Hari ini Winda bersiap untuk ke Jakarta. Besok adalah hari di mana peperangan otak akan dimulai.
Setelah salat Zuhur, dia mulai bersiap mengemasi barang-barang yang dibutuhkan selama di Jakarta seperti buku, pakaian, peralatan mandi dan sebagainya.
Kini, gadis mungil itu sedang melipat dua setel baju dan memasukkannya ke dalam tas. Tak perlu banyak pakaian yang ia butuhkan sebab setelah ujian selesai, ia akan berjalan-jalan sekadar untuk refreshing dan esoknya ia akan kembali ke Yogyakarta.
"Kak, dipanggil Mama sama Papa tuh."
Winda menoleh dan mendapati adiknya yang menyembulkan kepala di pintu kamarnya.
"Oke, bentar lagi Kakak turun."
Nisa tidak langsung pergi, dia malah melempar tubuhnya ke kasur kakaknya dengan keadaan tengkurap. Melihati Winda yang sedang berkemas. Seberkas kesedihan menyeruak dalam gadis berusia 14 tahun itu. Walau tak pernah akur dengan kakaknya tapi ia merasa kehilangan saat membayangkan Winda berada jauh di Jepang yang jauh dari rumah.
"Yah, kalau Kak Winda kuliah di Jepang. Rumah bakal sepi dong. Nggak ada yang bisa Nisa ajak berantem." Wajah Nisa ditekuk cemberut sembari memandangi kakaknya yang memilih duduk di lantai.
Winda menutup tas lalu menyimpannya. "Bukannya kamu seneng kalau Kakak nggak ada di rumah?" tebaknya. "Udah yuk ke bawah. Entar kamu berantakin kamar kakak lagi," tuduhnya sembari mengacak rambut adiknya dan melangkah keluar kamar.
Nisa mencebikkan bibir. Tapi ia tak membantah tuduhan kakaknya itu. Karena mungkin ia akan merindukan tuduhan-tuduhan itu saat Winda sudah jauh darinya. Mau tak mau gadis setinggi 145 cm itu keluar kamar kakaknya, lalu mendahului langkah kakaknya saat di tangga turun.
"Nggak sabaran banget kalau jalan, jatuh baru tahu rasa!"
Anggita yang sedang menyaksikan gambar yang mengeluarkan suara dari benda kotak di hadapannya itu pun menoleh saat mendengar cerocosan Winda. Wanita paruh baya itu geleng-geleng kepala menyaksikan dua putrinya yang tak pernah akur itu. Padahal sama-sama lahir dari rahim yang sama. Entah, dulu saat mengandung ia mengidam apa.
"Ada apa, Ma, kok manggil Winda? Papa mana?"
"Mau ngerayain kakak yang mau ninggalin rumah," balas Nisa cepat.
Anggita mengisyaratkan putri bungsunya untuk tidak bicara. Saat itu juga Danish muncul dari kamarnya.
"Papa di sini," jawabnya berjalan menuju sofa dan menghempaskan pantatnya di kursi empuk itu.
"Udah siap-siap?" tanya Anggita sembari menatap anaknya.
"Udah dong, Ma."
Anggita mengangguk.
"Setelah salat Ashar kita berangkat." Danish melirik arloji hitam yang melingkar di tangan kirinya.
Jam menunjukkan pukul 14.00, masih ada waktu untuk istirahat sebelum menempuh perjalanan jauh.
"Makan siang dulu, yuk," ajak Danish. Winda, Nisa, dan Anggita mengekor.
***
Winda duduk di kursi mobil depan sembari matanya mengarah ke luar. Melihat langit jingga sore hari di perjalanan cukup mengasyikkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik Ananta
Novela JuvenilInilah cerita hidupku yang pelik. Saking peliknya, lebih memusingkan daripada memecahkan soal fisika maupun matematika, juga lebih sulit dibanding bermain rubik. ~Selfiana Winda Hasibuan.~ Selfiana Winda Hasibuan, gadis cantik berkacamata yang cukup...