15

5.3K 486 160
                                    

💛

"Seriusan lo nggak peka sama perasaan lo sendiri?" Tanya Bram tak percaya. "Tapi bagus lah, lo kan udah punya bini. Jadi lo nggak usah peka sama perasaan ketertarikan lo lagi. Cukup perasaan cinta untuk Ara, Jiahh.." Garie dan Bram mulai tertawa melihat telinga Edgar yang sudah memerah itu.

"Dasar lo pada, mana nomor rekening. Lo mau minta berapa?" Ujar Edgar sambil tertawa. "Haduh, nggak usah banyak-banyak cukup bayarin ballroom hotel buat kawinan gue aja." Canda Bram sambil menepuk punggung Edgar. Ya, benar kata Garie, untuk apa dia harus peka dengan rasa ketertarikan. Toh dia sudah menikah dengan Ara.

*

Jam makan siang, Ara duduk di restoran di depan kantor sendirian. Sebentar lagi Mbak Jess akan resmi keluar dari kantor dan tentu saja itu membuat admin lambe kantor semakin sedikit. Ara menatap kearah kaca di hadapannya, kali ini Ara hanya bisa terdiam. Entah apa yang ingin ia lakukan.

Sebentar lagi juga Ara akan resmi keluar dari kantor, ia sudah memikirkan ini matang-matang, Edgar memang mengerti kenapa Ara ingin bekerja, karena memang Ara ingin bersosialisasi dengan teman-temannya. Apalagi Ara ditempat kerjanya masih terhitung paling muda dari teman-temannya yang mayoritas sudah berkepala tiga.

Tapi kali ini Ara berpikir, apa dia kurang meluangkan waktunya dengan Elvano dan Edgar? Ara hanya ingin keluarganya seperti keluarga normal lainnya yang bisa bermain bersama di akhir pekan. Ara mulai memikirkan apa saja yang ia akan lakukan dengan Edgar san Elvano nanti ketika ia sudah resmi keluar.

Jalan-jalan ke taman kota, pergi ke mall untuk membeli pakaian untuk Elvano dan Edgar, pergi ke taman rekreasi lainnya, pergi ke rumah orang tuanya, dan menonton film bersama. Ara tersenyum dan senang sekali memikirkan hal sederhana seperti itu yang bisa membuat keluarganya bahagia.

Dering ponselnya mulai berbunyi dan membuat Ara terkesiap, ada nomor yang tidak diketahui yang tertera di layar ponselnya. Ia mulai mengangkat panggilan tersebut. "Halo? Ini dengan siapa ya?"

"..." Ara mengangguk sambil tersenyum.

"Oh, Irvan. Supervisor marketing kan?" Tanya Ara.

"..." Ara terdiam sejenak.

"Edgar memang sering pulang malam sih."

"..." Ara kembali terdiam mendengar ucapan Irvan.

"Makasih ya infonya, kalau ada hal-hal yang lain. Jangan segan telepon saya ya."

"..."

"Santai aja Van, justru saya berterima kasih."

Ara terdiam, matanya pedih, ia ingin menangis, dengan cepat Ara mengambil tissue yang berada di atas meja untuk menutupi wajahnya yang sudah banjir dengan tangisan. Memang masih belum ada bukti tapi tetap saja perasaannya sakit ketika suaminya sedang dirumorkan dekat dengan gadis lain.

*

Edgar memarkirkan mobilnya di parkiran dealer cabangnya, ia sedang menunggu Dewi keluar dari dealernya. Sambil menunggu Edgar membuka ponselnya dan menatap wajah Elvano yang sedang tertawa, kata Ara wajah Elvano itu mirip sekali dengan Edgar dan tentu saja Edgar senang mendengarnya.

Mungkin setelah mengantarkan Dewi pulang, ia akan membeli mie tektek kesukaan Ara dan membeli mainan untuk Elvano. Edgar terkesiap saat pintu kaca mobilnya diketuk seseorang, dan seseorang itu adalah Dewi.

Dengan segera Edgar membukakan pintunya. "Nunggu lama?" Tanya Dewi sambil tersenyum. "Kamu potong rambut?" Tanya Edgar sambil nyengir. "Iya, kamu nyadar ternyata." Dewi terkekeh melihat Edgar yang manis itu. "Gimana bagus nggak?" Tanya Dewi sambil menunjuka rambut yang baru ia potong shaggy itu. "Bagus." Edgar mulai melajukan mobilnya ke jalanan.

Welcome Home!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang