16

9.4K 563 388
                                    

Tahan emosi guys :)

💛

Edgar memberhentikan mobilnya di depan rumah Dewi. Ia menatap kearah Dewi yang terlelap karena kelelahan menangis, matanya sudah membengkak dan hidungnya sudah memerah. Edgar tidak kuasa untuk membangunkan gadis itu.

Dewi mulai mengerjapkan matanya, matanya tertasa berat. Ia menatap Edgar yang sedang tertidur di bangku pengemudi, tatapannya beralih ke jam tangan miliknya, sekarang sudah jam satu malam lebih. Ia tertawa hampa, menertawai dirinya yang seperti ini. Entah kenapa kali ini buku-buku pengembangan diri yang telah ia baca itu susah untuk di terapkan.

Jika memang esok adalah terakhirnya berpergian bersama Edgar, sungguh ia tak apa-apa karena Dewi pikir menjadi benalu di kehidupan orang itu memang tidak benar. Ia hanya ingin menghabiskan waktu esok bersama Edgar untuk terakhir kalinya. "Dwi, kamu udah bangun?" Tanya Edgar sambil mengucek matanya. "Udah." Sahut Dewi sambil tersenyum manis untuk menutupi kesedihannya.

"Tanganya masih sakit?" Edgar menatap tangan Dewi yang masih terlihat lebam itu. "Nggak terlalu sih." Balas Dewi sambil memperhatikan tangannya itu. "Coba lihat." Dewi menjulurkan tangannya ke Edgar dan Edgar kembali mengusap tangan Dewi. "Kamu sadar nggak sih, kalau kamu ganteng?" Tanya Dewi sambil menaikan kedua kakinya ke kursi dan ia mulai menghadap kearah Edgar.

Edgar terdiam sejenak, Ara sering sekali memanggilnya Dada ganteng jadi jelas ia merasa tampan jika bersama Ara. "Hm, penilaian ganteng perindividunya berbeda-beda kan? Jadi aku nggak tahu kalau soal itu. Tapi menurut kamu aku kayak gimana?" Dewi terdiam sejenak. "Kamu ganteng kok." Balas Dewi sambil tersenyum.

"Really?" Dewi mengangguk. "Bahkan tanpa kamu sadar banyak orang yang suka sama kamu.." Dewi menjeda ucapannya sejenak. "Bahkan dalam diam." Edgar terdiam sejenak sambil menatap Dewi intens. Hanya penerangan lampu jalanan yang mencahayai mereka, Edgar tak bisa melihat raut wajah Dewi secara jelas.

"Why do you think so?"

"Because i'm one of the people who likes you in silence."

Edgar membungkam, ia menatap Dewi intens. Edgar tidak tahu apa yang ia rasakan kali ini, ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia bingung untuk berkata apa. "Maybe this is crazy, but that's how i feel." Dewi menatap mata tajam milik Edgar dengan penerangan lampu jalanan.

"Tapi mungkin besok semuanya nggak akan sama lagi." Edgar menyeka air matanya. "Jangan nangis lagi. It's okay that's love." Edgar memeluk Dewi dan mulai mengusap punggung Dewi agar bisa sedikit meredakan tangisnya.

Love in silence? Entah lah Edgar tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apa lagi. Kali ini ia hanya ingin menenangkan gadis itu di dekapannya, ia tidak ingin Dewi menangis seperti ini lagi apalagi ini karena dirinya. Dewi menatap kearah Edgar yang masih mendekapnya, Edgar kembali menyeka air mata. Tatapan mereka begitu intens.

Dibawah penerangan lampu jalanan mereka berciuman dengan lembut, perlahan namun pasti, entah siapa yang pertama melakukannya tapi mereka melakukan itu menuruti naluri mereka masing-masing. For the first and last.

Edgar menyeka saliva yang tersisa di bibir Dewi, lalu menatap Dewi bersalah dan Dewi juga menatap Edgar dengan perasaan bersalah. Edgar akhiri tatapan bersalahnya dengan kecupan di kening Dewi. Ara nggak akan tahu kan?

*

Edgar memarkirkan mobilnya di depan garasi, ia menatap jam tangan yang sudah menunjukan pukul tiga dini hari, sebelum ia pulang Edgar berbincang-bincang sejenak dengan Dewi mengenai kedepannya. Mungkin Edgar juga akan jarang untuk ke dealer cabangnya agar ia bisa perlahan melupakan zona nyamannya.

Welcome Home!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang