04

5.8K 558 21
                                    

"Mas, makasih ya." Dengan cepat Ara mengisyaratkan dengan matanya agar Mas Erkan cepat untuk pulang. "Elvano biar sama saya aja." Kata Edgar sambil mulai menggendong anaknya itu. "Kalau gitu gue duluan, permisi." Ara menatap kepergian mobil BMW hitam itu, lalu tatapannya kembali kearah Edgar yang masih terdiam di depan pintu. "Mas, aku bilas Elvano dulu ya. Takutnya Elvano nggak bisa tidur." Kata Ara sambil berjalan kearah dapur untuk megambil mangkuk besar. Lalu berjalan kearah kamarnya mandi di kamarnya untuk mengambil air hangat.


Setelah membilas Elvano, Ara mulai menidurkan anak itu dan Edgar sepertinya masih setia menunggu untuk mendengar penjelasan Ara. Setelah Elvano tertidur Ara memindahkan anaknya ke keranjang bayi lalu mengecup pelan pipi Elvano. "Ra, kita perlu bicara. Tapi nggak disini." Kata Edgar sambil berjalan keluar dari kamarnya.

Ara menghela napas, lalu berjalan keluar kamarnya mengikuti arah suaminya berada. Edgar sudah duduk di ruang tengah, ruangan tengah yang di dominasi dengan dengan warna putih polos itu, namun di sisi lainnya sudah berganti menjadi gambaran abstrak yang bercorak penuh warna. "Ada yang mau dijelasin?" Tanya Edgar dengan tenang.

Ara terpejam, lalu menatap suaminya yang masih datar itu. Ara tahu dibalik kedataran suaminya itu pasti ada sesuatu yang Ara tahu sendiri. "Aku nggak ngabarin kamu karena baterai Hp aku habis, jadi aku nggak ngabarin Mas." Tatapan Ara turun pada jarinya. "Lalu?" Tanya Edgar lagi sambil memejamkan matanya. "Tadi awalnya aku cuman ke rumah Mbak Jess, terus Mas Erkan cerita kalau Mas Dirga lagi ulang tahun, jadi kami rayain. Itu juga mendadak Mas."

Edgar mengangguk mengerti lalu kembali menatap Ara intens. "Mas mau tanya satu hal." Edgar menghela napas sebelum melanjutkannya. "Kenapa, kenapa kamu pilih pulang bareng Erkan? Kenapa nggak telepon Mas pakai Hp orang lain?" Tanya Edgar.

Ara terdiam, memikirkan apa yang akan ia katakan selanjutnya. Setahunya ia menerima ajakan Mas Erkan itu karena reaksi spontannya. Tapi ia lebih memilih alasan yang menurutnya rasional. "Karena takut ngeganggu kamu." Kata Ara pelan. "Mas tanya lagi, kenapa kamu pilih pulang bareng Erkan? Kenapa nggak telepon Mas pakai Hp orang lain?" Tanya Edgar lagi.

"Aku spontan iyain. Ya karena Mas Erkan kenal sama Mas dan aku pikir Mas nggak akan mikir yang aneh-aneh kalau aku sama dia pulang bareng. Dan lagian aku tahu Mas lagi sibuk sama pekerjaan, aku takut ngeganggu kamu Mas." Kata Ara sambil menahan air matanya keluar. Edgar yang mendengarnya menghela napas cukup panjang lalu berdiri dari sofa.

Tak lama satu pelukan menyambutnya, pelukan hangat dari Edgar, pelukan yang ia rindukan. "Maaf aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu, maaf ngebuat kamu nunggu sampai larut malam terus, maaf karena ngebuat kamu nangis kayak gini lagi, tapi Mas usahakan bisa jadi kepala rumah tangga dan suami sebaik yang Mas bisa." Ara memeluk Edgar dalam diam, ia ingin seperti ini lebih lama.

Edgar mengusap punggung Ara perlahan seperti Ara yang biasa mengusap punggungnya untuk menenangkannya. "Udah jangan nangis." Bisik Edgar tepat ditelinganya. Ara mengucek matanya, entah kenapa Ara merasa sensitif sekali, apakah dia akan datang bulan?

Edgar mulai meraih tanganya dan mengajaknya kelantai dua, Ara melihat punggung suaminya itu yang sandar-able lalu tersenyum. "Mas, kamar kita kelewat." Kata Ara sambil menengok ke arah belakang. "Hari ini kita tidur di kamar tamu aja Ra." Ara terdiam lalu menatap Edgar, ia tahu yang Edgar inginkan karena Ara sendiri juga menginginkan hal itu.

*

"Mas, bangun." Kata Ara sambil menguncangkan tubuh Edgar, Edgar sedang tidur didadanya, tubuh mereka masih dibalut dengan selimut tebal. Ara mulai menyisir rambut suaminya itu dengan jarinya. "Mas udah ada uban." Kata Ara saat melihat dua helai uban di kepala Edgar. "Banyak?" Tanya Edgar.

Welcome Home!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang