28 [Pengakuan]

1.2K 172 32
                                    

"Terimakasih, Dok." Elvan tersenyum kemudian berjalan keluar dari rumah sakit. Ini pilihannya, dan Elvan harus menerima resikonya.

Elvan memasuki mobilnya dan membawanya cepat-cepat. Tempat yang ingin ia tuju sekarang adalah kerumah pacarnya, Jessie.

Jujur saja, setelah dua minggu menjaga jarak dari Jessie, perasaan Elvan tidak karuan. Entahlah, mungkin pacarnya itu akan marah dan langsung menyerangnya dengan berbagai macam pertanyaan.

Setelah sampai, Elvan langsung berlari kecil. Tepat didepan pintu, jarinya menekan bel beberapa kali. Bertujuan agar yang punya rumah membukakan pintu.

Pintu terbuka, menampilkan Jessie yang tengah menatapnya datar sambil melipatkan tangannya didepan dada.

"Ngapain kesini?" Tanya nya ketus. Membuat Elvan meneguk salivanya kasar. Hal seperti ini pasti akan terjadi. Mengingat Elvan menghilang selama dua minggu dan tidak memberi kabar apapun kepada Jessie.

"Maafin aku."

"HALAH! MAAF-MAAF! KAMU INI KEMANA AJA SIH? AKU TELFON SMS WA LINE NGGA ADA JAWABAN! BIKIN KHAWATIR TAU NGGA?!" Teriak Jessie keras. Membuat Elvan ingin sekali langsung membekam mulut pacarnya itu.

"Iya maaf..." hanya kata itu yang keluar dari mulut Elvan. Membuat Jessie menjadi tambah kesal.

"Makan tuh maaf!" Jessie hendak menutup pintunya namun tertahan oleh Elvan.

"Apalagi?!"

"Kita omongin baik-baik ya? Ada sesuatu yang harus aku kasih tau sama kamu."

Jessie menatap wajah Elvan. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Terlihat dari ekspresi Elvan yang seperti sedang gelisah.

•••

"Sar, lo udah baikan sama Aldo?" Tanya Aqilla ditengah kesibukannya mencari buku. Sarah yang tengah melakukan hal sama seperti Aqilla langsung menoleh sambil mengangguk kecil.

"Iya. Cuma salah paham doang." Jawabnya membuat Aqilla tertawa kecil. "Yaudah bagus deh kalau gitu."

"Gue udah nih cari bukunya. Lo udah?" Tanya Aqilla yang dibalas anggukan dari Sarah. "Udah, yuk ke kasir."

Setelah membayar beberapa buku yang dipilihnya tadi, Aqilla dan Jessie berjalan kearah foodcourt yang tersedia di mall yang kini mereka tempati.

Setelah pulang sekolah tadi,  Aqilla memutuskan untuk ke toko buku dulu terlebih dahulu dan membeli beberapa makanan untuk Aland. Jadilah Aqilla disini, ditemani dengan Sarah, tentunya.

"Qill, gue masih kesel sama tuh si cabe. Berani banget peluk-peluk pacar gue!" Ketus Sarah sambil menghentakkan kakinya, sementara Aqilla hanya tertawa kecil.

"Yaelah, Sar. Udahlah lupain aja. Aldo kan ganteng, ya pasti banyak yang naksir sama dia."

"Ya tetep aja gabisa gitu. Udahlah jangan ngomongin si Dinda cabe, sensi gue."

Aqilla mendengus, padahal yang memulai adalah Sarah. Tapi mengapa malah dia yang marah-marah?!

"Gue lagi mau makan bakso, disini ada ngga ya?" Pandangan Sarah mencari kearah sekitar.

"Ada dilantai tiga, ayo." Ajak Aqilla yang dibalas anggukan mantap dari Sarah.

Setelah sampai ditempat yang dituju, mereka berdua duduk dimeja yang kosong setelah memesan beberapa menu.

"Qill, gue boleh ngomong sesuatu sama lo?" Tanya Sarah sedikit canggung. Membuat Aqilla mengernyitkan dahinya sambil mengangguk. "Ngomong aja kali?"

"Gue ngerti kondisi lo saat ini lagi kaya gimana, tapi jangan sampe lo terlarut dalam kesedihan lo. Jujur aja, semenjak kecelekaan yang Aland alami, gue udah jarang liat lo ketawa lepas kaya dulu. Gue kangen lo, dan sedih banget liat lo yang sekarang."

Aqilla menghela nafasnya, "Kalau lo ada di posisi gue juga lo pasti bakal kayak gue sekarang. Lo ngga ngerti karena lo ngga ngalamin hal yang gue alami."

"Bukan gitu maksud gue, Qill. Aland juga pasti sedih kalau liat kondisi lo yang sekarang. Mungkin lo masih sering senyum dan bersikap baik-baik aja ke orang lain, tapi engga sama gue, Qill. Gue tau lo itu lagi ngga baik-baik aja, gue tau lo nutupin semua itu karena gamau orang liat lo lemah,"

"Iya, gue pasti bakal ngelakuin hal yang sama kalau ini terjadi sama Aldo, malah gue mungkin bakalan stress. Gue tau lo orang yang kuat, gue cuma mau lo ngga banyak bengong, ngga banyak diem, gue ngga mau kalau lo terus-terusan sedih. Percaya sama gue, Aland pasti bakal sembuh dan bakal main lagi sama kita semua." Ucap Sarah panjang lebar.

Sungguh, sebenarnya Sarah takut mengucapkan ini, takut Aqilla akan marah dan beranggapan bahwa Sarah tidak mengerti kondisinya. Tapi bukan itu maksud dan tujuan Sarah. Sarah hanya ingin Aqilla kembali seperti dulu saja.

Kekhawatiran Sarah langsung hilang disaat Aqilla menggenggam tangannya dan tersenyum lebar kearahnya. "Makasih, Sar. Makasih lo udah mau jadi temen gue, gue tau gue kadang nyebelin kalau udah bucin, makasih karena selalu sabar ngehadepin sikap gue."

Sarah menahan mati-matian agar air matanya tidak keluar sekarang juga. "Diem deh, Qill ah, tar maskara gue luntur!"

Aqilla tertawa dan langsung memeluk sahabatnya itu. "Gue tau lo idiot, tapi gue sayang kok."

Sarah membalas pelukannya sambil tertawa, "Sialan."

•••

Jessie terdiam. Matanya memanas sembari menggepal tangannya kuat-kuat. "Kenapa baru cerita sekarang?" Suaranya serak. Membuat Elvan menatapnya sendu.

"Aku takut kamu khawatir. Ini pilihan aku, Jess. Aku mohon kamu bisa nerima." Elvan bersikeras dengan pilihannya.

"Tapi kenapa? Kamu masih punya kesempatan kan? Jangan nyerah dulu, aku bakal bantu kamu."

Elvan menggelengkan kepalanya sambil tertawa miris. "Kalau aja masih ada kesempatan, udah pasti bakal aku gunain kesempatan itu. Aku gamau semua orang khawatir tentang keadaan aku, maka dari itu, kamu jangan cerita ke orang lain dulu ya? Biar nanti aku aja yang cerita." Pinta Elvan.

Jessie terdiam sebelum mengangguk ragu. Elvan lantas langsung memeluknya, membuat Jessie menangis sejadi-jadinya. Cepat atau lambat, Jessie akan kehilangan Elvan, tidak ada lagi senyuman manis yang biasa setiap hari Jessie lihat, tidak ada lagi keluhan-keluhan lucu dari Elvan, semua itu akan hilang, lenyap.

"Maafin aku belum bisa wujudin mimpi kita, aku akan selalu sayang sama kamu, hari ini, besok, dan seterusnya. Kamu percaya kan, sama aku?" Ujar Elvan parau. Jessie mengangguk dan langsung memeluknya lebih erat lagi sambil terus menangis.

Jessie tidak bisa egois kali ini. Memang berat rasanya melepas Elvan pergi. Namun harus bagaimana lagi? Jessie juga tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada pilihan lain.

Elvan, akan mendonorkan kedua matanya untuk Aland.

•••

"Serius, Ma? Aland bakalan bisa liat lagi?" Senyuman Aland melebar. Sementara Putri menahan tangisannya agar tidak keluar. Aland akan kembali pulih, sementara Elvan akan...

"Iya, kamu akan bisa liat lagi, sayang.." ujar Putri serak. Disatu sisi Putri sangat bahagia, namun disisi lain Putri harus kehilangan.

Elvan tadi sudah menceritakan semuanya kepada Putri. Putri sempat memberontak, dan bersikeras untuk mencari orang lain saja yang mendonorkan kedua matanya untuk Aland, namun Elvan tetap memaksa dan menyuruh Putri menghargai keputusannya.

Putri mengusap rambut Aland pelan, "Selamat sayang,"

Aland yang mendengar Putri seperti sedang sesenggukan langsung mengernyitkan dahinya, "Mama kenapa nangis? Aku buat salah sama Mama?" Tanya Aland polos.

Bukannya berhenti, Putri malah menangis semakin keras sambil memeluk anaknya itu. "Engga, sayang. Mama seneng kamu bisa liat lagi.."

•••

Cepet komen sama vote pokonya biar galama update next part nya🤬

••••

JUST YOU AND ME [COMPLETED STORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang