🦑 十九 | Malaikat Penolong untuk Winda (2) 🦑

21 1 0
                                    

Usai meminum cokelat panasnya sampai habis dan memakan beberapa lembar roti tawar yang dikasih susu dan parutan keju, Ihsan mengajak Winda membeli baju.

Di toko baju, mereka tidak terlalu lama sebab Winda lebih banyak diam. Jadi, Ihsan membelikan baju yang sekiranya pantas dipakai gadis itu. Tidak banyak, hanya lima pasang.

Mood Winda sepertinya sedang buruk. Selama perjalanan tadi, gadis itu juga hanya memandangi suasana malam dari kaca mobil.

Beres dengan urusan belanjanya, Ihsan bertanya pada Winda mau menonton film komedi di bioskop atau tidak. Awalnya Winda menolak, tapi Ihsan langsung menarik Winda agar ikut bersamanya. Ia ingin menghibur gadis itu, berharap nantinya Winda mau mengungkapkan keresahan dalam hatinya.

"Gimana tadi filmnya, lucu?" tanya Ihsan ketika mereka sampai di apartemen Ihsan.

"Ya ... lumayan bisa menghibur," ujar Winda sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ia terlihat kelelahan. Tentu saja, apalagi seharian dia belum istirahat.

Winda memejamkan matanya, bukan tidur, ia hanya menikmati enaknya rebahan setelah seharian melakukan banyak aktivitas.

"Jangan tidur dulu, Win. Kamu belum makan. Ayo, makan dulu!" Ihsan mengeluarkan dua kotak berisi nasi padang dari plastik dan meletakkannya di meja depan Winda.

"Gue belum tidur, kok," protes Winda. Kemudian ia mengubah posisinya menjadi duduk. Lantas keduanya makan dengan lahap dan tak banyak bicara.

***

"San, makasih, ya. Gue udah banyak nyusahin lo selama ini," ujar Winda sembari menunduk. Sebenarnya ia tidak enak hati menyusahkan Ihsan terus-menerus, tapi kalau bukan Ihsan, ia tidak tahu mau minta tolong dengan siapa lagi.

"Sama-sama, Win. Biasa aja, dong. Nggak usah bersikap nggak enak hati gitu sama gue. Gue seneng kok bisa nolongin lo." Ihsan mengalihkan matanya dari televisi menjadi menatap Winda.

Ya, dua insan lawan jenis itu memutuskan untuk menonton televisi setelah menyelesaikan makan malamnya tadi.

Mata Winda fokus menghadap televisi. Namun, otaknya tidak bisa mencerna tayangan yang disuguhkan. Lantas, ia memilih untuk melontarkan isi pikirannya kepada Ihsan.

"San, gue harap keputusan ini adalah jalan terbaik, tapi kenapa rasanya tetap aja berat, ya?"

"Memutuskan sesuatu dengan terpaksa memang berat, Win. Apalagi kan lo pengin banget jadi dokter. Namun, keadaan saat ini nggak memungkinkan, bukan?"

Winda menghirup udara lantas diembuskan melalui mulut. "Bener banget, San. Sekarang aja gue nggak punya tempat tinggal."

"Hmm, ngomong-ngomong, lo boleh kok kalau mau tinggal di sini." Ihsan menawari.

"Eh, enggak-enggak. Gue nggak boleh lama-lama di sini. Kalau bisa, sih, besok gue harus udah pergi."

"Memangnya lo mau pergi ke mana?" Ihsan menatap Winda lama. Yang ditatap tampak berpikir keras.

Kadang, Winda memang seperti orang tolol secara tiba-tiba. Mana mungkin dia mau pergi besok. Pergi ke mana? Uang saja hanya tinggal dua puluh ribu rupiah, sisa dari bimbel kemarin. Buat makan sehari tiga kali saja tidak cukup.

Beberapa menit Winda sibuk dengan pikirannya sendiri. Tentu saja dia akan jadi gelandangan kalau besok angkat kaki dari apartemen Ihsan. Namun, ia juga tidak mau merepotkan lelaki itu terus-menerus.

Winda merasakan pusing di kepalanya. Apa yang diolah di dalam otaknya tak menghasilkan jalan keluar. Kini, keputusan seperti apa pun jadi serba salah. Namun, mau tidak mau ia harus segera memutuskan. Ia harus menerima risiko dari segala hal yang sudah dipilihnya. Dan Winda tidak memilih tinggal di apartemen Ihsan, tidak juga pergi jauh-jauh dari sana. Gadis itu mencari jalan keluar yang lain. Winda sadar kalau dirinya tidak bisa jauh dari pria itu saat ini. Kalau ia pergi jauh, entah apa jadinya Winda.

Sebagai jawaban dari pertanyaan Ihsan tadi, Winda hanya menjawab dengan bahasa tubuh. Ya, gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya. Ia tidak tahu harus ke mana.

"Oke-oke. Gue paham kok kenapa lo nggak mau tinggal di apartemen gue. Tapi gue harap lo jangan jauh-jauh dari gue, Win. Karena─." Ihsan menggantungkan ucapannya. Lelaki itu tidak berani mengucapkan suara hatinya.

Winda menyipitkan matanya, dahinya refleks jadi ikut berkerut. Pendengarannya ditajamkan, ia sudah bersiap mendengar perkataan Ihsan berikutnya.

Setelah ditunggu namun Ihsan tetap tidak bersuara, Winda sontak bertanya. "Karena apa?"

"Karena gue─."

"Iya?"

"G-gue rasa, gue suka sama lo, Win."

"Ah, candaan lo nggak lucu, deh, San."

Ihsan beralih posisi menjadi menghadap Winda. Lantas tangannya memegang bahu gadis itu. Memosisikan agar Winda berhadapan dengannya.

"Coba tatap gue, Win! Apa mimik muka gue mendeskripsikan kalau gue lagi bercanda?"

Winda diam saja. Ia bingung akan menjawab apa. Pasalnya, ini kali pertama ada pria yang mengungkapkan perasaannya kepadanya. Apalagi Ihsan mengungkapkannya secara terang-terangan, tepat di hadapannya.

"Gue nggak lagi bercanda, Win! Gue beneran suka sama lo." Ihsan menambahi perkataannya yang belum selesai.

"Lo mau kan jadi pacar gue?"

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang