Pernah, gak?

170 13 0
                                    

Alexa dijemput oleh kakaknya, Edward a.k.a Steve dengan moge.

"What are you doing? This is mine." Kata Alexa saat berdiri di hadapan Steve yang membawa motor kesayangannya sambil menunjuk motor tersebut dengan kedua telunjuknya.

"So, what? Aku datang ngejemput kamu. Masa pake motorku sendiri? Bensinku akan berkurang. Aku gak mau itu terjadi." Jawab Steve sambil menggoyangkan jari telunjuknya di hadapan Alexa.

Alexa memutar bola matanya malas."Ya, ya. Terserah." Katanya kemudian. Ia lalu menerima uluran helm dari kakaknya dan duduk di belakang Steve, alias dibonceng oleh kakak ganteng.

"Itu rambut warnanya berubah lagi?" tanya Alexa kepada Steve saat sedang dalam perjalanan. Bagaimana tidak? Kini warna rambut Steve yang saat pertama kali sampai lagi di Indonesia pirang, berubah menjadi kecoklatan. Bahkan potongan rambutnya pun berubah.

"This is style, sist. Don't you know?" sahut Steve sambil nyengir dengan manis.

"Hm. Yaudah." Sahut Alexa seadanya.

Di perempatan, lampu lalu lintas berwarna merah.

"Steve, do you have a girlfriend?" tanya Alexa mendadak.

"Hm? Why? Kamu mencintaiku?" goda Steve.

"Of course. You're my brother." Jawab Alexa logis.

"Haaah. Kamu yang nanya, aku yang pusing." Keluh Steve.

"Wae-yo?" (Kenapa?) tanya Alexa mencari tahu.

"Bukan apa-apa." Jawab Steve malas. Melihat lampu lalu lintas yang sudah kembali hijau, Steve kembali melajukan motornya. Baiklah, motor Alexa yang tengah dikendarainya.

Setelah beberapa saat, keduanya sampai di rumah. Anna dan William terlihat sedang duduk menonton televisi.

"Udah pulang kalian? Kok gak salam?" tanya Anna kepada Alexa dan Steve begitu menyadari keberadaan keduanya.

"Udah, Mom. Tapi gak ada yang jawab." Kata Alexa jujur.

"Benar begitu?" tanya Anna memastikan.

"Iya, Mom." Jawab Steve membenarkan.

Steve lalu mengambil duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya. Sedangkan Alexa memilih untuk pergi ke kamarnya. Ia harus mandi dan berganti baju. Seragam sekolahnya sudah dipenuhi keringat karena dipakai seharian.

Di kamarnya, Alexa sedang duduk merenung di hadapan meja belajarnya. Ada pertanyaan yang belum terjawab. Dan ia tidak mengerti harus menjawabnya bagaimana, dan apa kira-kira jawaban yang tepat. Ia memutar-mutar pulpen di jarinya. Pandangannya lurus memandang lampu belajar yang menyala dengan terang.

Pikiran Alexa masih berkecamuk. Bagaimana cara ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu? Apakah ia harus bertanya? Namun bagaimana caranya? Apakah langsung saja, to the point seperti yang biasa ia lakukan? Atau harus ada tahap pengenalan masalah dan sebagainya? Untuk pertama kalinya, orang yang selogis Alexa mau merepotkan diri untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan yang bahkan ia tidak mengerti apa maksudnya.

"Hey, sist. Lagi ngapain?" suara Steve bertanya kepada Alexa sambil berdiri berdsandar di pintu kamar Alexa yang memang terbuka. Alexa tidak menggubrisnya, lebih tepatnya, ia tidak menyadari kehadiran Steve.

"Woy! Lagi ngapain kamu?" tanya Steve yang kemudian langsung masuk ke kamar Alexa dan berbaring di atas tempat tidur adiknya.

"Mikir." Jawab Alexa, masih fokus dengan dunianya. Ia bahkan tidak menoleh kepada lawan bicaranya.

"Hm? Mikirin apaan? Serius banget keliatannya." Selidik Steve. Alexa tidak segera menjawab. Ia masih sibuk memainkan pulpen dengan jarinya. Steve hanya bisa menghela nafas menghadapi kelakuan adiknya itu.

"Steve, pernah pacaran? Atau, pernah punya pacar?" tanya Alexa tiba-tiba dengan kursinya yang langsung ia putar ke belakang. Ia kini berhadapan dan menatap wajah kakaknya.

"Kenapa, sih? Makanya kalau baca buku atau belajar itu seperlunya, jangan dipaksain. Kasian tuh otak. Gesrek gara-gara kamu maksa belajarnya."

"Steve, aku nanya."

"I'm sleepy. Mau tidur. Bye." Kata Steve duduk. Ia lalu bangkit dan segera menjauh dari Alexa. Ia hendak kembali ke kamarnya. Namun sebelum benar-benar pergi, Steve menarik kenop pintu kamar Alexa untuk menutupnya. "Jangan tidur kemalaman. Besok sekolah. Good night." Katanya sebelum benar-benar menutup pintu kamar Alexa.

"Haaaaahh..." Alexa menghela nafas panjang. Steve benar-benar kakak yang tidakpeka. Saat adiknya bertanya, ia malah lebuih memilih tidur.

"Besok sekolah, katanya. Besok kan hari Minggu. Dasar pantat monyet!" omel Alexa kesal. Namun kemudian ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia masih belum mendapatkan jawaban daripertanyaannya. Ia lalu meletakan kepalanya di atas meja dengan lengannya yang ia gunakan sebagai bantal. Jari tangan kanannya ia mainkan dengan mengetuk-ngetuk meja. Pipinya ia kembungkan secara bergantian, kiri dan kanan. Namun jawaban dari pertanyaannya masih belum ia dapatkan.

"Hoaaaahhmm..." Alexa menguap. Ia lalu mematikan lampu belajar serta lampu kamarnya dan memilih untuk berbaring di atas kasurnya yang empuk dan nyaman. Sejenak ia bisa melupakan pertanyaan menjebak itu.

Waktu yang paling melegakan adalah saat tidur. Karena saat kita tertidur, kita dapat melupakan semua masalah yang terjadi walau hanya untuk sementara. – Alexa Aurelia.

When the Ice Fall in Love [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang