“Kamu di mana?!”
Kinanti menjauhkan gawainya dari telinga, suara tinggi Rayhan di seberang sana menyiratkan kemarahan dan kekhawatiran. Sedangkan Bara di hadapannya menyantap makanannya tanpa terganggu olehnya.
“Kinan, jangan aneh-aneh! Di mana kamu sekarang?”
“Bicaranya jangan teriak-teriak, bisa?” ujar Kinanti santai. Ia bahkan sempat-sempatnya minum terlebih dahulu sebelum kembali bersuara.
Kinanti sekarang berada di meja makan kecil yang dapat menampung empat orang untuk makan di sana. Rayhan menelponnya saat mereka sedang menyantap nasi goreng buatan Kinanti. Kinanti tahu cepat atau lambat Rayhan akan mengetahui perbuatannya ini, dan ia sudah bisa menebak reaksi seperti apa yang akan diterimanya.
“Aku ada di suatu tempat. Jangan berpikir yang aneh-aneh dan tolong rahasiakan ini. Tolong.”
“Kamu di mana? Aku jemput ya? Kamu jangan buat aku khawatir kayak gini.”
“Aku sudah cukup dewasa untuk pulang sendiri,” tolak Kinanti halus.
“Ini ada kaitannya sama yang tadi pagi? Aku nggak nyangka kamu sampai bolos ... Kinan, kamu tahu 'kan melarikan diri itu nggak bisa memecahkan masalahmu.”
Kinan tidak suka dengan pendapat Rayhan, terlalu menuduh. “Siapa melarikan diri? Lagi pula melarikan diri dari apa? Aku sedang nggak mood aja kuliah.”
“Bohong sekali! Dengan kamu bolos, itu akan membuat orang tuamu semakin marah. Kamu mau Tante marahin kamu lagi? Atau kamu emang hobi berulah?”
Kinanti mendengus kesal, kenapa rasanya Rayhan semakin lama semakin mirip mamanya? Tanpa ingin menjelaskan apa-apa lagi Kinanti mematikan sambungan dan menonaktifkan teleponnya.
“Ada apa?” tanya Bara yang sudah menghabiskan makanannya.
“Nggak papa.”
“Perempuan emang gitu, ya? Mukanya cemberut, tapi bilangnya nggak papa.”
“Cuma kesel aja.” Kinanti menyendokkan nasi ke mulutnya.
Mengetahui mood perempuan di hadapannya sedang tidak baik, Bara tak lagi bertanya lebih lanjut, walaupun ia penasaran siapa yang membuat rusak suasana hati Kinanti yang sebelumnya baik-baik saja.
Bertemu Kinanti dan menghabiskan banyak waktu bersamanya sudah cukup membuat Bara sangat bahagia, seakan Bara bisa merasakan bahwa Tuhan menginginkan mereka tetap bersama—seperti yang selalu Bara doakan tiap malam. Tapi apakah Tuhan mendengar doa orang seperti Bara?
“Setelah ini kamu langsung pulang?”
“Kamu ngusir aku?”
“Bukan. Kamu bisa nggak 'sih jangan berpikir negatif? Kalau nggak mau pulang juga nggak papa.”
Kinanti terdiam, nggak usah pulang juga nggak papa, seandainya bisa, Kinanti akan melakukan itu. Tapi, itu terlalu ekstrem, Kinanti belum bisa memastikan apakah ia sanggup menerima konsekuensinya, jadi ia putuskan untuk tetap pulang.
“Males pulang sebenarnya.”
“Jalan-jalan mau?”
“Kamu berniat jual aku, ya?” Curiganya.
“Isi kepalamu negatif mulu. Iya aku mau jual kamu, lumayan ginjal harganya mahal, mata kamu juga masih bagus.”
Kinanti mencebik, ia mengakui bahwa kepalanya memang berisi delapan puluh persen pikiran negatif, maka ia tidak bisa tidak mencurigai orang lain, kecuali yang sudah bertahun-tahun ia kenal.
"Lapangan merdeka biasanya ada acara-acara gitu, banyak jual makanan juga. Mau?"
"Kakiku terkilir, sakit kalau diajak jalan. Tapi pengen ke sana."
"Ah! Aku lupa itu. Kapan-kapan kita ke sana, jika kakimu sudah sembuh," ujar Bara menyesal.
"Sepertinya aku ingin pulang aja, bisa kamu bantu aku ke halte?"
"Biar aku antar sampai ke rumahmu, kamu nggak papa 'kan naik motor?"
•••
Kinanti sudah berfirasat buruk, saat Kirana tiba-tiba memaksa untuk mengantarnya. Dan firasat itu terbukti, Kirana mengetahui bahwa kemarin dia bolos, dan tentunya Kinanti tahu siapa yang membocorkannya.
"Jangan buat ulah, Kinan. Kalau mama sama papa tahu gimana?"
"Jangan diberitahu. Lagi pula aku bolos karena kakiku terkilir dan nggak bisa naik tangga," bohong Kinan.
"Kenapa bisa?"
"Terpleset di kamar mandi. Lagi pula baru sekali aku bolos," kata Kinan membela diri.
"Kalau bisa jadi mahasiswa yang nggak pernah bolos, kenapa enggak? Jangan buat pembenaran atas kesalahanmu, salah tetap salah!"
"Iya-iya maaf."
Sia-sia memang berdebat dengan Kirana, Kinanti pasti kalah. Apalagi sekarang dia memang di posisi yang salah. Sisa perjalanan di isi dengan Kirana yang mengkhawatirkan bagaimana nanti Kinan, mengingat ruangan kelas Kinan selalu di lantai tiga dan kampus mereka belum menyediakan fasilitas lift.
Mobil Kirana berhenti di depan gedung berlantai tiga, bercat hijau lumut, yang sudah di penuhi mahasiswa lainnya yang juga baru datang atau sekedar nongkrong di depan gedung.
"Rayhan mana? Biasanya selalu nempelin kamu?"
Kinanti mengendikkan bahu, masih kesal dengan laki-laki itu. Kinanti malah berharap Rayhan tidak datang saja. Tapi harapan itu pupus ketika sosok yang barusan di tanyai kakaknya berjalan mendekati mereka.
"Pagi Kak Kirana," sapa Rayhan disertai senyuman, "tumben nganter Kinanti."
"Kalau nggak dipaksa, mana mau juga dia. Oh, ya, tolong bantuin Kinan ya. Kaki si ceroboh ini terkilir."
Rayhan menatap ke kaki Kinanti yang memang bengkak di pergelangannya. "Siap, Kak. Itu memang tugas aku sebagai sahabat."
Kirana berpamitan pergi, meninggalkan Kinan yang sekarang malah berusaha jalan tanpa memedulikan Rayhan. Laki-laki sontak menahan Kinan.
"Aku minta maaf. Kemarin aku salah bicara."
Kinanti berdecak, "ck. Kamu emang biasa kayak gitu. Selalu nyalahin aku, sama kayak mama."
"Maaf Kinan. Aku panik banget saat tahu kamu nggak masuk. Aku cariin kamu kemana-mana, tapi enggak ada. Mana kamu perginya nggak bilang-bilang," kata Rayhan mulai membantu Kinan berjalan.
"Kalau kamu bilang, kita bisa bolos berdua. Aku nggak masalah dengan itu, tapi kamu malah melakukan sendiri."
Kinanti masih kesal dengan satu hal, "kalau nggak masalah, kenapa harus kamu kasih tahu sama Kak Kirana tentang ini?"
"Yah aku pikir kakakmu tidak seperti orang tuamu, ia tidak akan memarahimu."
"Kakak dekat dengan Mama. Kan, aku bilang untuk merahasiakan ini!"
"Maaf-maaf nona Kinan yang cantik. Sebagai permintaan maafnya nanti aku traktir makan."
Kinan langsung semringah, apa lagi Rayhan tidak menyebutkan mau traktir di mana. Berarti Kinan bebas memilih tempatnya, Rayhan yang melihat itu diam-diam mengembuskan napas lega, ia kira bakalan sulit untuk meminta maaf, tapi sepertinya traktiran adalah jalannya.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Predestinasi (Tamat✅)
Romance"Ada alasan mengapa kita dipertemukan." Begitu katamu hari itu. Lantas aku pun mempercayainya. Iya, semudah itu untuk mempercayaimu. Semudah itu untuk jatuh padamu. Anehnya setelah semua yang terjadi, semua masalah malah membuat kita tidak bisa bers...