Dua puluh satu

130 24 10
                                    

Sudah lebih dari satu jam semenjak Kinan sadar. Perempuan itu masih menatap kosong ke depan sejak ia terbangun dan ingat alasan ia berada di sana.

Bangun-bangun dengan kepala masih pusing dan rasa sakit dari balik perban yang menutupi kedua pergelangan tangannya, cairan infus yang mengalir ke tubuhnya melalui selang transparan. Kinan langsung dihadiai celotehan panjang lebar Harris mengenai kebodohan yang ia lakukan. Mamanya hanya diam saja di sambil memandangi setiap tetes cairan infus yang jatuh, sampai Kinan sempat mengira bahwa wanita itu menghitung berapa kali cairan itu terjatuh.

Karena tidak direspons barang sedikit pun, akhirnya Harris keluar dari ruangan bersama Hanum yang sebelumnya memberikan usapan padabahu Kinan. Kirana masuk saat orang tuanya sudah lenyap di balik pintu. Sorot mata Kirana ketika melihat Kirana persis seperti tatapan milik Hanum, Kirana mendudukkan diri di bangku samping Kinan. Ia elus telapak Kinan yang tidak diinfus, punggung tangan itu bekas tusukan jarum yang beberapa hari lalu dipasang untuk menambah darah Kinan saat mengalami pendarahan.

"Kamu akan baik-baik saja, jangan terlalu memikirkan perkataan Papa," katanya pelan menyerupai bisikan, karena ruangan yang sangat sepi Kinan mampu mendengarnya.

"Kakak minta maaf, aku tahu pasti sulit untuk melaluinya, tapi Kakak akan selalu berada di pihak kamu sekarang."

Kinan masih memasang ekspresi yang sama. Diam dan seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Kirana, tapi Kirana tetap melanjutkan perkataannya.

"Kamu boleh marah, boleh kesal, boleh muak dengan hidupmu. Tapi jangan lukai dirimu. Cukup rasa sakit itu pikiranmu aja, jangan lukai tubuhmu."

Tiba-tiba saja Kinan terisak dan semakin lama semakin deras aliran air mata yang turun. Kirana memeluk segera memeluk Kinan. Mengusap-usap punggungnya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Aku orang yang bodoh, Kak. Bodoh," katanya susah payah di sela-sela tangisnya.

"A-aku, memang bodoh memilih pilihan. Aku bodoh."

"Sudah-sudah, kamu nggak salah. Kami semua yang salah. Seharusnya kami tidak sejahat itu membatasi semua pergerakanmu," bisik Kirana pada tubuh yang bergetar itu. Kirana bahkan tidak sadar jika air matanya juga sudah jatuh.

"Aku hanya ingin seperti orang lain, Kak. Aku ingin mewujudkan mimpiku, apa itu salah?"

"Enggak salah, kok. Cuma kondisinya kurang tepat. Kamu nggak punya keluarga seperti yang dimiliki keluarga lain."

"Kenapa aku nggak mati saja, aku tidak ingin hidup lagi. Ini terlalu berat untukku," ujar Kinan membuat Kirana mengeratkan pelukannya.

"Ssssht, kamu tenangkan diri dulu. Jangan pernah mengatakan yang tidak-tidak ketika kamu masih dalam kondisi seperti ini."

•••

Setelah tiga hari pasca Kinan sadar. Perlahan-lahan ia mulai bangkit dari keterpurukannya, dibantu Kirana yang setia menyemangati setiap waktu. Perempuan itu rela mengambil cuti hanya untuk membantu Kinan pulih.

Sedikit demi sedikit, Kinan menyadari bahwa perbuatannya salah. Tidak seharusnya ia melukai dirinya sendiri walau kadang rasa ingin bunuh diri datang lagi ketika bayangan rentetan masalahnya lagi-lagi menggantinya.

Pada hari ketiga ini, Rayhan datang berkunjung. Sebenarnya sejak awal Kinan masuk rumah sakit laki-laki itu sudah datang, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk menemui Kinan, sebab psikisnya masih lemah dan tidak stabil, bahkan Papanya saja sempat tidak diperbolehkan. Melihat perkembangan Kinan, akhirnya dokter membolehkannya.

Saat itu Kinan tengah melamun menatap ke luar melalui dinding kaca. Entah apa yang tengah di pikirkan Kinan di kepala perempuan itu sehingga keberadaan Rayhan di sekitarnya tidak di indahkannya selama beberapa menit lamanya.

Rayhan menyerah untuk menunggu Kinan menyadari keberadaannya, ia menyentuh bahu Kinan. Kinan tidak terkejut tetapi memasang muka sedih begitu ia melihat Rayhan.

"Ray, kamu benar. Aku salah selama ini. Aku tidak tahu mana yang baik dan yang benar," lirihnya.

"Aku tidak pantas untuk kau temui, kau pergi saja. Kau pasti benci melihatku. Aku keras kepala tidak mendengarkanmu."

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku datang untuk melihat keadaanmu, bukan untuk memperburuk."

"T-tapi, k-kau ben-nar, Ray. Aku salah terlalu keras kepa-."

Rayhan meletakkan jari telunjuknya pada bibir Kinan, sehingga perempuan itu tidak lagi berucap apa-apa.

"Tidak ada yang salah. Bila ada yang perlu disalahkan saat ini adalah, waktu yang membuat kondisi seburuk ini. Seandainya saja aku tahu lebih cepat. Pastinya aku bisa menjauhkanmu dari dia sebelum kau jatuh cinta padanya, dan dihasut yang tidak-tidak."

Dibawanya tubuh ringkih Kinan dalam dekapannya, lalu mengelus-elus rambut pendeknya. Dan terus mengucapkan berbagai kata penyemangat untuk Kinan.

Seminggu kemudian, teman kuliah Kinan datang menjenguk. Entah dari siapa mereka tahu keadaan Kinan yang pasti tiba-tiba saja segerombolan mereka datang memenuhi ruangan Kinan.

Mereka semua memberikan doa dan kata-kata penyemangat. Dengan melirik Rayhan Kinan tahu bahwa laki-laki itu dibalik semua ini. Kalau tidak mana mungkin mereka tahu Kinan di rawat di sana dengan alasan sakit perut akut.

Tapi itu cukup menambah amunisi Kinan untuk terus bangkit, dan menjalani hidupnya lagi.

[]

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang