Dua

495 96 85
                                    

“Makanya jadi anak 'ya nurut sama orang tua! Sudah tahu orang tua kayak gitu, malah bertingkah!”

Kali ini kakakku yang marah. Kak Kirana pulang malam hari ini karena lembur, eh tapi, biasanya juga pulang malam 'deng. Padahal jam kerja di kantor Kak Kirana itu selesai jam lima, tetap saja kakakku yang workaholic ini pulangnya malam terus. Kak Kirana memang begitu, nggak bakalan mau pulang kalau pekerjaannya belum beres, walaupun partner kerja Kak Kirana yang kurang mumpuni penyebabnya, tapi Kak Kirana yang membereskan. Dan yang aku bingung kan, mengapa tenaga Kak Kirana masih ada untuk memarahiku?

“Aku tahu, aku salah 'Kak. Tapi aku benar-benar enggak sadar kapan aku kecopetan,” jawabku.

“Kalau kamu sadar, kamu nggak bakalan kecopetan! Mulai besok pergi ke kampus sama Kakak aja.”

“Tapi besok aku masuknya jam dua siang. Aku tetap naik bus aja.”

Aku mendengar Kak Kirana menghela napas lelah menanggapi diriku, yang harus aku akui keras kepala. Dia lantas memberi sebuah goodie bag padaku, tak bisa kutahan untuk menyungingkan sebuah senyum lebar. Sebuah gawai keluaran terbaru tampak indah di dalam kemasan berbentuk balok yang melindunginya. Langsung saja aku memeluk Kak Kirana kegirangan.

“Makasih Kak, Kak Kirana-lah, Kakak terbaik di dunia,” ucapku hiperbolis.

“Kalau hilang lagi, kamu ganti sendiri. Kalau KTP dan kartu-kartumu yang lain, urus sendiri!”

“Ashiyap, Kak.”

Kalau di rumah ini tidak ada Kak Kirana. Mungkin, aku tidak bisa bertahan sejauh ini. Di antara semua desakan dan tuntutan mama papa, kakak akan selalu hadir di pihakku. Meskipun ia akan tetap memarahiku atau membentakku seperti yang dilakukan papa, ia pasti tidak akan lupa memberikan kasih sayang yang melimpah untukku.

Kak Kirana memang tidak pernah menyatakan semua itu, tapi aku merasakannya. Karena itulah aku juga sangat menyayangi dia.

•••

Siang ini, setelah mendengar omelan mama yang lagi-lagi memarahiku atas kejadian semalam, akhirnya aku masih bisa berada di atas bus sekarang. Alibi yang kugunakan cukup kuat sehingga kali ini mama mengizinkanku—walau dengan tidak ikhlas—untuk berangkat sendiri ke kampus.

Kupasangkan earphone yang sepaket dengan gawai baruku ke telinga. Lagu beautiful people dari Ed Sheeran mengalun menemani perjalananku. Aku sangat beruntung kali ini aku mendapat tempat duduk, sehingga perjalanan tidak akan semenyebalkan kemarin. Bus juga tidak terlalu padat, walaupun tetap ramai.

Semua baik-baik saja sebelum pria itu duduk di sampingku. Pria bertubuh tegap dengan kulit hitam manis, dan tidak lupa rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu. Dia sedikit tampan--sebenarnya tampan banget--namun terlihat berbahaya.

“Kamu?!” kataku sedikit keki akibat kejadian terakhir aku dengannya.

“Baguslah, kamu masih mengingatku. Kita ketemu lagi, apa jangan-jangan ... ini pertanda.”

Demi jeli ubur-ubur yang terkenal nikmat, aku lebih menyukai dia yang diam-diam saja dari pada mendengar kalimat yang barusan diucapkannya itu! Aku sekarang bahkan tidak tahu harus merespons bagaimana. Jadi aku jawab ala kadarnya. “Cuma kebetulan.”

Dia tersenyum lebar. “Ada alasan mengapa kita dipertemukan,” katanya.

Ya, mungkin ada alasannya. Tapi untuk saat ini aku tidak ingin mengetahui itu, jadi kuputuskan untuk mengabaikannya lalu fokus melihat ke jalanan sambil sesekali melantunkan lagu dari play list yang kali ini memutarkan lagu on my way. Tapi sepertinya mengabaikannya tidak semudah itu, karena sekarang ia malah menarik satu penyumpal telingaku.

“Sudah kukatakan ada alasan mengapa kita dipertemukan.”

“Lalu?” Sungguh aku tidak suka dengan sikapnya sedari awal.

Ia mengambil sesuatu dari dalam tas yang hari ini ia bawa. Sebuah dompet dan ponsel yang sangat kukenal ia keluarkan dari dalamnya, lalu menyerahkannya padaku yang tengah memasang wajah terkejut.

“Punya kamu, kan?”

“Kok, bisa? Kamu copet 'ya?”

Ia malah tertawa, padahal jelas-jelas aku menuduhnya tidak dengan nada bercanda. Pria ini memang aneh! Aku berharap bus ini bisa lebih cepat jalannya, aku tidak ingin berlama-lama dengan pria ini.

“Justru kamu yang maling. Kamu kemanakan jaket saya?”

Aku langsung saja terperangah. Bagaimana bisa benda itu terlupakanku? Dan karena tampangku sekarang yang lagi-lagi terlihat bodoh di depannya, ia malah tertawa lagi. Dan sekarang aku dibuatnya ngeri. Tampangku memang bodoh, tapi tidak ada lucunya sama sekali. Lalu, apa yang dia tertawakan?

Dan kepalaku masih menerka-nerka bagaimana bisa dompet dan ponselku ada di dia, jangan-jangan dia bekerja sama dengan pencopet dan sekarang sedang merencanakan yang aneh-aneh.

“Maka pertemuan selanjutnya kita juga akan punya alasan,” katanya setelah berhenti tertawa.
“Besok jam tiga di halte kampus kamu,” lanjutnya.

Bus berhenti, dan aku langsung turun, mengabaikan pria itu, yang masih memandangku sambil tersenyum dengan sangat aneh. Pria aneh. Tawa aneh. Pokoknya dia aneh!

Rayhan yang melihatku turun dengan terburu-buru, menaikkan alisnya sebelah dengan penuh tanya. Tapi dari pada menanggapinya, aku melangkahkan kakiku menuju gedung berlantai tiga di hadapanku.

“Kamu kenapa, Kinan?”

“Nanti di kelas aku ceritakan.”

Aku ingin menenangkan pikiranku terlebih dahulu. Karena terlalu banyak keanehan yang kudapatkan hari ini. Sekarang aku menyadari betapa banyak kata aneh di kepalaku sekarang. Oh God ... apa yang direncanakan pria aneh itu? Ah, aku mengatakan kata 'aneh' lagi!

“Sekarang ceritakan.”

Rayhan cunguk! Nggak tahu apa aku lagi pusing! Aku butuh minum dulu. Maka aku langsung mengeluarkan botol minumku dan menenggak isinya sampai sisa setengah. Kuhela napas beberapa kali, dan setelahnya menatap Rayhan yang sudah haus informasi.

“Lihat ini!” Aku menunjukkan kedua benda yang sempat hilang itu.

“Bagaimana, bisa? Ketinggalan ya?”

“Ray, kamu tau sendiri di rumah semalam enggak ada.”

“Jadi?”

“Nggak tau! Dan, ya, besok dia minta ketemuan di halte kampus jam tiga.”

Lalu, cerita itu mengalir begitu saja. Tidak seperti tanggapannya kemarin, kali ini Rayhan mendengarkanku dengan serius, dan wajahnya sungguh menggemaskan.

“Aku temani besok, aku curiga ini adalah salah satu trik. Jangan-jangan nanti kau diculik, terus organmu dijual di pasar gelap.”

“Kamu membuat aku semakin takut!”

Terima kasih Rayhan. Sekarang aku malah memikirkan gosip si Lira tentang adanya kasus seperti itu yang marak terjadi di Medan. Kampus aku di Medan. Rasanya aku nggak bakalan bisa tidur tenang malam ini.

Wuahhh, Rayhan biad*b! Aku harus bagaimana?

[]

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang