Suasana hati Hendra masih kacau balau ketika perjalanan pulang. Sebenarnya tidak baik mengendarai motor dengan emosi yang tidak terkontrol seperti itu. Namun, lebih baik dia pergi dari sana daripada menyaksikan orang terkasihnya sedang bermesra-mesraan dengan pria lain.
"Ah, sial! Kenapa Winda nerima cowok brengsek itu jadi pacarnya, sih? Apa jangan-jangan, Winda jatuh cinta sama Ihsan sejak lama?" ujar Hendra setelah membanting pintu kamarnya keras-keras. Untungnya, Aminah tadi sedang menyapu halaman depan rumah. Jadi, wanita itu tidak mendengar suara pintu yang ditutup oleh Hendra dengan kasar.
Hendra berjalan ke sana kemari, cemas kalau-kalau ia tidak bisa merebut hati Winda dari Ihsan.
Hendra memang bodoh dalam hal perasaan, percintaan, atau lebih tepatnya adalah berpacaran. Dia hanya menunjukkan perhatiannya kepada orang yang disuka melalui kemampuan bicara (cerewet) yang dimilikinya. Romantis? Tentu saja dia tidak piawai dalam hal itu, apalagi masalah gombalin cewek atau bikin cewek pada bawa perasaan.
Harusnya waktu SMA, dia langsung saja menyatakan perasaannya pada Winda, bukannya memaksa Winda untuk jatuh cinta padanya seperti yang dulu ia katakan. Dan sekarang, dia baru menyesal.
Usai mondar-mandir seperti setrikaan, Hendra menjambak rambutnya sendiri seraya menjerit pelan. Ia benar-benar frustrasi.
***
Setelah Winda menerima cinta Ihsan. Lelaki itu langsung mengajaknya beres-beres apartemen. Bukan merapikan apartemen Ihsan, melainkan apartemen yang akan ditinggali gadis itu.
Di sela-sela kegiatan mereka, Ihsan melihat Winda berdiri termangu di dekat jendela sambil menopang dagu.
Ihsan melambaikan tangan di dekat wajah Winda beberapa kali, namun tatapan gadis itu tetap kosong dan bahkan matanya tidak berkedip.
"Sayang, apa yang lo pikirin, sih?" ujar Ihsan seraya mengalungkan tangannya di leher Winda. Matanya masih menatap gadisnya lekat-lekat.
Winda berjingkat karena kaget. Napasnya jadi tidak teratur.
Ingin sekali ia memaki-maki Ihsan karena sudah membuat jantungnya hampir melompat. Namun, hasratnya itu ia urungkan. Ia sedang tidak mood bicara banyak, apalagi memaki identik dengan bicara tanpa jeda yang akan menguras habis tenaganya. Ia tidak mau membuang-buang tenaga hanya untuk hal tak penting seperti itu saat ini. Jadi, ia memilih diam dan menata ulang suasana hatinya.
"Kalau ada apa-apa tuh cerita sama gue. Jangan dipendam sendiri!" sindir Ihsan. Dalam hati ia geram sekaligus kesal karena gadis di sampingnya itu selalu menyusahkan dirinya. Kalau bukan karena ingin rencananya berjalan lancar, dia tidak mau menolong gadis itu. Apalagi harus berpura-pura baik dengannya.
Merasa disindir supaya cepat bercerita, Winda mengembuskan napasnya melalui mulut. "Hmm, San, apa gue balik ke rumah aja, ya?"
Takut Winda pulang dan rencananya bisa saja gagal, dengan cepat Ihsan menanggapi pertanyaan gadis itu.
"Lo yakin? Ingat, Win, bokap lo udah ngusir lo dari rumah itu? Lo yakin kesalahan lo bakal dimaafin sama bokap lo?"
Winda menggeleng. Namun, gelengannya bukan tanda sebagai jawaban tidak. Ia menggeleng karena bukan itu yang Winda maksud. Ia tidak berniat tinggal di rumah itu lagi. Ia benci ayahnya yang tidak bisa memahami perasaan Winda. Padahal, gadis itu berhenti kuliah karena kasihan dengan sang ayah. Namun, ayahnya tidak bisa melihat pengorbanannya.
"Gue bukan mau tinggal di sana, gue cuma mau ambil barang-barang gue. Termasuk pakaian gue."
"Oh, masalah itu." Ihsan memperlihatkan cengiran kudanya. Winda yang melihat Ihsan malah menyengir jadi memanyunkan bibirnya. Ia semakin kesal dengan pria yang kini berstatus sebagai kekasihnya.
"Jangan ngambek, dong. Cantik lo hilang, lho, nanti," goda Ihsan sambil menyolek dagu Winda.
Winda mendecak. "Ah, bodo amat!" ujarnya, tangannya buru-buru menyingkirkan tangan Ihsan dengan kasar dari dagunya.
"Jangan kasar-kasar dong. Nanti kita beli baju, deh."
Winda terdiam. Ihsan berpikir kalau Winda tipe perempuan mata duitan karena saat diiming-imingi akan membeli baju, gadis itu langsung diam. Padahal Winda diam karena ia merasa semakin membebani pria itu. Ia ingin menolak, namun lidahnya terasa kelu.
***
Hari berganti, menandakan kalau sudah waktunya Hendra harus ke rumah Danish. Hari ini mereka akan pergi ke kantor notaris untuk mengurus pembuatan CV.
Semalam, Hendra sudah bilang kalau akan ke rumah ayah dari gadis yang dicintainya itu pagi-pagi. Sambil membawa tas yang berisi laptop, Hendra menjejaki lantai dengan santai menuju kamar ibunya.
Aminah belum bangun, sepertinya ibu Hendra kelelahan menyapu halaman rumah yang terbilang luas kemarin. Apalagi semua pekerjaan rumah dia yang mengurusnya saat Hendra tidak ada di rumah.
Sempat dulu Hendra ingin memiliki asisten rumah tangga untuk mengurus pekerjaan rumah. Keinginannya itu ia sampaikan kepada sang ibu. Namun, ibunya menolak mentah-mentah. Aminah beralasan kalau ia tidak bisa mencari uang untuk membayar asisten itu nanti. Walau Hendra sudah bilang kalau ia yang akan membayarnya, Aminah tetap teguh pada keputusannya. Sepertinya, wanita separuh usia itu tidak ingin menambah beban sang anak. Sudah cukup ia merebotkan anak lelakinya dengan sakit yang dideritanya yang harus kontrol setiap bulannya.
"Bu, ibu nggak apa-apa?" tanya Hendra sembari menyentuh lembut tangan Aminah yang semakin mengecil karena digerogoti penyakit.
Aminah yang masih tertidur sedikit terperanjat karena sentuhan anaknya.
"Ibu nggak apa-apa kok. Cuma kelelahan aja," ujar Aminah sembari memosisikan tubuhnya menjadi duduk. Hendra turut membantu.
"Kamu mau berangkat kuliah?" Aminah membuka suara lagi.
"Engak, kok, Bu."
"Lho, kok pagi-pagi begini udah rapi aja. Mau ke mana?" desak Aminah supaya anaknya segera menjelaskan.
"Ke tempat Om Danish, Bu. Mau mengurus CV ke kantor notaris."
"Terus kerjaanmu yang sekarang gimana?"
Ya, Hendra kuliah sembari bekerja. Seperti yang dulu ia katakan pada ibunya untuk kerja sampingan. Ah, tepatnya, kala itu ia meminta izin agar dibolehkan bekerja.
Hendra bekerja di salah satu penerbitan menjadi editor naskah. Maka dari itu, ide yang tercetus untuk menyelesaikan masalah ekonomi keluarga Danish ialah mendirikan penerbitan.
"Kerjaan yang sekarang tetap dilanjut, Bu."
"Apa nggak takut kuliahmu bakal terganggu?" Aminah menginterogasi.
"Ibu tenang aja. Hendra udah dewasa, Bu. Hendra bisa bagi waktu kok."
Sedetik kemudian, ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Ia harus segera pergi. Lantas, lelaki itu berpamitan pada ibunya.
"Maaf, ya, Nak. Kamu nggak bisa sarapan. Soalnya ibu belum masak."
"Ibu santai aja, nggak usah terlalu mengkhawatirkan Hendra. Nanti Hendra bisa beli makan di luar kok."
"Ya, udah, Bu. Hendra pergi dulu. Hati-hati di rumah dan jangan lupa minum obatnya. Kalau ada apa-apa, telepon Hendra, ya, Bu." Hendra menyalimi dan mencium punggung tangan ibunya. Lantas berganti mencium kening. "Ibu jangan banyak pikiran, ya, itu nggak baik buat kesehatan Ibu," pesannya, lalu mengucap salam sebelum meninggalkan kamar Aminah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik Ananta
Dla nastolatkówInilah cerita hidupku yang pelik. Saking peliknya, lebih memusingkan daripada memecahkan soal fisika maupun matematika, juga lebih sulit dibanding bermain rubik. ~Selfiana Winda Hasibuan.~ Selfiana Winda Hasibuan, gadis cantik berkacamata yang cukup...