Tidak terasa ujian di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi usai dilaksanakan. Hingga tibalah saatnya para pelajar dan mahasiswa menghilangkan penatnya belajar.
Hari libur telah tiba sejak dua belas hari yang lalu. Para pelajar sudah harus mempersiapkan diri karena bentar lagi akan kembali masuk sekolah.
Jika hari libur identik dengan mudik, jalan-jalan, dan bersenang-senang dengan keluarga. Hal itu tidak terjadi di keluarga Winda kali ini. Maklum, keuangan keluarga memang menipis sekali. Apalagi Danish belum juga mendapat pekerjaan.
Malam ini Winda, Nisa dan orang tuanya duduk di kursi panjang yang ada di balkon. Mereka menatap keindahan langit malam yang berhambur bintang, juga pancaran sinar yang berasal dari sebuah lingkaran―bulan.
"Maafin Papa, ya, Nak. Tahun ini kita nggak bisa liburan ke rumah Nenek." Tiba-tiba Danish bersuara, mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya. Ia sedih tidak bisa membahagiakan putri-putrinya di hari libur mereka.
Sembari memandangi benda-benda langit di malam hari, Danish mengusap lembut puncak kepala anak-anak gadisnya.
"Maafin Papa yang masih jadi pengangguran sampai sekarang," ucapnya lagi.
"Pa, apa Papa nggak ada niat buat bangun bisnis lagi dari awal?" tanya Winda.
Danish tersenyum datar, sesaat kemudian menggeleng. "Enggak. Nggak ada modal, Win. Lebih baik Papa kerja sama orang aja dulu sembari nabung. Kalau tabungan sekiranya udah cukup buat bangun bisnis, insyaallah Papa berani coba."
"Apalagi yang terpenting buat Papa saat ini adalah uang kuliah kamu."
Winda mematung seketika, lantas merespons ucapan ayahnya dengan tersenyum kikuk. Memang, belakangan ini, tiap kali orang tuanya menyinggung masalah kuliah, ia tidak bisa lagi berkata apa-apa.
***
Dunia sudah semakin tua. Terbukti, sebab tanda-tandanya sudah mulai terlihat. Salah satunya adalah waktu yang berputar terasa begitu cepat.
Seminggu seperti sehari, sebulan seperti seminggu, dan setahun seperti sebulan.
Padahal rasanya baru kemarin hari libur tiba, tapi sekarang para pelajar sudah berbondong-bondong pergi ke sekolah. Para mahasiswa juga sudah mulai sibuk mengurus pelbagai hal untuk melanjutkan semester berikutnya. Salah satunya membayar uang semesteran.
Pagi-pagi sekali Danish memanggil Winda sembari mengetuk pintu kamar anak tertuanya. Tangan kirinya menggenggam segepok uang yang diikat dengan karet gelang.
Setelah pintu terkuak lebar-lebar, Danish masuk dan langsung duduk di ranjang. Winda mengikuti lantas duduk berhadapan dengan ayahnya. Gadis itu duduk dengan punggung menyender kepala ranjang seraya memeluk boneka panda besar miliknya.
"Nah, ini uang untuk bayar kuliah kamu semester ini," ucap Danish sembari meletakkan uang itu di telapak tangan Winda. "Kalau bisa bayarnya sekarang atau secepatnya. Pokoknya jangan ditunda-tunda! Nggak bagus."
Winda mengangguk sebagai tanda bahwa dirinya mengaminkan titah sang ayah. Namun, setelah Danish menghilang dari pandangannya, Winda masih terpaku di tempat sembari menatap kosong uang yang ada di tangannya. Sebab ia bingung, akan diapakan uang tersebut. Jika dikembalikan, otomatis orang tuanya bertanya-tanya apa alasannya. Padahal, dirinya sendiri belum siap untuk membeberkan rahasia ini ke papa dan mamanya.
Winda meletakkan uang itu di kasur. Lantas ia mondar-mandir sembari menggigit kuku ibu jari kanannya seperti orang tidak waras.
"Oke. Lebih baik uangnya gue simpan aja dulu," putusnya kemudian.
Setelah menyimpan uang pemberian papanya, Winda membersihkan tubuhnya, sarapan, lantas pergi dari rumah dengan beralasan hendak membayar uang kuliahnya. Tentu saja orang tuanya percaya dan mengizinkan.
***
Sejak diberi tugas mamanya untuk membantu pekerjaan rumah, Nisa sering kelelahan. Setelah salat Subuh, ia harus membantu mamanya sebelum bersiap ke sekolah, pergi ke sekolah, mengerjakan tugas menyapunya lagi setelah istirahat beberapa menit sepulang sekolah, dan baru bisa istirahat saat malam. Itu pun kalau tidak ada tugas dari sekolah yang harus ia kerjakan. Kalau ada tugas, ia baru istirahat sekitar pukul sepuluh atau sebelas malam. Alhasil, sekarang gadis itu demam. Tifusnya kambuh.
Usai membereskan pekerjaan rumah, Anggita pergi ke kamar anak bungsunya untuk memberi sarapan. Danish ikut membuntuti di belakang istrinya, ia ingin memberikan perhatian lebih kepada Nisa supaya anak gadisnya itu lekas sembuh.
"Sayang, sarapan dulu, yuk!" ucap Anggita sembari mengusap puncak kepala Nisa setelah sebelumnya menaruh nampan berisi semangkuk bubur ayam dan air minum.
Nisa menggeleng. "Nggak mau, Ma." Nisa menolak. Padahal bubur ayam adalah salah satu makanan kesukaannya setelah rendang.
"Ayo, dong, Sayang. Makan dulu." Kali ini Danish yang membujuk. Namun, Nisa tetap tidak mau.
"Lidah Nisa rasanya pahit, Pa. Nisa nggak mau makan."
"Oh, gini aja kalau gitu. Nisa mau apa?"
Nisa berpikir sejenak. "Nisa pengin yang seger-seger, Pa. Hmm, Nisa pengin makan bakso."
"Oke. Nanti Papa bilang ke Kak Winda buat belikan bakso."
Nisa mengangguk.
Ketika Anggita ingin menyuapi Nisa, Danish merebut mangkuk di tangan istrinya itu. "Sini, Ma, biar Papa aja yang nyuapin Nisa. Mama telpon Winda aja. Suruh dia beli bakso."
Baru beberapa suap, Nisa sadar kakaknya tidak ada di rumah.
"Pa, memangnya Kak Winda ke mana?"
"Bayar uang kuliahnya."
Mendengar penjelasan dari papanya, Nisa jadi teringat ucapan kakaknya waktu itu. Lantas ia memanggil papanya.
"Pa."
Danish menanggapi dengan berdeham, karena tangannya sibuk menyendok bubur dengan pandangannya terfokus ke mangkuk yang ada di tangannya.
"Apa jas putih yang biasanya dipakai Kak Winda koyak?"
"Kalau masalah itu, Papa kurang tahu, Sayang. Nanti coba tanya ke Mama, ya."
"Memangnya kenapa kamu nanya kayak gitu?" ujarnya lagi. Namun, kali ini dengan pertanyaan. Danish saat ini menatap manik mata anak gadisnya lekat-lekat, tanda ia ingin sekali mendengar alasan anaknya menanyakan hal tersebut.
"Waktu itu Nisa nggak sengaja denger Kak Winda ngomong kayak gini, Pa." Nisa mengikuti ucapan kakaknya waktu itu. "Nisa pikir jas Kak Winda robek atau kena noda yang nggak bisa hilang dan Kak Winda nggak berani bilang ke Mama sama Papa. Jadi, Nisa tanya kayak tadi ke Papa. Soalnya Kak Winda kan seneng banget pakai jas putih itu. Pasti sekarang Kak Winda sedih banget, ya, Pa."
Danish bergeming, tetapi otaknya terus memikirkan pernyataan Nisa. Jika yang diucapkan Nisa tadi benar adanya, alangkah kasihan sekali anak sulungnya itu.
Danish salut dengan anak gadis tertianya. Walaupun usianya masih belia, gadis itu bisa memahami kalau kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik. Apalagi ayahnya masih pengangguran. Sampai-sampai ia tidak berani bilang ke orang tuanya karena takut akan semakin menambah beban hanya untuk membelikannya jas baru.
"Maafin, Papa, Nak. Papa belum bisa jadi ayah yang baik buat kalian," ucapnya dalam hati.
"Nisa nggak usah khawatir, ya. Masalah itu, nanti Papa tanya ke Kak Winda," ujarnya berusaha menenangkan putri keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik Ananta
Teen FictionInilah cerita hidupku yang pelik. Saking peliknya, lebih memusingkan daripada memecahkan soal fisika maupun matematika, juga lebih sulit dibanding bermain rubik. ~Selfiana Winda Hasibuan.~ Selfiana Winda Hasibuan, gadis cantik berkacamata yang cukup...