Tujuh belas

128 26 4
                                    

"Kak Kirana keluar aja, ini 'kan yang Kakak mau?"

Masih dengan posisi duduk memeluk erat lututnya, dengan tenang Kinan menanggapi perkataan Kirana. Wanita yang sudah memakai pakaian formal yang biasa ia pakai kerja itu berdecak kesal, Kinan ternyata lebih keras kepala dari yang ia bayangkan. Padahal ia sudah berusaha untuk menolongnya.

Kirana sengaja bangun jam lima pagi, dengan kepala sedikit sakit dan mata yang berat ia paksakan untuk bangun. Ia tidak bisa berhenti memikirkan keadaan Kinan yang masih mendekam di gudang. Maka dari itu ia cepat-cepat mandi dan memakai pakaiannya lengkap dan riasan di wajahnya, ia segera ke gudang setelah semuanya selesai.

Kirana menemukan Kinan yang tampak mengerikan, tidur meringkuk di lantai yang dingin sambil menggigil kedingan. Rasa bersalah menyerangnya, ia punya andil besar untuk keadaan Kinan. Segera ia bangunkan Kinan. Bukannya berterima kasih, Kinan malah memarahi Kirana tepat ketika perempuan itu membuka mata.

"Kinan, aku minta maaf. Tapi ini juga salahmu yang keras kepala," tukas Kirana berjongkok di depan Kinan.

"Cih.... Aku sudah tidak percaya omongan Kakak lagi. Kalian sama saja!"

Mencoba lebih sabar lagi, Kirana menarik napas dalam--dalam mencoba memahami ucapan kasar Kinan bahwa itu hanya efek kejadian semalam. Kinan tidak mungkin berbicara seperti itu padanya.

"Bentar lagi Mama sama Papa bangun. Aku bisa aja memberikan alasan agar kamu keluar dari tempat ini. Tapi, dengan satu syarat, kamu harus nurut apa kata Kakak."

Kinan yang sejak tadi tidak menatap Kirana, mendengar pernyataannya ia langsung melihat wajah yang sudah bersih dan segar itu. "Aku tidak mau."

Jawaban itu membuat Kirana lagi-lagi harus menarik napas panjang, mengapa kebebalan Kinan masih saja dipertahankan bahkan pada situasi seperti ini?

"Kinanti, tolong kali ini dengarkan Kakak," bujuk Kirana dengan wajah memelas, "aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk menjelaskan mengapa Kakak yakin Bara itu bukan pemuda baik-baik."

Mendengar nama Bara disebutkan, Kinan segera mengiyakan usulan Kirana. Ia juga sudah lama ingin tahu alasan mengapa Kirana dan Rayhan begitu yakin laki-laki itu tidak baik untuknya.

"Sekarang kamu ke kamar. Mandi, pakai pakaian yang bersih. Jangan lupa pakai parfum, semalam di gudang tanpa mandi membuat badanmu bau," seloroh Kirana yang tidak digubris sama sekali oleh Kinan. Perempuan itu langsung melengos pergi meninggalkannya.

•••

Selepas mandi dan telah berpakaian yang bersih, Kirana segera membawa Kinan keluar. Namun tampaknya rencana mereka tidak berhasil sebab tahu-tahu Hanum keluar kamar dan memergoki mereka. Tatapan tajam mamanya tujukan pada Kinan, lalu beralih pada Kirana.

"Kamu lupa perkataan Papa semalam? Kirana apa yang kamu ingin lakukan?"

Kirana memandang ke belakang Hanum memastikan bahwa Harris belum bangun, dan menghela napas lega ketika sosok itu tidak ada.

"Kirana mau bawa Kinan pergi sebentar, Ma," aku Kirana.

"Jangan gila. Setelah kejadian semalam kamu kira Papamu mengizinkan? Tidak Kirana."

"Bentar aja, Ma. Ini juga untuk kebaikan Kinan, aku ingin ngajak dia buat menyadari betapa besar kesalahannya."

Kinan sontak mendecih mendengar pernyataan itu, ia tidak salah, apa pun yang telah terjadi bukanlah kesalahan. Di sisi lain, Hanum sepertinya mengerti maksud Kirana, lalu memberikan izin pada mereka.
Lekas tangan Kinan ditarik Kirana, membawanya ke dalam mobil, sebelum Harris bangun dan rencana Kirana akan gagal.

Mobil Audi hitam milik Kirana segera membelah jalanan yang sudah ramai saja, padahal masih pukul enam pagi. Sepanjang perjalanan, gerimis membasahi kota mereka, yang lalu berubah menjadi hujan sedang. Dua puluh menit kemudian mereka berhenti di depan gerbang besi berwarna hitam setinggi satu meter.

Kirana membeliakkan mata baru menyadari ternyata mereka menuju rumah Rayhan. Bodohnya Kinan baru menyadari setelah sampai di tujuan. Kirana membunyikan klakson beberapa kali, lalu seseorang berseragam sekuriti datang membukakan gerbang, membiarkan mobil hitam itu masuk.

"Apa yang Kakak rencanakan? Ini nggak lucu."

Tidak menjawab pertanyaan Kinan, Kirana mengintruksikan pada Kinan agar segera turun dan berlari cepat ke teras. Sesampainya di depan pintu, sambil mengibaskan bagian tubuhnya yang sedikit terkena air hujan, Kirana mengulas senyum pada Rayhan yang sudah berada di pintu.

"Kinanti, aku akan buktikan kalau aku tidak asal tuduh tentang pemuda itu."

Rayhan membawa masuk tamunya. Pada saat itu rumah Rayhan sepi hanya ada dirinya, sekuriti, dan dua pembantu rumah tangga, jadi Rayhan yang menyarankan Kirana agar ketemuannya di rumahnya saja.

Laptop sudah tersedia dengan keadaan aktif di atas meja. Kirana duduk sebelahan dengan Kinan sedangkan Rayhan duduk sendiri di sofa tunggal.

"Kinanti, maafkan aku karena perkataan hari itu," kata Rayhan memulai pembicaraan, memecah hening yang tadi sempat hinggap.

"Aku tahu aku kelewatan. Kamu pantas marah, tapi aku benar-benar jujur dengan ucapanku."

"Kutegaskan sekali lagi. Bara orang baik. Aku tahu dia."

Kirana melihat arloji dipergelangan tangan kirinya. Satu jam lagi masuk kantor, ia harus segera menyelesaikan masalah ini. "Tunjukkan padanya," kata Kirana pada Rayhan.

"Sebulan lalu yang lalu motor aku di curi. Pencuri itu adalah teman Bara."

"Kalau Bara berteman dengan seorang pencuri bukan berarti ia juga pencuri."

Rayhan segera menyalakan sebuah video pada laptopnya. Video itu menunjukkan Bara dan teman-temannya sedang bermain kartu. Tidak ada yang aneh selain tampang teman Bara yang seperti preman.

"Aku tahu mereka itu teman Bara, aku juga sudah pernah bertemu mereka," aku Kinan tidak memedulikan pelototan tajam Kirana atas ucapannya.

"Kalau tahu kenapa kamu masih mau bersamanya? Kamu benar-benar sudah tidak peduli dengan aturan Papa," Kirana berujar.

Rayhan menutup laptopnya ketika video telah selesai. Ia lalu menatap Kinan dalam, lalu dalam sekejap ucapan laki-laki itu selanjutnya membuat Kinan membeku di tempat.

"Aku sudah lapor ke polisi, semalam tongkrongan itu di sergap. Tiga orang berhasil lolos dari pernyergapan itu. Dan kamu tahu setelah pemeriksaan, tadi pagi aku dapat info bahwa benar mereka adalah pencuri yang selama ini sering dilaporkan masyarakat.

"Bara lolos, namun polisi bilang ia adalah buronan karena berdasarkan pendapat temannya ia juga seorang pencuri."

Kinan menggeleng kepala tidak percaya, ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menelpon Bara. Suara operator menyambutnya, juga pada panggilan berikutnya. Ponsel Bara mati. Mencoba untuk tidak percaya pada Rayhan, ia mengingat bahwa semalam Bara masih mengantarkannya pulang.

"Semalam Bara masih mengantar aku pulang, kamu pasti bohong."

"Kita bisa ke kantor polisi sekarang, Kinanti. Aku nggak bohong."

"Aku nggak percaya ucapan kalian! Bara nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu."

Kinanti bangkit, tanpa pamit ia melenggang keluar. Membawa kakinya berlari dari sana. Ia menulikan telinga dari teriakan Rayhan dan Kirana yang memanggil namanya. Kinan langsung menyetop taksi yang kebetulan lewat. Alamat rumah Bara ia katakan pada supir taksi itu.

Sepanjang perjalanan ia diserang panik dan rasa khawatir akan kebenaran ucapan Rayhan.

[]

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang