Dua puluh sembilan

156 24 5
                                    

Marah. Ya. Seharusnya ia marah, bukan malah terbayang-bayang. Perasaan itu, ia tidak bisa menepisnya, terlalu kuat menerobos ruang yang paling dalam. Padahal jelas-jelas ruangan itu telah berisi, seakan ingin menjadi penghuni baru tanpa menghapus yang lama.

Arghhh, apa terjadi denganmu Kinan?! Ingat Rayhan itu sahabatmu!

Kinan menyentuh dadanya, merasa jantungnya masih berdetak tidak normal saat ia membayangkan kejadian itu.
Ia mulai bingung dengan perasaannya, mengapa ia tiba-tiba deg-degan berlebihan begini. Dan kenapa ia harus bereaksi selebay ini karena hal itu? Karena jujur saja, dia terlalu tua untuk bertingkah seperti ini, malu dengan umur yang tidak lagi seperti belasan.

Kinanti tidak pernah tahu ternyata efeknya bisa separah ini, melebihi efek kafein pada kopi hitam yang sering ia minum demi keperluan begadang.

Kinanti mencoba menidurkan diri, dengan menghitung domba imajiner. Ketika domba kedelapan, tiba-tiba saja yang dibayangkan Kinan adalah wajah Rayhan yang begitu dekat dengannya. Begitu gila.

"Rayhan brengsek! Aku butuh tidur, jangan muncul di bayanganku!" Katanya Lalu berusaha kembali memejamkan mata.

•••

Pagi itu, tahu-tahu di ruang tamu sudah ada Rayhan. Ia bersetelan santai namun tetap necis. Aku yang baru selesai mandi menghampirinya sambil mengusap-usapkan handuk ke rambut basahku. Sepagi ini datang ke rumah, dan tidak memberitahu sebelumnya, aku jadi tidak siap-siap, alhasil dia menemukanku masih dalam keadaan seperti ini.

"Buat apa kemari?"

"Aku ingin mengajakmu keluar," katanya enteng.

"Kau pikir aku mau?"

"Aku sudah meminta ijin, Om Harris."

"Kalau begitu sana, perginya sama Papa aj—"

Suara dehaman seketika membuatku terdiam, Papa ternyata mendengar ucapanku. Segera aku meminta maaf pada papa. Lalu mengatakan untuk bersiap-siap dulu sebelum berangkat dengan Rayhan.

Karena papa akhirnya aku berada di samping Rayhan yang sedang mengoceh sambil sesekali mengunyah siomaynya, iya, dia kebanyakan ngomong dari pada makan. Laki-laki itu membahas tentang kejadian 'itu'.  Telingaku panas mendengarnya, belum lagi ia menjelaskan dengan detail apa yang terjadi.

"Kalau kau terus saja berbicara, lebih baik aku pulang!"

"Kinan, kau menyukainya. Perlu kita ulang lagi?" Katanya mengabaikan ancamanku.

"Ray!"

"Iya, sayang."

"Aku tidak suka, ya kamu bicara itu lagi."

"Tapi kamu lebih suka melakukannya, iya kan?"

Pipiku memanas, ucapannya membuatku teringat akan membalas kejadian waktu itu. Sungguh aku hanya terbawa suasana saat itu. Aku tidak tahu itu akan jadi senjata pamungkas Rayhan untuk mengejekku.

"Aku benci kau!"

"Aku suka Kinanti," balasnya membuatku lagi-lagi bersemu merah saat tangannya mengusap kepalaku.

Aku tidak tahu kabar perasaanku. Rasanya begitu membingungkan. Rayhan jelas-jelas adalah sahabatku, yang selama ini selalu aku anggap sebagai abangku. Dan rasanya sangat aneh bila saat ini aku berpikir bahwa aku menyukainya. Sangat aneh, seperti menyadari bahwa kamu menyukai Abang kamu sendiri.

"Ray, aku tidak tahu."

"Masih ada sehari lagi, itu sebabnya hari ini aku ingin mengerahkan seluruh kemampuanku."

"Soal Bara?"

"Aku ingin kau menyukaiku karena memang kau menginginkannya. Bukan karena perjanjian itu."

"Tapi aku—"

"Tidak peduli seberapa besar kau menyukai dia, aku akan tetap berusaha dengan apa yang bisa aku lakukan. Bila memang nanti aku gagal, maka aku senang setidaknya aku sudah berjuang."

Maka hari itu kami habiskan dengan bersenang-senang. Melakukan pedekate ala anak remaja. Rayhan menunjukkan dirinya yang benar-benar memperjuangkanku. Bahkan ia membawaku pada sebuah event memasak, yang sangat bertepatan pada saat kami mengunjungi sebuah mall hari itu.

Katanya ia sudah memesan satu tempat sebagai pencicip hasil masakan para kontestan. Aku dan Rayhan berlagak seperti juri saat melakukannya, membuat aku tidak henti-hentinya tertawa saat Rayhan bahkan memberikan komentar atas masakan yang ia makan. Padahal ia hanya bertugas mencicipi, dan ada juri yang sesungguhnya di sana.

Terakhir kami mengunjungi lapangan merdeka Medan, di sana sedang berlangsung acara konser mini dari salah satu band dari salah SMK di Medan. Dengan bakso masing-masing sebungkus di tangan kami, aku dan Rayhan menikmati sore dengan alunan musik band tersebut.

"Bagaimana hari ini?"

Pertanyaan itu membawa de javu, aku seperti pernah merasakan hal yang sama.

"Menyenangkan, makasih."

"Jadi, apa kau sudah bisa menjawab pertanyaanku itu?"

Aku dilanda kebingungan. Perasaanku bagaikan diombang-ambing. Aku tidak tahu rasa suka ini masih untuk pria itu atau Rayhan. Aku merasakan jantungku berdetak tak normal saat bersama keduanya.

Kejadian terakhir kali aku dan Bara memang membuatku sempat merasa tidak menyukainya. Tapi untuk menghilangkan rasa itu, tidak semudah yang aku bayangkan.

Tapi rasa aneh ketika bersama Rayhan terus-terusan membuatku terusik. Aku tidak tahu apa namanya itu. Aku masih merasa menyukai Rayhan sama saja seperti menyukai saudara laki-lakiku. Mungkin karena kami telah lama bersahabat.

Di waktu aku berpikir sebuah telepon masuk dan membuat ponselku di kantung bergetar.
Aku lekas mengangkatnya, lalu mengucap halo.

"Apa kita bisa bertemu?"

Mendadak aku seperti seorang yang ketahuan selingkuh. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Rayhan saat ia bertanya aku ingin kemana, aku hanya bilang ada urusan mendadak. Hanya satu tujuanku, cepat-cepat bertemu Bara. Aku penasaran mengapa ia mengajak ketemuan, apa ia tahu mengenai Rayhan yang sedang mendekatiku.

"Cepat sedikit Pak," kataku pada supir taksi.

[]

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang