"Kau mau kita semua terjun tanpa pedang legendaris itu?!"
Jeonghan, sang pembuat rencana yang sudah mati-matian berpikir tergagap karena pertanyaan itu. Karena otaknya terus memikirkan strategi sampai hal mendetail, ia lupa akan keberadaan hal besar yang luar biasa besar kontribusinya untuk membawa kemenangan.
Pedang emas .... Pedang yang terbuat dari emas murni yang ditempa dengan api hitam, dibubuhi bubuk sihir yang mumpuni, serta permata merah yang menyerap darah. Pedang itu adalah kunci kemenangan mereka. Karena dia tak terkalahkan ... tak bisa dilukai dengan kekuatan demon biasa dan hanya bisa diruntuhkan oleh pedang itu. Yang mana pedang itu menjunjung tinggi keadilan. Dan mengalahkan dia adalah sebuah bentuk keadilan bagi bangsa mereka.
Xu, satu-satunya orang yang ingat tentang pedang itu, menghela napas. Ia melirik Woozi yang tampak melamun. "Woozi ... kau menggunakannya untuk mengalahkan dia ratusan tahun lalu bukan?"
"Tentu," sahut Woozi. Ia menatap satu per satu rekannya bergantian. "Tapi dia muncul dalam keadaan sempurna. Luka tusuknya tak tampak, apalagi pedang yang harusnya menancap di ulu hati."
"Seseorang pasti berkhianat dan menarik pedang itu," sahut Scoups. "Klan mana kira-kira? Timur dan Barat ada di sini. Berarti ada kemungkinan bagian Utara atau Selatan ingin menjatuhkan kedudukanmu. Terlebih, Selatan memang tidak pernah benar-benar berpihak padamu."
Woozi memejamkan mata. Kepalanya mulai bekerja, memikirkan di mana kiranya letak pedang itu. Pasalnya dia takkan repot-repot menyingkirkan pedang itu atau membuangnya jauh. Dia bukan seseorang yang takut akan ancaman. Bukan orang yang akan memperkecil kemungkinan kalah dengan melenyapkan kelemahannya.
Dia suka tantangan. Maka dari itu pedangnya pasti sengaja ditempatkan di daerah yang tidak jauh dari tempatnya tertidur.
Woozi beranjak dari tempatnya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, pria bersurai pirang itu melangkah keluar dari ruangan. Meninggalkan kumpulan orang yang merenung dalam benak masing-masing.
Pria itu menghela napas. Ia memijat pelipis yang berdenyut. Kepalanya sakit, terlalu banyak pikiran dalam benaknya. Belum lagi hatinya merasa kosong. Telapak tangannya dingin. Tak bisa menyentuh sosok yang selama ini membuatnya hangat.
"Han (y/n) ..."
Woozi menghentikan langkahnya di ujung koridor. Di mana sebuah jendela besar menghadapkan dirinya pada hutan yang mulai gelap karena matahari turun.
Woozi mengistirahatkan kedua tangannya di pinggiran jendela yang terbuat dari batu. Ia menerawang jauh ke atas sana, mencoba mencapai wanitanya yang belum jelas bagaimana nasibnya.
Perlahan air mata menumpuk di pelupuk matanya. Bukan karena sakit, bukan karena sedih, bukan karena ia lemah. Tetapi ... amarah sudah terlanjur membuat darahnya mendidih. Bayangan wajah seseorang yang sudah menjadi musuh abadinya muncul. Membuat tangannya mencengkeram pinggiran jendela kuat-kuat.
Amarah yang sama ketika dulu ia rasakan kembali. Aura pertempuran itu muncul lagi dengan lebih kental. Dulu Woozi masih berbelas kasih. Tak membinasakan musuhnya karena ia berjasa. Namun, kali ini ia takkan membiarkannya lagi. Ia takkan berbelas kasih.
"Wonwoo ... lihat saja nanti. Kau takkan lolos," ucapnya cukup keras. Sengaja agar orang yang tengah jadi sasaran amarahnya sadar bahwa Woozi akan datang padanya.
Di sisi lain, sang penguasa di zaman dulu melangkahkan kakinya pada ruangan megah. Emas melapisi bagian dindingnya yang berkilau meski cahaya seperti enggan masuk ke dalam istana gelap itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life of a Lonely Demon [Seventeen Imagine Series]
FantasiHighest rank - #311 on Fantasi 200224 "Dengan darahku, aku membangkitkanmu dari kematian yang keji. Balaskan dendammu dan tinggallah di sisiku selamanya... atau aku yang akan kembali menjadi abu." Kalimat itu terdengar bak sebuah sihir. Kalimat pert...