🦑 二十四 | Rumah Sakit (1) 🦑

234 11 5
                                    

Suara detak jarum jam begitu jelas terdengar di telinga Hendra. Lelaki itu baru saja sampai rumah. Lebih tepatnya kini sedang mematung di depan pintu kamar ibunya.

Dari pintu, ia mendapati pemandangan yang tidak biasa. Terlihat Aminah sedang duduk di tepi ranjang, memunggungi Hendra sembari mulutnya mengeluarkan apa yang wanita itu makan. Aminah muntah.

Punggung wanita itu sesekali naik-turun. Di usianya yang belum genap lima puluh tahun itu terlihat begitu rapuh.

Hendra bergeming. Kakinya seperti dipaku, terasa berat sekali dan tak sanggup digunakan untuk melangkah.

"I-ibu". Susah payah mencoba, hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya.

Aminah menoleh, dengan gesit ia menyimpan ember di pangkuannya ke bawah tempat tidur.

Sedikit demi sedikit Hendra menggerakkan kakinya, menghampiri Aminah.

"Ibu sakit?" tanyanya sambil melepas tas dan menaruhnya di ranjang ibunya.

"Ibu cuma kelelahan aja kok, Ndra. Besok mungkin sudah sembuh."

"Ibu nggak boleh menyepelekan kesehatan kayak gitu. Pokoknya Ibu harus ke rumah sakit." Hendra langsung menggendong ibunya tanpa memerlukan jawaban terlebih dahulu.

Hendra menggendong ibunya dan mendudukkan di kursi yang ada di serambi rumah. Sementara itu, Hendra memesan taksi secara online. Setelah taksi datang, Hendra menggendong Aminah dan membantunya masuk taksi tersebut.

Hendra berjalan seraya mendorong ranjang tidur rumah sakit setelah menunggu beberapa jam dan akhirnya mendapat kamar. Botol infus di kiri atas kepala Aminah bergoyang-goyang kecil mengikuti irama langkah kaki.

"Ibu mikir apa, sih?" tanya Hendra setelah beberapa perawat meninggalkan ruangan yang diisi lima pasien itu.

"Ibu cuma kasihan sama kamu, Nak. Kamu pasti lelah dan kurang istirahat karena kuliah sambil kerja."

"Ibu seharusnya nggak perlu mencemaskan hal itu. Kalau lelah, sih, sudah pasti, Bu. Kita sebagai manusia kan memang sudah seharusnya berusaha dengan giat kalau mau mendapatkan yang kita inginkan. Uang misalnya. Rezeki nggak bakal datang dengan sendirinya ataupun jatuh dari langit secara tiba-tiba. Ibu kan tahu itu. Lagipula Hendra sudah menginjak dewasa, Bu. Hendra tahu kapan saatnya untuk istirahat, juga kapan saatnya Hendra harus belajar dan kerja. Kalau Hendra lelah, Hendra pasti langsung istirahat kok. Kecuali di saat ada hal mendesak yang harus Hendra selesaikan secepat mungkin."

"Bukan cuma itu saja, Ndra. Kamu juga bantu-bantu pekerjaan rumah, lho. Kayak benerin genting yang geser, bikin aliran air di taman depan rumah, dan masih banyak lagi."

Hendra memegang bahu Aminah yang tinggal kulit terbalut tulang itu, lantas dengan hati-hati Hendra menjelaskan kepada ibunya bahwa ia baik-baik saja.

"Bu, pekerjaan yang tadi Ibu sebutkan itu bagi Hendra nggak berat kok. Hendra malah senang bisa bantu meringankan pekerjaan Ibu. Lihat saja Ibu, banyak sekali yang harus Ibu kerjakan setiap harinya. Masak, mencuci piring dan baju, menyapu, mengepel lantai sebulan sekali, menyapu daun-daun jambu air yang berguguran di halaman depan rumah, dan masih banyak lagi. Hendra jarang bantuin Ibu mengerjakan itu setiap harinya. Hendra bisanya cuma menikmati aja. Lihat rumah yang bersih dan rapi. Makan juga tinggal makan, nggak harus repot-repot masak apalagi cuci piring. Nah, coba Ibu lihat Hendra. Hendra cuma kuliah terus kerja sambilan. Itu pun cuma ngedit atau nge-layout naskah aja. Kerjanya cuma duduk-duduk, cuma jari aja yang gerak. Sedangkan tubuh Hendra nggak banyak gerak. Jadi, tingkat kelelahan Hendra nggak sebanding sama tingkat kelelahan Ibu. Masih lebih lelah Ibu daripada Hendra. Jadi, seharusnya Hendra yang khawatirin Ibu, bukan Ibu yang khawatirin Hendra."

