🦑 六 | Sahabat yang Berkhianat (2) 🦑

39 3 0
                                    

Waktu berjalan begitu cepat, kini Winda sudah menyelami kehidupan perkuliahan selama dua bulan. Teman baru, suasana baru, lembaran baru, juga luka yang baru.

Teman baru, sepertinya tidak bisa dikatakan begitu buat Winda. Gadis itu masih tetap nyaman dengan dirinya yang menyukai sepi dan memilih untuk menyendiri―introvet. Orang-orang baru di kelasnya terasa sangat asing, cuek, dan seperti tidak peduli dengan satu sama lain. Orang-orang itu membuat tingkat percaya diri Winda semakin ciut, mengkerut.

Hari ini jadwal kuliah masuk pukul 13.00. Akibat semalam begadang mengerjakan tugas, membuat cewek itu ketiduran setelah salat Zuhur. Siang yang panasnya menyengat kulit dibalut terpaan angin dari kipas angis membuat matanya terasa berat dan lengket. Tanpa sadar ia tertidur, sangat pulas.

Ada yang janggal di sini. Ya, Hanifah―sahabatnya―berangkat kuliah tanpa Winda. Sahabatnya itu berangkat sendiri. Ah, tidak. Lebih tepatnya Hanifah berangkat dengan orang baru yang akhir-akhir ini dekat dengan Hanifah juga Winda. Satu bulan ini memang mereka sering ke mana-mana bertiga.

Sakit. Dada gadis itu naik-turun dengan kasar. Napasnya memburu. Ia kesal tapi tidak tahu bagaimana cara memprotes.

Keesokan harinya, Winda memasang wajah cemberut. Mimik mukanya sulit diartikan, antara marah, sedih atau bahkan senang.

Dikata marah tidak bisa, karena gadis itu tak menunjukkan melalui ucapan kasar ataupun sebagainya. Ia hanya merutuk dalam hatinya. Kekesalannya tidak nampak di mimik mukanya, karena rasa kesal itu menancap dalam hatinya. Kalau sedih, ah ... entahlah. Harusnya Winda bersyukur sudah diberitahu Tuhan lebih awal kalau Hanifah bukanlah sahabat yang baik. Hanifah tak pernah mengerti keadaan Winda. Dikata senang pun tidak bisa―senang karena tahu kalau sahabat sejati tidak akan melukai sahabatnya dan melakukan hal menyebalkan itu. Tapi nyatanya lengkungan indah itu terus terukir di bibirnya―senyuman yang menghiasi wajah cantiknya―walau faktanya hanya untuk menutupi luka dan kesedihan yang mencuat di hatinya.

Jika dulu Winda bangga hanya kenal akrab dan dekat dengan Hanifah. Kini gadis itu menyesal karena tidak bisa berteman baik dengan orang-orang baru yang datang jika hanya butuh saja. Dan sampai saat ini, ia memilih sendiri dan tidak berniat mencari teman. Baginya itu percuma, toh Winda sudah trauma. Ia takut kalau hal menyakitkan ini akan terjadi lagi suatu hari dengan orang berbeda.

Gadis mungil itu menangis di kamar, duduk bersila di atas ranjang bersimbah air mata yang membasahi boneka beruang berwarna cokelat sebesar dirinya yang kini sedang berada dipelukannya. Pelukan yang sangat erat, tangisannya tersedu-sedu. Wajahnya menempel dengan kepala boneka agar suara tangisannya tak bisa didengar siapa pun. Sesekali seperti orang bodoh, ia menanyakan kesalahannya pada boneka yang dipeluknya, seolah boneka itu bisa memberi jawaban dan solusi. Dan jika hatinya cukup tenang, ia mencurahkan segala peristiwa yang dialaminya pada Tuhan. Ya, pada Tuhan, bukan manusia. Karena Tuhan meupakan sebaik-baiknya tempat untuk mencurahkan isi hatinya dan meminta solusi.

Winda masih heran dan tak habis pikir dengan Hanifah. Sosok yang dipercayainya kini meninggalkannya karena orang baru itu. Orang baru yang baru masuk ke kehidupannya dua bulan.

Setelah puas meluruhkan kekesalannya melalui air mata, gadis itu beranjak dari kasur dan menghampiri meja belajarnya. Dihempaskan bokongnya di atas kursi yang setia menemaninya sejak lama. Diambilnya buku diary di laci meja sebelah kanannya. Digoreskannya tinta pena ke atas kertas. Ya, hanya itu yang Winda bisa untuk mengurangi rasa kesalnya. Menangis, bertanya pada Tuhan apa kesalahannya, mengoceh pada boneka kesayangannya dan menuangkan curahan hatinya pada kertas dan pena. Belajar menerima keadaan yang begitu menyiksa.

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang