1. Prolog

8.3K 236 5
                                    

Rasa pusing tiba-tiba saja menghantam kepalaku. Kejadian kelam itu lagi. Kenapa setelah sekian lama hilang, mendadak kembali? Padahal aku telah berusaha mengkuburnya dalam-dalam. Kedua tanganku bergemetar hebat diikuti kakiku juga. Aku tak mampu berdiri. Tubuhku jatuh ke lantai. Menahan rasa sakit yang menyerang hati dan kepalaku bersamaan.

"Astaghfirullah, Zee! Nak, hei, tenang! Ini Mama, sayang. Gak apa, okay. Mama di sini." Mama menarik tubuh bergetarku dalam pelukannya.

Air mata kian berjatuhan. Suara Pria itu. Darah Pria menjinjikan itu. Semuanya tergambar jelas dalam ingatanku.

"Queenzee..." Papa datang, menangkup kedua pipiku. Dia tersenyum lembut. "Tak apa, sayang. Itu hanya masa lalu yang patut dilupakan. Papa dan Mama selalu ada bersamamu. Kamu gak sendirian."

Benar...

Aku tak sendirian. Masih banyak orang yang membutuhkanku. Sudah sewajarnya aku membuka lembaran baru. Melupakan masa lalu nan kelam itu. Melupakan rasa sakit yang telah Pria itu torehkan.

Aku mendongak. Menatap Mama dan Papa bergantian dengan kedua mata yang memburam sebab air mata. "Tapi... Tapi... Zee Wanita yang kotor. Zee gak bisa jaga kehormatan Zee."

"No, honey. Kami berdua yang gak bisa menjaga, kamu. Ini murni kesalahan kami." Mama kembali memelukku erat. Kami bertiga saling berpelukan.

"Besok adalah harimu yang baru. Lupakanlah masa lalu kelam itu. Papa janji, gak akan membiarkan siapa pun itu yang menyakiti, kamu." Papa berbisik penuh keyakinan di telingaku.

Ya, besok adalah hariku yang baru. Di mana tak ada lagi bayangan Pria kejam itu. Tak ada lagi tangisan. Hanya kebahagiaan. Hanya ada canda, tawa, serta senyuman. Tak ada lagi Zee yang cengeng. Besok hanya ada Queenzee Afsheen Effendi yang ceria.

°°°

"Jadi, Pa... Konsulen Zee nanti, bukan Papa?" tanyaku, lantas menggigit sehelai roti panggang buatan Mama.

"Nggak. Palingan Anak Koas yang kali ini di tanganin Residen. Dokter Spesialis nanganin Anak Residen. Gitu skemanya." Papa melirikku sekilas. Dia disibukkan dengan selai roti yang ia oleskan.

Aku menatapnya penuh kekecewaan. Papa yang menyadari itu, langsung memasang senyuman. "Jangan khawatir. Walaupun begitu, Papa tetap mantau kamu dari kejauhan, kok."

"Konsulen Zee nanti, Cowok apa Cewek, Pa?"

Kedua bahu Papa terangkat. "Kurang tau juga. Nanti pas pembagian visit, kamu bakalan tau." Papa menatapku dalam. "Andaikan Cowok, jangan kamu perlihatkan banget takutnya."

Wajahku semakin lesu. Semangatku di hari pertama Koas ini luntur seketika. Membayangkan ini pertama kalinya aku satu lingkup dengan orang banyak. Dari mulai SMA kelas 1, Mama memutuskan homeschooling untukku. Semenjak pristiwa kelam itu, aku jadi takut berinteraksi dengan khakayak umum. Termasuk dengan seorang Pria.

"Zee! Yakin, gak mau bareng aja pergi sama Papa?" Mama bertanya, begitu ia menyalami tangan Papa.

Aku berlari menuju Papa yang sebentar lagi ingin pergi. Menyalami tangannya dan Papa pun mengecup keningku. "Eum, Zee pergi bareng temen aja ya, Pa, Ma? Gak apa, kan? Dia satu Koas Rumah Sakit juga dengan kita. Katanya, Kakaknya juga Dokter umum di Rumah Sakit Papa."

"Oh, ya? Yaudah, lah. Gak apa, kok. Berarti Papa bareng sama Mama aja ya, di Butik?" pertanyaan Mama tentunya diangguki Papa penuh semangat. Hal yang paling Papa senangi yah, ini. Berduaan saja dengan Mama tanpa ada yang mengganggu.

Assalamualaikum Pangeran Syurgaku (TERBIT CETAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang