🦑 十四 | Yang Sebenarnya (1) 🦑

261 14 0
                                    

Seperti biasa, setelah salat Subuh Anggita sudah sibuk memasak di dapur agar anak-anaknya bisa sarapan.

Sejak kecil, Anggita memang mengajarkan anak-anaknya supaya sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah. Sebab, jika belajar dengan perut kosong, konsentrasi akan terganggu.

Danish sudah duduk di kursi, menunggu masakan istrinya terhidang di meja makan. Sedangkan Winda sudah kembali ke kamarnya beberapa menit yang lalu untuk bersiap setelah membantunya memasak.

Ini sudah pukul 06.55, tapi Nisa belum juga ke ruang makan.

"Win, coba panggil adikmu di kamar. Sudah jam segini dia belum nongol juga," titah Anggita ketika ia hendak memanggil putri bungsunya dan kebetulan Winda baru keluar dari kamar.

Winda mengamini perintah mamanya.

"Dek, disuruh Mama sarapan. Nanti kamu telat ke sekolah, lho," ujar Winda seraya mengetuk pintu kamar adiknya.

"Dek," panggilnya sekali lagi, namun dengan volume suara lebih keras dibanding tadi.

Nisa yang masih asyik dengan tidurnya menggeliat, tiba-tiba ia teringat sekolah. Lantas cepat-cepat bangun. Gadis itu tambah terkejut ketika melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 tepat.

"Ah, sial," umpat gadis itu kesal pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia lupa menyetel alarm.

"Iya, Kak. Nanti Nisa turun," teriaknya sebelum masuk ke kamar mandi.

Nisa mandi secepat kilat seperti mandi bebek. Hanya lima menit gadis itu sudah keluar kamar mandi. Dengan gerakan cepat, ia langsung memakai seragam dan berdandan apa adanya.

"Argh, walaupun gue gerak cepat, tetap aja gue telat. Apalagi ini sudah jam tujuh lebih. Belum lagi nanti kalau perjalanan ke sekolahnya macet."

Setelah Nisa sampai di dapur, gadis itu tetap sarapan. Ia sudah masa bodoh kalau nanti dihukum di sekolah.

"Kamu bangun kesiangan, ya?" tanya Winda seraya menaruh gelas usai meminum airnya setengah.

Nisa mengangguk. "Lupa nggak buat alarm," jawabnya, tangannya sedang menyendok nasi di rice cooker.

"Pa, motornya dipakai nggak?" Bukannya menanggapi perkataan adiknya, gadis itu malah ganti bertanya pada papanya.

"Kayaknya sih enggak." Danish menjawab, "Kalau mau kamu pakai ke kampus, pakai aja."

Dari ucapan kakaknya, Nisa menerka kalau kakaknya akan berangkat tidak lama lagi. Ini kesempatan bagus buatnya untuk meminta diantar ke sekolah. Lagipula kalau kakaknya ke kampus, pasti melintasi sekolah Nisa.

Ketika dilihatnya Winda berdiri, Nisa spontan meletakkan sendoknya. Gadis itu menyudahi makannya.

"Kak, gue ikut." Nisa meneriaki kakaknya yang hendak meninggalkan ruang makan, sementara dirinya masih mencium punggung tangan papanya.

Winda membalikkan tubuhnya bingung. Nisa ingin ikut dengannya ke bimbel?

"Ikut?" tanya gadis itu ragu hingga ucapannya terbata-bata.

"Iya, ikut naik motor. Anter gue ke sekolah."

Melihat kakaknya malah bengong dan mematung di tempat, Nisa langsung menarik pergelangan tangan Winda. "Udah, ayo buruan."

***

Di perjalanan, Winda cemas sekali. Ia takut dimarahi Bu Rukmana karena terlambat. Apalagi ia belum mengabari pemilik bimbel itu kalau dirinya akan datang terlambat dan tidak bisa mengisi pelajaran di jam pertama.

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang