🦑 二十六 | Empat Tahun Setelah Hari Itu 🦑

311 11 19
                                    

Kini usia Hendra sudah dua puluh dua tahun. Sudah empat tahun ia menjalani kehidupannya. Kuliahnya lulus tepat waktu. Aminah tentu saja menangis bahagia ketika menghadiri acara wisuda putranya. Wanita itu lebih semangat sekarang. Tidak lagi ia merasa membebani Hendra. Justru, ia bangga punya anak seperti Hendra.

Hujan masih belum reda sejak semalam. Sepertinya miliaran tetesan kecil dari langit itu tidak akan berhenti dalam waktu cepat. Padahal Hendra hendak berangkat kerja. Hari ini ada rapat di kantor. Ah, ya, perusahaan yang didirikan Danish dan Hendra berkembang cukup pesat.

Hendra menjauh dari jendela kamar, bergegas ke lemari kayu, berdiri di pintu kanan untuk mengecek penampilannya sekali lagi di depan cermin. Tangannya mengencangkan dasi agar terlihat lebih rapi.

"Gue ganteng juga, ternyata." Hendra memuji diri sendiri. "Bodoh banget Winda nggak mau sama gue."

"Ndra, supnya sudah matang. Ayo, kita sarapan," ajak Aminah sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar putranya.

"Iya, Bu."

***

Winda sibuk packing sejak pagi-pagi sekali. Gadis itu mengambil pakaian dari lemari sambil sesekali memutarkan tubuhnya, menari. Sesekali juga perempuan itu menyanyi. Lengkungan tak lepas dari bibirnya. Sepertinya itu senyuman paling indah yang ia tampilkan sejak banyak masalah yang mampir ke dalam hidupnya. Apakah hal yang membuat Winda sampai sebahagia itu?

Semalam, kekasihnya─Ihsan─memberi kabar gembira. Siang nanti mereka akan terbang. Ah, tidak. Maksudnya mereka akan naik pesawat, terbang di angkasa menuju Jepang. Ya, Jepang. Negara yang paling ingin Winda kunjungi sejak dulu. Sampai akhirnya ia berhasil meluluhkan ayahnya yang bersikeras tidak membolehkan perempuan itu berkuliah di sana. Namun sayang, keinginannya itu tidak terkabul. Ia gagal tes tertulisnya. Jadi, kesempatan baik ini tidak boleh disia-siakan. Tepat setelah Ihsan menyampaikan kabar itu, Winda langsung mengangguk, menyetujui ajakan kekasihnya.

Winda masih ingat betul apa yang dikatakan Ihsan tadi malam.

"Win, sebenarnya sejak beberapa bulan setelah aku wisuda waktu itu, aku sudah rencana mau ngajak kamu jalan-jalan ke Jepang. Soalnya aku lihat dalam empat tahun terakhir, kamu jarang banget refreshing. Tapi, dulu waktu aku tanya kamu sibuk apa enggak, kamu bilangnya kalau lagi sibuk. Jadinya kuurungkan, deh, niat buat ngajak jalan-jalan. Nah, kalau sekarang aku tawarin lagi acara jalan-jalan itu, kamu mau nggak?"

Setelah senyum-senyum sendiri mengingat tawaran itu, Winda merapatkan ritsleting koper, lantas menepuk-nepuk kopernya membuat debu halus tak kasatmata nelayang di udara. Sedetik kemudian, koper tersebut sudah teronggok dalam posisi berdiri di lantai, lantas gadis itu memindahkannya ke samping lemari yang kopernya hampir menempel dengan tembok.

Jari telunjuk Winda diketuk-ketukkan ke dagu sambil memandangi pakaian yang tergantung. Kedua pintu lemari yang terbuka lebar menampakkan berbagai macam pakaian dengan warna yang juga bervariasi. Di sisi kiri khusus untuk menggantung pakaian yang sebagian besar Winda isi dengan gamis. Sedangkan di sisi kanan khusus untuk menyimpan pakaian potongan seperti baju, celana dan rok yang dilipat. Dan kini, mata perempuan itu fokus ke sisi kiri.

Setelah beberapa lama kebingungan memilah-milah baju mana yang akan ia kenakan, akhirnya tangannya meraih gamis berwarna pink susu. Kemudian bergerak ke meja tempat untuk menyetrika baju.

***

Setelah hujan tadi pagi, akhirnya matahari muncul juga. Sekarang matahari itu telah berada di puncak kepala tanda masuk waktu tengah hari. Sebentar lagi seruan untuk mengajak orang melakukan salat akan terdengar dari beberapa tempat ibadah umat  Islam seperti masjid dan surau.

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang