Hari ini hari kedelapan Aminah dirawat di rumah sakit. Kondisinya sudah banyak perubahan. Sudah jauh lebih baik ketimbang hari pertama ia datang kemari.
Satu-dua pasien yang Aminah kenal ada yang sudah pulang. Tapi tidak lama ranjang itu sudah diisi lagi dengan pasien baru. Dan kali ini, giliran Aminah yang meninggalkan ruangan itu.
Anggita dan Danish juga ada di sana. Kebetulan, pasangan suami-istri itu sedang membesuk setelah tiga hari yang lalu Hendra menggantikan Anggita menjaga ibunya. Ketika dokter datang dan membawa kabar bahwa Aminah sudah bisa pulang hari ini, wajah pasangan suami-istri itu tak kalah cerah dengan wajah Hendra. Mereka tampaknya turut bahagia teman lamanya hari ini akan keluar dari rumah sakit dalam keadaan yang lebih baik.
Setelah Hendra kembali dengan membawa obat dan mengurus kepulangan, mereka langsung berpamitan dengan pasien lain. Yang sakit meminta didoakan agar mereka juga cepat-cepat keluar dari rumah sakit dalam keadaan sehat. Bukan keluar dari rumah sakit karena akan dikebumikan.
Esoknya, Hendra harus ke rumah Danish. Ayah Winda itu mengatakan kalau ada penulis yang mengirim naskah hard copy ke rumahnya. Jadi, Hendra hendak mengambil berkas itu agar secepatnya bisa ia kerjakan.
***
"Om, kenapa penulisnya kirim naskah hard copy? Bukankah lebih enak naskahnya dikirim ke email aja?" tanya Hendra setelah membaca sekilas naskah yang ada di tangan.
Danish menggeleng. Lelaki itu juga sependapat dengan Hendra. "Entahlah, Nak Hendra. Mungkin naskah itu nggak jadi dikirim ke penerbit mayor."
Hendra mengangguk paham. Masuk akal juga yang barusan Danish katakan.
"Oh, iya, Nak Hendra. Om mau tanya. Tapi bukan masalah penerbitan."
Hendra yang hendak membalik kertas langsung mengurungkan gerakannya. "Iya, Om. Mau tanya apa, ya?" Hendra penasaran. Pasalnya wajah Danish serius sekali.
"Nak Hendra punya kenalan guru bahasa Jepang atau orang yang bisa ngajar bahasa Jepang?"
Hendra lega. Rupanya pertanyaannya tentang pendidikan. Hendra jadi malu pada dirinya sendiri, ia sudah tegang sekali tadi. Ia pikir, Danish hendak bertanya tentang Winda.
"Wah, nggak ada, Om. Memangnya kenapa Om nanya begitu? Om mau belajar bahasa Jepang?"
Refleks, Danish menggeleng dengan cepat. "Bukan. Bukan Om yang mau belajar bahasa Jepang, tapi Nisa." Danish mengambil napas sejenak, memberi jarak ucapannya. "Di sekolah Nisa ada pelajaran bahasa Jepang. Dia bilang, dia tertarik buat mendalami bahasa itu."
"Sebenarnya di kampus ada jurusan pendidikan bahasa Jepang, tapi Hendra nggak ada kenalan satu pun di jurusan itu," jawab Hendra sembari memasukkan naskah di tangannya ke dalam tas.
"Hmm, nanti Hendra coba tanya-tanya sama temen, deh, Om. Semoga aja ada yang bisa dan bersedia."
"Semoga aja. Amin. Makasih, Nak Hendra."
Setelah itu, Hendra pamit undur diri. Jam kuliah pertama sebentar lagi masuk. Ia harus tiba di lokasi tepat waktu kalau tidak mau terlambat. Kalau sampai terlambat lebih dari lima belas menit, bisa-bisa ia tidak dianggap hadir. Ia tidak mau itu. Apalagi, ia tidak tahu apakah nanti akan terjebak macet atau tidak. Intinya, ia harus berangkat sekarang.
***
Nisa duduk di kasur empuknya sambil punggungnya disandarkan ke kepala ranjang. Gadis itu memanyunkan bibirnya. Tampaknya ia kecewa setelah tahu ayahnya tidak menemukan guru bahasa Jepang seperti yang ia inginkan.
"Andai aja Kak Hendra jurusan pendidikan bahasa Jepang, bukan pendidikan bahasa Indonesia. Jadi aku nggak bakal kesusahan kayak gini." Nisa mengeluarkan karbon dioksida dari hidungnya kuat-kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik Ananta
Teen FictionInilah cerita hidupku yang pelik. Saking peliknya, lebih memusingkan daripada memecahkan soal fisika maupun matematika, juga lebih sulit dibanding bermain rubik. ~Selfiana Winda Hasibuan.~ Selfiana Winda Hasibuan, gadis cantik berkacamata yang cukup...