🦑 十三 | Hari Pertama (2) 🦑

20 1 0
                                    

Hari ini hari pertama Winda mengajar di bimbel. Ia kebagian mengajar di jam kedua.

Tempat bimbel ini selalu ramai dari pagi sampai sore walaupun bukan hari libur.

Saat pagi hari, biasanya tempat itu diisi oleh anak-anak sekolah yang sekolah formalnya masuk siang. Sedangkan kalau sore, biasanya akan diisi anak-anak yang sekolah formalnya masuk pagi. Jadi, pagi-pagi Winda harus sudah di sana. Dan akan pulang ke rumah saat sore.

Inilah kegiatan baru Winda yang akan dijalani mulai hari ini, hari-hari berikutnya, bahkan bisa jadi sampai seterusnya. Setiap hari, tentu saja. Karena di sini ada berbagai program. Ada program untuk tes PTN, PTK, UN, Olimpiade, bahkan ada juga yang sekadar ingin mendalaminya saja.

Hari ini Winda beralasan pada Anggita akan mengerjakan tugas kelompok di rumah teman, kemudian lanjut kuliah. Padahal ia tidak pergi ke kampus, malah sudah sejak dua hari lalu gadis itu membolos. Rupanya keputusan Winda sudah bulat. Ia kan berhenti kuliah.

Tidak lupa ia mengatakan pada Anggita kalau akan pulang sore supaya mamanya itu tidak khawatir. Dan sandiwaranya hari ini berjalan lancar. Anggita percaya. Tapi entah suatu hari nanti kalau Winda setiap hari berangkat pagi dan kembali ke rumah pada sore hari. Apakah orang tuanya tidak akan curiga dengan alasan-alasan yang Winda ucapkan? Apalagi jika Winda memberi alasan yang sama, apakah Anggita akan percaya? Winda pasrah. Ia hanya bisa berharap Tuhan berada di pihaknya.

***

Sepulang dari bimbel, Winda langsung melempar tasnya dengan asal ke ranjang. Lantas menjatuhkan tubuhnya dengan kaki menggantung di pinggir ranjang. Baru hari pertama mengajar ia sudah seletih ini, apakah ia kuat menjalani hari-harinya ke depan?

Pertanyaan itu datang begitu saja seolah menyuruh Winda menyerah. Buru-buru gadis itu membuang jauh-jauh pikiran yang membuatnya lemah. Lantas ia beranjak. Badannya bau sekali, ia juga lapar karena terakhir makan tadi siang saat jam istirahat.

Winda bangun, kemudian menghampiri jendela. Gadis itu melihat panorama yang alam suguhkan padanya di sore hari. Mentari terbenam alias senja memanjakan matanya. Lantas ia teringat dengan sebuah lagu.

Mentari terbenam
Temani dalam kesendirianku
Temani aku dalam kepedihan
Ini kubertahan

Mentari terbenam
Beri semangat baru tuk jiwaku
Beri kicauan merdu tuk hidupku
Ini kubertahan

Winda menyanyikan lagu yang dibawakan oleh Citra Scholastika itu sebelum menutup tirai jendela. Gadis itu tersenyum sebentar, kemudian pergi ke kamar mandi untuk menghilangkan bau keringat yang menempel di tubuhnya.

Di kamar mandi, Winda meneruskan menyanyi lagu 'Pasti Bisa' tadi agar ia semangat dan tidak lagi mengeluh dengan ujian yang Tuhan berikan untuknya. Tangannya sibuk mengusap-usap rambut yang penuh buih sampo.

Aku pasti bisa
Menikmati semua dan menghadapinya
Aku yakin pasti bisa

***

Menyendiri di sebuah ruangan yang sepi dengan bertemankan beberapa camilan sudah menjadi ciri khas Hendra ketika menulis.

Di sudut kamarnya lelaki itu duduk bersila, tangannya merogoh makanan ringan di samping kanannya, lalu jari-jarinya kembali mengetik. Kali ini Hendra menulis novel remaja islami, tentang kehidupan santriwan dan perjuangannya menjadi hafiz Quran. Tidak ada kisah cinta di dalamnya. Ia ingin membuat pembacanya kali ini terinspirasi oleh cerita yang ia buat.

Hendra sudah sering membuat cerita cinta anak SMA, dan ia mulai bosan membuat novel dengan tema itu-itu saja. Saat ini hatinya tergerak untuk membuat pembacanya memiliki bacaan yang bermanfaat dan tentunya menginspirasi.

Baru mengetik seribu kata, Hendra menghentikan aktivitas mengetiknya. Kepalanya terasa berat, pun lehernya pegal sekali.

Hendra bangkit dari duduknya, lantas mencari meja kecil yang biasa ia gunakan untuk alas laptop.

Ketika melintasi lemari buku, Hendra melihat ponselnya menyala. Kemudian ia mengambil ponsel itu yang tadi memang diletakkan di salah satu buku yang ada di atas lemari itu.

Menunggu pegalnya reda, ia memainkan ponselnya sejenak. Ternyata ponselnya menyala tadi karena ada pesan WhatsApp masuk. Itu dari kelompoknya. Mereka sedang mendiskusikan kerja kelompok untuk mengerjakan makalah. Besok jadwal kuliah kelas Hendra masuk siang, salah seorang temannya mengusulkan kerja kelompok pagi harinya. Semua sudah setuju, tinggal Hendra yang belum menjawab.

Setelah menjawab pesan berisi persetujuannya, Hendra melihat-lihat apakah ada lagi pesan yang masuk. Rupanya tidak ada.

Tiba-tiba Hendra teringat kalau beberapa hari yang lalu ia mengirimi Winda pesan. Lantas pria itu mencari nama Winda. Bolak-balik ia scrool layar ponselnya ke atas dan ke bawah. Karena tidak kunjung ketemu, akhirnya ia mencari nama gadis itu melalui ikon pencarian di pojok kanan atas, tepat di samping kiri ikon titik tiga.

Laki-laki itu mengembuskan napas kecewa. Pesannya tidak dibalas, hanya dibaca saja.

Win, sebesar apa salah gue ke lo sampai-sampai lo nggak mau maafin kesalahan gue?

Sebelum pesan itu dikirim, Hendra membacanya sekali lagi.

Merasa agak kurang pas, jarinya langsung mencari ikon delete. Setelah terhapus, ia diam sebentar untuk merangkai kata. Saat dirasa kata-kata yang ia buat kali ini lebih bagus daripada tadi, lantas jari-jarinya mulai menari di layar ponselnya.

Win, segitunya ya lo marah sama gue? Sampai-sampai lo nggak sudi balas pesan dari gue lagi.

Pesan sudah terkirim. Hendra menyudahi bermain ponselnya. Ia tidak mau menghabiskan waktu lebih lama hanya untuk menunggu pesan balasan dari gadis itu. Karena ia sudah menebak kalau pesannya tidak akan dibalas seperti yang sudah-sudah. Lebih baik besok ia menemui Winda di kampus. Kalau sampai tidak datang lagi, barulah ia akan mendatangi rumahnya untuk meminta maaf dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

Sejak awal, memang ada dua sifat buruk pada diri Winda yang tidak ia sukai. Yang pertama, tidak peka. Bukan hanya tidak peka pada perasaan Hendra, atau perasaan gadis itu sendiri, tapi juga pada keadaan dan marabahaya yang ada di sekelilingnya.

Dan sifat kedua yang Hendra benci dari Winda adalah sifat keras kepalanya. Gadis itu sulit sekali diberitahu. Selalu saja tidak percaya ucapan Hendra dan malah menganggap seluruh ucapannya hanyalah kebohongan semata. Apalagi sejak dulu gadis itu tidak punya banyak teman. Jadi, sekali saja ada yang perhatian dan baik padanya, perempuan itu langsung senang sekali, bahkan terbuai dari masa lalunya yang pernah dikhianati sahabat sendiri.

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang