"Trust your self n other people will believe that you're the best"
****
Awan gelap menghiasi indahnya Kota Jakarta di malam hari, membiarkan hawa dingin menusuk tulang. Hal ini tidak membuat seorang Aluna bahagia, dia sang penggila hujan kali ini tidak senang.
Suara dentingan garpu dan sendok memecah keheningan yang melanda mereka. Mamanya, juga sang ayah hari ini mengajak Aluna untuk pergi makan malam bersama.
Aluna paham, ini bukanlah pertanda baik. Mereka hanya melakukan ini jika ada sesuatu buruk yang harus mereka lakukan nantinya. Dia hanya diam mengikuti alur yang telah disiapkan. Menunggu rasa sakit karena keegoisan ini akan seperti apa nantinya.
"Luna" mamanya mulai angkat bicara.
Jujur saja, hati Aluna berdebar tidak karuan. Dia sama sekali belum siap akan berita yang keluar dari mulut mamanya. Belum sanggup menerima kekacuan yang akan terjadi selanjutnya.
Aluna membungkam mulutnya sendiri, seperti ada lem perekat disana dan membiarkan mamanya melanjutkan pembicaraan sesuai dengan skenario.
"Luna mau tinggal sama papa?" tanya sang papa.
Aluna hanya mengangguk menyetujui, apapun yang terjadi Aluna sudah memutuskan untuk mengikuti jika tidak diperlukannya argumen pemberontakan.
"Kenapa?" tanya Aluna jengah melihat kedua orang tuanya diam.
"Mama sama papa mau cerai"
Deg.
Inilah pernyataan yang paling Aluna takut dengarkan. Ketika kedua orang tuanya memilih untuk memisahkan diri, dan dia yang harus kehilangan kasih sayang satu dari mereka, walaupun sedari dulu dia sudah kehilangan hal tersebut.
Air matanya luruh begitu saja, tidak perlu persetujuan. Otak dan perasaannya sedang bertempur kuat. Otaknya yang berusaha berpikir jernih dan perasaannya yang sudah hancur berkeping bahkan tak bersisa.
"Kenapa?" nada suaranya sumbang, tapi senyumnya tetap berstana manis disana.
"Lun" sahut sang mama iba.
"Kenapa?" tanya Aluna sekali lagi penuh penekanan.
"Kita gak bisa lun"
Sudah--bahkan kesedihan Aluna kini tak bisa diungkapkan oleh sebait kalimat pun. Dia sungguh merasa dijatuhkan ke jurang yang paling dalam.
"Oke"
Hanya satu jawaban Aluna. Lantas, dia menarik nafas panjang setelah itu menghembuskannya. Enggan dia mendengar lanjutan kalimat itu, menurutnya empat kata yang tadi papanya lontarkan sudah cukup mendeskripsikan semuanya.
"Saya pulang, kalian tidak perlu memikirkan saya bahkan tidak perlu menganggap saya anak lagi karena kalian memang sudah kelihangan saya sejak kakak saya pergi kesana"
Aluna berjalan meninggalkan makanannya yang masih utuh, juga kedua orang tuanya yang terkejut atas pengungkapan anak bungsu mereka.
****
Kamar bernuansa cokelat mocca inilah tempat Aluna menumpahkan keluh kesahnya kali ini. Posisi barangnya masih sama seperti empat tahun yang lalu--ketika dia kelas enam sd. Sengaja ditata sedemikian rupa, untuk mengenang seseorang yang pernah menempatinya yang kini sudah tak pernah Aluna tau kondisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JOURNEY
Teen FictionSandiwara yang dipimpin oleh "Hati" tak ada yang tau akhirnya. Cassaluna, gadis setengah ekstrovert dan setengah introvert, suka ketenangan dan bisa menjadi alasan sebuah keributan. Harinya terkesan normal seperti anak SMA pada umumnya, sampai akhir...