Delapan

220 49 19
                                    


Aku sampai mengerjapkan mataku berkali-kali saat melihat seseorang yang tengah berjalan ke arahku sekarang ini. Bara. Iya Bara, tapi dengan wajah mulus dan pakaian yang lebih rapi, sekarang ia tampak lebih tampan. Pria itu duduk di depanku dengan senyum lebar.


Suasana ramai kantin dan para mahasiswa yang memang memakai pakaian bebas membuat orang asing seperti Bara mudah saja menyelusup masuk. Bara tidak melakukan apa-apa selain menatapku, tetapi aku tetap saja takut kalau dia mau berbuat macam-macam, ya ... walaupun tampangnya tidak seram lagi. Namun, penjahat dengan tampang tampan lebih berbahaya 'kan ya?

"Lagi mikirin yang aneh-aneh lagi?"

Aku membulatkan mata, dia bisa membaca pikiranku. Baiklah, dia memang sudah sering menebak apa yang aku pikirkan, jadi responsku tadi memang lebay. Aku menyedot jus jerukku yang tinggal separuh sampai tandas sebelum menanggapinya.

"Kamu ngapain di sini? Kamu tahu 'kan, kamu bisa di tuduh penyusup?"

"Aku kangen, nggak bakat nahan rindu lama-lama. Dan iya, memang aku penyusup, penyusup yang ingin mencuri hatimu."

"Hah?!"

Lord, please. Dari sekian banyak laki-laki yang pernah merayuku, dan banyak rayu yang pernah kuterima. Hanya dia yang membuat bulu kuduk meremang. Kuusap tengkukku mengurangi efek luar biasa kata-kata Bara. Terserah mau bilang aneh, tapi aku memang tidak pernah suka dirayu seperti itu, rasanya geli.

"Kenapa terkejut sampai segitunya? Nggak pernah digombali ya?"

"Jijik. Kurang-kurangi kayak gitu sama aku."

"Kamu nggak penasaran kenapa aku nekat nemunin kamu di sini?"

"Kenapa?"

"Mau ngajak kamu ke suatu tempat."

Teringat kejadian kemarin niat untuk menolak ajakannya tidak jadi kulakukan. Pikiran aneh-aneh tentang mau kemana dia mengajakku, hilang tergantikan bayangan ketika dia mengobati kakiku. Kalau dia memang berniat jahat, mungkin semalam adalah waktu yang tepat, tapi dia tidak melakukannya.

Jadi kuputuskan untuk mengirimi Rayhan pesan bahwa aku ada tugas kelompok di rumah Ayu-teman satu kelompokku, yang memang Rayhan sudah mengenalnya. Kukatakan aku baik-baik saja, Ayu dan lainnya membantuku berjalan. Maaf Rayhan, aku harus berbohong. Sulit urusannya kalau dia sampai tahu. Dia 'kan intel Kak Kirana.

"Kamu nggak berencana yang aneh-aneh 'kan?"

Wajah Bara berubah datar. "Kinan. Tolong pikirannya dibersihkan dari hal-hal negatif."

•••

Perjalanan ke tujuannya hanya memakan waktu kurang lebih dua puluh menit, Kami sepakat untuk naik bus. Pasalnya akan sangat merepotkan bila naik motor dengan kondisi kakiku seperti ini, apalagi motor Bara adalah moge alias motor gede yang bakalan susah banget naiknya apalagi kondisi kakiku seperti ini. Kemarin saja sudah sangat menyulitkan untuk naik motornya, ketika ia bersikukuh mengantar aku pulang.

Tempat tujuan kami dekat halte pemberhentian. Hanya perlu berjalan sepuluh langkah, kami sudah sampai tujuan. Sebuah kafe dengan grafiti di seluruh dindingnya, yah setidaknya itu yang aku lihat dari balik dinding kaca depan kafe tersebut.

"Kamu mau berdiam diri di situ saja? Ayo masuk," kata Bara menarik aku masuk, tidak memaksa karena sepertinya dia paham kondisiku.

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang