku mengerjap sedikit membuka mataku, saat hembusan nafas itu hampir menyentuh hidungku, aku terpaku menahan gejolak hati, tubuhku panas dingin serta jantungku melompat meminta lepas dari pemiliknya.

"Randa--

Aku terhenyak dalam lamunanku saat dia memandang wajahku begitu dekat dalam keadaan sedikit membungkuk. Rasa apa lagi ini? Mengapa aku gugup , dan apa ini? Ia tak memberi jarak sedikit pun wajahnya kepadaku. Aku mulai mengatur siasat agar terlepas dari kebodohan ku, ketika sadar mulai terkumpulkan, aku menolak tubuhnya hingga ia terjerembab kebelakang.

"Maaf, aku gag sengaja kak."

Untung saja dia bisa menopang tubuhnya, kulihat ia mendekati ku kembali dan sekarang yang membuatku lebih hiperbola, ia tersenyum seolah melupakan kejadian tadi, mengelus rambut hitamku.

CINTA KARENA CINTA ❤️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang