🦑 十八 | Belum Selesai (2) 🦑

22 1 0
                                    

Setelah Zuhur, Winda langsung pulang. Ketika motornya memasuki halaman rumah, ia melihat ayahnya berdiri dari kursi yang ada di beranda rumah.

Winda tidak tahu, sudah berapa lama ayahnya duduk di sana. Sepertinya lelaki setengah baya itu sedang menunggu dirinya pulang. Karena ketika Winda memasuki halaman rumah tadi, ayahnya langsung menatap ke arahnya. Tatapannya lain. Dari jauh, Winda bisa melihat kalau tidak ada senyum tercetak di bibirnya. Padahal jarang sekali ayahnya memperlakukannya seperti itu. Apalagi sampai menunggu Winda pulang. Hal itu tidak pernah Danish lakukan.

"Ini sesuatu yang nggak biasa. Tumben banget Papa nungguin Winda pulang," gumam Winda seraya melepas helmnya.

Sampai di beranda rumah, Winda mendapat sambutan yang tidak biasa. Bisa dikatakan ini luar biasa. Ayahnya menyambut tidak bersahabat.

Tidak disuruh masuk dulu dan memberi waktu untuk anak gadisnya istirahat, Danish langsung melontarkan beberapa pertanyaan yang membuat Winda bungkam. Ia bergeming di tempat.

"Habis dari mana kamu?" tanya Danish sinis. Dahinya dikerutkan, pandangannya penuh kemarahan.

"Dari kampus, Pa. Kan tadi pagi Winda pamitan sama Papa. Masa Papa lupa?"

"Jadi, kamu pikir Papa sudah pikun, hah?" Nada bicara Danish meninggi, tidak biasanya ia berbicara seperti itu di depan anak-anaknya.

Winda menelan ludahnya dengan susah payah. Ia ketakutan. Sebab, ini pertama kalinya Danish membentaknya.

Tidak puas mendapat jawaban pertama anak gadisnya, Danish bertanya sekali lagi. "Kamu dari mana?"

Winda menunduk. Gadis itu bingung harus menjawab apa. Pasalnya, ia belum siap menceritakan semuanya pada orangtuanya. Ia juga takut ayahnya akan semakin murka jika mengetahui semua rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

"Dari kampus, Pa," jawab Winda lirih. Namun, walaupun lirih, Danish masih bisa mendengarnya.

"Bohong!" Suara Danish kini lebih tinggi dari sebelumnya.

Mendengar suara teriakan Danish, Nisa memutuskan membuka pintu kamarnya untuk mengintip keributan apa yang tengah terjadi di rumahnya. Kemudian disusul oleh Anggita.

Ya, Nisa sudah pulang dari sekolah. Awal-awal masuk sekolah memang tidak banyak kegiatan. Apalagi hari ini guru-guru sedang rapat. Jadi, anak-anak sekolah dipulangkan lebih awal.

"Ma, ada apa, sih, di luar? Kok kayaknya Papa lagi marah-marah. Marahin siapa, ya, Ma?" tanya Nisa ketika melihat mamanya juga tengah membuka pintu kamar yang letaknya berada di samping kamar Nisa.

"Mama juga nggak tahu, Sayang. Ke bawah aja, yuk!" ajak Anggita.

"Sejak kapan kamu berani bohongin Papa, hah?"

"Ada apa, sih, Pa? Kenapa marah-marahin Winda kayak gitu?"

Itu suara Anggita. Ia mendekap anak sulungnya dengan erat sembari mengelus punggung Winda.

"Mama nggak usah belain dia. Dia ini sudah berani bohong sama orang tua!"

"Apa Papa punya buktinya?" Winda menyahut. Entah dengan keberanian dari mana ia mengatakan hal itu. Kesannya, ia sedang menantang ayahnya.

"Tuh, kan, Ma. Sekarang dia malah sudah berani menantang Papa!"

Nisa yang masih belum paham permasalahannya hanya diam menonton. Matanya sesekali melihat ayahnya yang sedang bicara, sesekali ke ibunya kalau ibunya menyahut, juga ke arah kakaknya kalau kakaknya bersuara.

"Oke, kalau kamu ingin tahu. Papa tadi nyuruh Hendra memastikan kamu ke perpustakaan beneran atau enggak. Hendra bilang kamu nggak ada di sana. Dia telepon juga nggak kamu angkat. Padahal tadi pagi kamu bilangnya mau baca buku dulu di perpustakaan kampus, kan?"

"Waktu itu Papa juga pernah tanya ke kamu masalah jas putihmu, kan? Papa tanya begitu karena Nisa bilang ke Papa kalau dia pernah denger kamu ngomong sendiri di kamar kalau kamu pengin ke kampus lagi pakai jas putih itu. Nisa ngira jas kamu rusak, dia khawatir kamu nggak berani bilang ke Papa."

"Setelah kamu bilang kalau jasmu baik-baik aja, Papa semakin curiga. Papa ke rumah Hendra dan nanya banyak hal ke dia. Dia bilang nggak tahu banyak tentang kamu karena jarang ketemu setelah kamu marahan sama dia. Iya kan?"

"Dan ini." Danish mengeluarkan segepok uang dari saku celananya bagian kanan. "Papa nemuin ini di kamar kamu. Setelah Papa hitung jumlahnya, ini uang buat bayar kuliah kamu. Kamu nggak bayar uang kuliah?"

Ya, setelah Hendra mengabari kalau Winda tidak ada di perpustakaan. Danish semakin penasaran rahasia apa yang sedang disembunyikan oleh anak tertuanya. Jadilah ia menggeledahi kamar Winda dan menemukan segepok uang di lemari pakaian barisan paling atas.

Winda menjauh dari pelukan mamanya. "Iya, Pa. Itu uang yang Papa kasih buat bayar kuliah."

"Jadi bener kamu pernah bolos kuliah?"

"Iya, Pa. Winda bolos kuliah dan memilih kerja dari pagi sampai sore biar Winda nggak nyusahin Papa sama Mama." Winda menjeda ucapannya untuk mengambil napas seraya merangkai kata-kata di otak yang akan dikeluarkan selanjutnya.

"Kalau Papa bahas soal bohong. Papa juga pernah bohongin Winda. Papa jual mobil dan Papa bilang mobilnya lagi sakit. Jadi, Papa nggak usah marahin Winda kalau Winda bohong sama Papa, karena Papa juga pernah bohongin Winda. Kalau Papa mau nasihatin Winda, seharusnya Papa ngasih contoh yang baik dong! Kalau Winda kayak gini, itu semua salah Papa. Winda bohong kayak gini juga karena ngikutin apa yang Papa contohin ke Winda."

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Winda. Kulitnya yang putih membuat cap tangan Danish begitu nyata di sana dengan warna kemerah-merahan.

"Papa nampar Winda?" tanya gadis itu seraya menahan rasa panas di pipinya dengan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

Nisa tak percaya dengan kejadian yang dilihatnya itu, sedangkan Anggita hanya mematung.

Sebagai ibu, tentunya Anggita merasa gagal mendidik anak.

"Iya. Bahkan Papa bisa berbuat lebih dari ini."

Sesaat kemudian, Danish sudah mencekal pergelangan tangan Winda lantas menyeretnya ke pagar besi yang terbuka setengah.

"Pergi dari sini! Anak yang merasa sudah cukup ilmunya dan berani dengan orang tua tidak pantas tinggal dengan Papa."

Winda tersenyum kecut. Sedangkan Nisa yang mengerti maksud ucapan ayahnya langsung menghampiri Danish dan Winda sambil menangis tersedu-sedu.

"Pa, Papa jangan usir Kak Winda," pinta Nisa seraya memeluk kakaknya erat.

"Nggak Nisa, gadis ini nggak pantes lagi di sini. Dia nggak pantes jadi kakak kamu!" ucap Danish. Kali ini ia sudah tidak menyebut nama Winda lagi, melainkan menyebutnya dengan 'gadis ini'.

Nisa melihat ibunya mematung di tampat, lalu ia mendekatinya. "Ma, tolongin Kak Winda, Ma. Kak Winda mau diusir sama Papa," rengek Nisa sembari menggoyang-goyangkan tubuh Anggita. Namun, Anggita tidak merespons sama sekali. Hanya air mata yang menetes dari sudut matanya tanpa mengeluarkan isak sedikit pun.

Melihat ibunya hanya diam saja, Nisa berlari ke arah Winda lagi. Ia kembali memeluk kakaknya erat, lebih erat dari pelukannya tadi.

"Pokoknya Kak Winda nggak boleh ninggalin rumah ini, Pa." Suara tangis Nisa kali ini benar-benar pecah. Sedu-sedan dari tangisnya begitu kentara sekarang.

"Nggak, Nisa. Dia harus pergi." Danish berusaha melepaskan tangan Nisa yang memeluk Winda.

Awalnya, Danish agak kesulitan melepasnya. Namun, akhirnya ia berhasil memisahkan kedua anak gadisnya itu.

Setelah pelukan Nisa terlepas, Danish langsung bersuara. "Tunggu apa lagi? Cepat pergi dari sini!" usir Danish sambil telunjuknya mengarah ke luar, mengisyaratkan agar Winda segera angkat kaki dari rumah itu.

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang