🦑 二十三 | Khawatir dan Menyesal 🦑

210 10 0
                                    

Setibanya Hendra di rumah Danish, pria paruh baya itu sudah siap dan sedang menunggunya di kursi yang berada di beranda rumah. Setelah menyalimi dan mencium punggung tangan Danish, mereka berangkat menuju kantor notaris terdekat. Mereka satu motor. Hendra menawari untuk memakai motornya saja.

Usai menyerahkan KTP dan membubuhkan tanda tangan di kertas, mereka langsung pulang. Tidak sempat mereka berbincang dengan notarisnya, sebab kantor sedang ramai. Banyak orang yang menunggu giliran dipanggil. Di antara orang-orang tersebut, berbagai usia ada. Keperluan mereka pun bermacam-macam.

"Om, kita langsung rancang aja paket terbit dan lain sebagainya," saran Hendra ketika mereka berjalan berdampingan menuju parkiran kantor notaris.

"Boleh. Nak Hendra aja yang buat duluan, gimana? Om nanti mau nyicil buat website-nya dulu."

"Oke, Om. Nanti setelah aku buat, Om cek lagi, ya. Kasih saran juga, kalau-kalau ada yang kurang." Hendra menyengir kuda.

Kemudian mereka berhenti berbincang ketika sampai di motor Hendra.

"Lho, kok Om duduk di depan?" tanya Hendra ketika melihat Danish sudah selesai mengenakan helm, tapi bukannua duduk di belakang, ayah yang memiliki dua anak gadis itu malah duduk di depan.

"Gantian."

Hendra sudah buka mulut ingin protes, namun Danish keburu menyela. "Ayo, buruan naik!" titah Danish sambil matanya memberi isyarat.

***

Untuk sampai ke rumah Danish, mereka harus memutar karena jalan kantor notaris berlawanan arah dengan jalan menuju rumah Danish.

Danish mencebikkan bibir ketika melihat jalanan di seberang cukup padat. Mobil-mobil tak bergerak, hanya satu-dua yang mencoba maju. Sedangkan kendaraan roda dua merayap, beberapa ada yang menyelip di sela-sela mobil.

Tangan Danish sudah siap melajukan motornya keluar area kantor notaris. Kepalanya ditolehkan ke kanan lalu ke kiri. Beberapa kendaraan lewat di depannya. Setelah melihat jarak kendaraan pertama dan kendaraan di belakangnya cukup jauh, barulah ia menjalankan motornya.

Setelah memutar, Danish tidak mengikuti jalan raya. Ia membelokkan motornya ke jalan kecil yang terlihat lebih sepi ketimbang jalan raya.

Mentari bersinar terang hari ini, Danish yang semula kaca helmnya terbuka langsung menutupnya. Matanya sudah pegal menyipit karena silau. Sedangkan Hendra, lelaki itu duduk diam. Tak ada pembicaraan selama mereka menempuh perjalanan.

Sampai di rumah Danish, mereka tidak langsung kerja. Saat perjalanan pulang tadi, perut Danish keroncongan, cacing-cacing diperutnya sudah minta jatah. Jadi, pria paruh usia itu makan dulu. Tentunya Hendra diajak ikut serta.

"Makan yang banyak, Nak Hendra," ujar Anggita yang melihat Hendra tengah menaruh sendoknya di piringnya yang kosong. Makanannya sudah tidak bersisa. "Lihat, Om Danish aja nambah lagi. Apa masakan Tante nggak enak?"

"Eh, enak kok, Tante. Hendra udah kenyang aja. Kan nggak bagus juga kalau kekenyangan." Hendra mulai sok bijak. Namun, sedetik kemudian telah menunjukkan cengiran kudanya.

Anggita yang mendengar alasan anak muda itu hanya mengangguk-angguk. Sedangkan Danish tidak berminat menanggapi, ia hanya menyimak obrolan singkat mereka.

Usai makan, Danish mengambil laptopnya di ruang kerjanya. Sedangkan Hendra mengambil tasnya di ruang tamu. Kalau Anggita, istri Danish itu mengambil beberapa camilan dan membuat minuman dingin di dapur.

Hendra duluan yang sampai di ruang keluarga. Ia langsung menghempaskan bokongnya di sofa. Lantas membuka tas, mengambil buku dan pena. Ia mulai menulis sesuatu di sana.

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang