Masih melekat jelas di ingatanku tentang terakhir kali kami bersama. Ia sekali lagi pergi. Namun kali ini dengan pamit terlebih dahulu padaku. Justru itu yang membuatku membingungkan perasaanku. Aku terlihat seperti remaja labil yang baru mengenal cinta di usia dua puluh lima tahun.
Kemarin aku merasa deg-degan bila bersama Rayhan, dan kuyakini itu pertanda bahwa aku menyukainya. Namun, hari ini aku merasa sedih karena telah kehilangan seseorang yang bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa denganku.
Hari itu, ketika mendengar pernyataan Bara mengenai semuanya, aku merasakan diriku tercabik-cabik di setiap detik ia berbicara. Entah mengapa aku merasa sangat bersalah, seakan-akan aku telah melakukan satu kesalahan besar.
Aku memandang keluar jendela, melihat sebuah mobil hitam masuk. Dari sana keluar Rayhan beserta keluarganya, mereka tampak antusias dengan acara yang akan berlangsung sebentar lagi. Aku juga melihat Papa menyambut kedatangan mereka dengan raut bahagia.
•••
Dua minggu yang lalu....
Setelah dia memberitahu alamatnya, aku segera berangkat ke sana. Benar saja, aku menemukannya duduk di sudut sana sambil tersenyum padaku. Aku berjalan menghampirinya.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama," kataku sekadar basa-basi seraya menempatkan diri di depannya.
Aku sendiri sedikit merasa aneh dengan diriku, karena jelas-jelas tadi aku berangkat ke sini dengan segera.Mengabaikan pernyataanku, ia malah bertanya sesuatu yang langsung membuatku membeku. "Apa perasaanmu telah berubah?" tanyanya.
"Maksud kamu?"
"Kamu yang paling mengerti arti pertanyaan itu. Dan juga seharusnya kamu yang menjelaskan semuanya."
"Kamu lagi membicarakan tentang apa, Bara?"
"Tentang kamu yang berubah, tentang kamu yang sekarang memilih dia dari pada aku. Aku tidak perlu menjelaskan siapa dia, bukan? Kamu yang lebih tahu dia dan sudah sejauh apa hubungan kalian."
Aku ingin mengatakan bahwa ia salah, bahwa aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia maksud. Tapi aku memilih diam dan membiarkan ia melanjutkan pembicaraan.
"Tidak apa-apa kalau memang kamu lebih memilih dia. Aku senang, setidaknya dengan melihat kamu bahagia itu saja sudah cukup. Yah ... walaupun bukan aku alasan bahagiamu," katanya.
"Pernah kukatakan bahwa ada alasan mengapa kita dipertemukan. Garis takdir membawa kita bertemu, pada satu cerita yang melibatkan rasa. Aku selalu percaya bahwa Tuhan melakukannya karena dia tahu bahwa dari pertemuan itu, banyak hal yang dapat kita pahami mengenai mimpi.
"Bahwa mimpi itu untuk diraih buka dibawa tidur. Bertemu denganmu membuatku memiliki mimpi. Aku ingin lepas dari jeratan kelam hidupku, saat diri ini menyadari bahwa kamu lebih dari sekedar perempuan yang kusukai. Kamu tujuan hidupku.
"Aku ingin kamu bahagia. Aku berusaha keras melakukannya. Tapi, di akhir cerita aku gagal. Kebohongan yang besar membuatku tak lagi kamu percaya. Aku paham dengan itu. Siapa yang ingin dibohongi?
"Maka dari itu aku memilih untuk pergi. Kali ini aku akan benar-benar pergi, tidak akan kembali lagi. Berbahagialah dengan dia, dia pria yang baik."
Setengah ternganga aku menatap wajah Bara dengan pandangan yang mengabur sebab air mata yang menggenang itu minta di tumpahkan. Aku tidak mengerti tentang semuanya, lalu dia mengakhiri seenaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Predestinasi (Tamat✅)
Romance"Ada alasan mengapa kita dipertemukan." Begitu katamu hari itu. Lantas aku pun mempercayainya. Iya, semudah itu untuk mempercayaimu. Semudah itu untuk jatuh padamu. Anehnya setelah semua yang terjadi, semua masalah malah membuat kita tidak bisa bers...