Setelah mendengar kalau Winda diusir dari rumah, Hendra langsung pamit pulang. Bukannya tidak mau membantu. Namun, ia sudah menggigil kedinginan. Ia harus mengganti pakaian basahnya dengan yang kering, makan, juga istirahat.
Sebelum benar-benar pulang, Hendra bilang kalau besok sepulang kuliah, ia akan datang lagi untuk membicarakan banyak hal. Tentu saja, itu ada sangkutannya dengan masalah Winda. Ia ingin masalah kali ini terselesaikan dan Winda bisa kuliah lagi tanpa merasa membebani orang tua.
Udara malam ini dingin sekali, apalagi hujan baru saja reda beberapa menit lalu. Hendra mempercepat laju motornya. Ia ingin segera sampai di rumah lantas menghangatkan tubuhnya dengan segelas kopi atau teh manis.
Kedatangan Hendra yang tiba-tiba membuat Aminah terperanjat. Pasalnya, wanita paruh usia itu tidak mendengar suara pintu dibuka.
Sembari mengelus-elus dadanya, Aminah mendekati putra tunggalnya.
"Kamu dari mana aja, sih, Ndra? Kok sampai hujan-hujanan gini? Apalagi ini dari pagi baru pulang."
Tidak ingin ibunya banyak pikiran, terpaksa Hendra berkata bohong. "Tadi waktu hujan, Hendra di rumah temen, Bu. Hendra kira hujannya bakal cepat reda. Eh, ternyata malah sampai malam nggak reda-reda."
"Kalau gitu, kenapa nggak nginep aja tempat temenmu?"
"Hendra khawatir kalau Ibu sendirian di rumah. Takutnya kenapa-kenapa."
"Ah, kamu ini. Ibu bukan anak kecil lagi, lho. Ibu juga nggak masalah kalau kamu nginep semalam di tempat temenmu. Kan kepepet. Kamu juga bisa ngabarin Ibu lewat telepon."
"Yang penting sekarang Hendra kan udah di rumah, Bu."
"Iya-iya. Ya udah, sana mandi. Nanti langsung turun. Kamu belum makan, kan?"
"Belum, Bu," jawab Hendra. Lantas meminta izin kepada Aminah untuk pergi ke kamar.
"Mau ibu buatkan kopi atau teh manis?" tanya Aminah ketika Hendra baru berjalan beberapa langkah.
"Terserah Ibu saja."
***
Pagi-pagi sekali Winda sudah bangun. Ia masih ingat dengan tanggung jawabnya mencerdaskan anak bangsa.
Walaupun badannya sedikit letih, ia tidak boleh lengah begitu saja. Apalagi saat ini ia tidak tinggal di rumahnya sendiri. Ia ikut orang. Tidak enak kalau hanya tidur-tiduran saja. Setidaknya tenaganya sebagai wanita berguna di apartemen ini. Ia bisa masak dulu sebelum bersiap mengajar.
Dengan langkah sempoyongan karena masih mengantuk, Winda pergi ke dapur.
Sesampainya di ruang masak tersebut, Winda bingung mau masak apa. Mengingat di apartemen Ihsan tidak ada wanita, tentu saja bahan dapur juga kosong.
Ingin sekali ia membangunkan Ihsan dan menyarankan untuk membeli sayur di pasar tradisional, tapi sepertinya pria itu belum bangun.
Ah, andai Winda punya uang sendiri. Pasti dia tidak perlu pusing-pusing seperti ini.
Tepat ketika Winda hendak masuk ke kamar, ia dikejutkan dengan adanya Ihsan di kamar itu.
"San, l-lo ngapain di sini?"
Ihsan yang posisinya membelakangi Winda lantas berbalik menghadap gadis itu.
"Lo dari mana, Win?"
Winda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena bingung mau menjawab apa. Kalau ia menjawab habis dari dapur, kesannya tidak sopan karena main menyelonong ke dapur orang. Yang ada, nanti Ihsan berpikir kalau Winda sedang lapar. Padahal niatnya ingin membuatkan makanan untuk sarapan pria itu.
"Hmm, tadi minum di dapur," dustanya. "Lo ngapain ke sini?" Winda mengulangi pertanyaannya yang belum diberi jawaban oleh Ihsan.
"Oh, anu. Tadinya gue ngirain lo belum bangun. Jadi, mau gue bangunin. Mau gue ajak sarapan bubur ayam langganan gue."
"Apa nggak mending kalau masak aja, San? Bisa ngirit."
"Ah, udah, masaknya besok aja. Sekarang kita sarapan bubur ayam aja dulu. Yuk!" Ihsan langsung menarik tangan Winda lembut, bermaksud agar gadis itu berhenti bicara dan mau mengaminkan ajakannya.
"Lo setiap pagi sarapan bubur ayam di sini?" tanya Winda setelah menelan bubur ayam di mulutnya.
"Nggak setiap hari juga, sih. Tepatnya, gue makan di sini kalau ada jadwal kuliah pagi."
Winda hanya menganggukkan kepala beberapa kali tanda mengerti.
***
"Win, ayo ikut gue."
Tanpa penolakan, Winda langsung berjalan sejajar dengan Ihsan.
Tepat setelah pintu terbuka lebar-lebar dan lampu dinyalakan, Winda terbengong melihat ruangan di dalamnya.
"Maksud lo ngajakin gue ke sini apaan, San?"
"Berhubung lo nggak mau tinggal di apartemen gue, jadi lo tinggal di sini aja," jelas Ihsan.
Ruangan yang membuat Winda terbengong itu letaknya tepat berada di samping apartemen Ihsan.
"Gue nggak mungkin tinggal di sini, San. Gue─,"
Perkataan Winda berhenti seketika, karena Ihsan menempelkan jari telunjuknya di bibir Winda. Mengisyaratkan agar gadis itu tidak lagi bicara.
"Gue tahu. Makanya gue yang bayarin apartemen ini."
"Tapi, San─,"
"Sstt! Gue nggak mau denger alasan apa pun."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik Ananta
Roman pour AdolescentsInilah cerita hidupku yang pelik. Saking peliknya, lebih memusingkan daripada memecahkan soal fisika maupun matematika, juga lebih sulit dibanding bermain rubik. ~Selfiana Winda Hasibuan.~ Selfiana Winda Hasibuan, gadis cantik berkacamata yang cukup...