Air bening tiba-tiba muncul dari sudut mata Aminah. Jujur, memang sering kali ia merasa lelah mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri. Namun, mau bagaimana lagi. Di rumah itu hanya ia satu-satunya penghuni perempuan. Ia tidak punya anak perempuan. Walau begitu, Aminah bersyukur memiliki anak laki-laki yang kuat seperti Hendra. Jadi, pekerjaan berat seperti membenahi genting yang merosot bisa meminta bantuan anak lelakinya itu. Tidak terbayang bagaimana jika ia memiliki anak perempuan tapi tidak memiliki Hendra, mungkin genting merosot tersebut akan dibiarkan begitu saja.

Hendra yang menyadari Aminah menangis langsung menyeka air mata ibunya yang luruh ke pipi.

"Ibu kenapa menangis?"

"Maafin Ibu, Nak," ujarnya. Air mata yang luruh jadi kian menderas.

"Kenapa Ibu minta maaf sama Hendra? Ibu nggak salah apa-apa. Ibu nggak punya salah sama Hendra."

"Dengan Ibu sakit begini, Ibu jadi semakin menyusahkanmu. Sekarang bukan hanya biaya hidup yang kamu tanggung, tapi biaya rumah sakit juga. Sekali lagi maafin Ibu, Ndra."

Tanpa banyak bicara, Hendra langsung meraih kepala Aminah dan menempelkan ke dada bidangnya. Hendra mendekap ibunya penuh cinta.

Setelah ibunya tenang, Hendra izin pulang sebentar untuk membersihkan diri. Ia tidak membawa baju ganti, ibunya juga demikian sebab Hendra tadi buru-buru, sampai-sampai hal seperti itu tidak lagi terpikirkan olehnya.

***

Kunci diputar dua kali, menimbulkan bunyi nyaring yang khas. Hendra melangkahkan kakinya memasuki kamar. Rumah begitu sepi, suara kipas angin yang terpaku di dinding semakin jelas terdengar. Detikan jam juga lebih nyata.

Dengan cepat, Hendra menuju kamar mandi. Seperti izinnya tadi kepada Aminah─hendak membersihkan diri.

Lima belas menit kemudian pemuda itu sudah mengenakan pakaian rapi. Rambutnya basah karena keramas. Wajahnya terlihat lebih segar.

Tak ingin ibunya lama menunggu, pemuda itu langsung salat Magrib. Setelah selesai, ia mengambil tas yang ia tinggalkan di kamar ibunya, mengeluarkan isinya, lantas mengisinya dengan beberapa pakaian Aminah dan dirinya. Tak lupa, sajadah, peci, juga Alquran turut dimasukkan. Bahkan laptop pun ia bawa.

Saat hendak memasukkan laptop, ponselnya berbunyi. Bukan karena ada panggilan masuk, melainkan ada sebuah pesan. Dari Danish.

Om Danish: Hen, besok mau ambil akta notarisnya bareng-bareng? Setidaknya kita nanti langsung bisa daftar akun di web PNRI terlebih dulu sambil nunggu proses surat-surat lainnya diselesaikan.

Begitu isi pesannya. Setelah membacanya dengan cermat, Hendra langsung mengetikkan pesan balasan.

To Om Danish: Maaf, Om, Hendra nggak bisa nemani Om ambil akta notarisnya. Ibu masuk rumah sakit. Mohon doanya dari Om dan sekeluarga supaya ibunya Hendra diberi yang terbaik sama Allah.

Tiba-tiba masuk panggilan dari Danish setelah beberapa menit pesan terkirim.

"Assalamualaikum, Nak Hendra. Aminah dirawat di rumah sakit mana?"

"Waalaikumussalam. Di RS. Sehat Sejahtera, Om."

"Oke, makasih. Besok pagi Om sama Tante ke sana. Jam jenguk buka jam jerapa di sana?"

"Kalau pagi pukul 10.30 sampai 11.30, Om. Kalau sore pukul 16.30 sampai 20.30."

"Kirim ke WhatsApp Om aja, Hen. Takutnya nanti Om lupa."

"Oke, Om, nanti Hendra kirim ke WhatsApp Om. Udah dulu, ya, Om. Soalnya ini di rumah. Mau berangkat ke rumah sakit lagi. Kasihan Ibu sendirian. Assalamualaikum."

Setelah Danish menyelesaikan balasan salam, Hendra buru-buru mengakhiri panggilan. Lalu, ia mengirim pesan ke WhatsApp Danish sesuai permintaan pria paruh baya tadi.

Beres memasukkan beberapa pakaian dan barang-barang lain yang perlu dibawa, Hendra langsung menuju rumah sakit. Belum sampai rumah sakit, perutnya terasa perih. Ia ingat kapan terakhir makan. Tadi pagi. Ya, Hendra terakhir mengisi perutnya tadi pagi saat Danish mengajaknya makan bersama usai mengurus CV di kantor notaris. Dan sekarang, pria itu merasakan lapar yang teramat.

Ketika melajukan motornya beberapa meter lagi, lelaki itu melihat rumah makan sederhana. Ia membeli satu porsi ayam geprek. Tentu saja Hendra tidak memakannya langsung di situ. Sebab, itu akan membuat ibunya menunggu semakin lama.

***

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang