Pertemuan yang menyenangkan. Aku tidak sabar untuk yang berikutnya.
Mengabaikan kemarahan mama karena aku pulang terlambat, aku lebih memilih untuk membaca sekali lagi pesan yang masuk beberapa menit yang lalu itu. Bagaimana bisa kemacetan Medan membuat kami sampai bertukar kontak. Saking lamanya, kami-dua orang asing- sampai bisa bercerita banyak hal.
Beberapa chat dari Rayhan juga memenuhi papan notifikasiku, Ray menanyakan perihal apakah aku sudah sampai di rumah, kubalas 'aku sudah di rumah, dan aku baik-baik saja'. Setelahnya aku kembali melihat pesan dari Bara, memikirkan balasan apa yang harus kukirim.
Aku juga tidak sabar ingin bertemu. Ah, aku mengetik apaan? Delete-delete!
Apakah kamu sudah sampai rumah? Sekarang aku terlihat seperti seorang pacar yang mengkhawatirkan pasangannya, delete!
Sudah tidur? Kinanti bodoh! Ini baru jam tujuh, dan balasan macam apa itu? Pada akhirnya aku tidak tahu balasan apa yang cocok. Aku meletakkan ponsel di atas nakas dan memilih membaringkan tubuh dengan posisi telentang.
Melihat tiga buah origami burung tergantung di langit-langit kamarku. Hanya itu yang bisa kuselamatkan, mama membakar yang lainnya. Katanya itu hanya membuat kamarku jadi kotor dan menjadi sarang nyamuk. Seluruh isi kamar, mama yang mendesain. Katanya, rancanganku terlalu kekanakan. Padahal wajar, 'kan? Saat itu aku masih kelas dua SMP.
Aku lupa, kapan terakhir kali aku bisa memilih pilihanku sendiri. Sejak awal tidak ada pilihan, hanya ada keharusan. Ah, aku ingat, naik bus, maka dari itu akan kupertahankan satu-satunya keputusanku itu.
Dering telepon menyadarkanku dari lamunan. Aku meraih benda pipih itu dan membuka screen lock, mataku membulat melihat nama pemanggil. Bara.Menarik napas dalam-dalam aku menggeser ikon berwarna hijau. "Halo?"
"Aku kira kamu nggak akan mengangkat," suara di seberang sana menjawab.
"Kenapa menelpon?"
"kangen."
Jangan kangen, kangen itu berat biar aku saja. Dia mau aku membalas seperti itu? Oh God, apa-apaan dia? Aku lantas mematikan sambungan.
•••
"Aku tugasnya menjilid makalah, Ayu yang cari sumber, Gea memfotokopi, dan Kinan mempresentasikan." Lira menjelaskan.
Alisku otomatis menyatu. "Hah?! Kok tugas aku berat banget!" protesku.
"Semua dapat kesulitan masing-masing, Kin."
"Aku menjilid aja, lebih mudah!"
"Tugas aku nggak hanya menjilid, aku juga akan jadi moderator."
"Lho kok kayak gitu? Ini nggak adil," kali ini Ayu yang tidak terima.
Aku paling tidak suka satu kelompok dengan Lira, dia tidak pernah membagi tugas dengan baik, pasti dia ingin yang mudah-mudah saja. Dia juga tidak ingin didebat, kalau bukan karena asisten dosen yang sok keren itu, aku tidak akan satu kelompok dengan perempuan ini.
"Sudah seminggu aku nggak enak badan, bagian aku jangan yang berat-berat dong," ucap Lira berkilah.
Kami akhirnya hanya menjawab 'terserah' lalu membubarkan diri. Jam dinding yang bertengger di bagian belakang kelas menunjukkan pukul sebelas, yang berarti kelas keduaku akan dimulai tiga jam lagi. Aku hendak menghubungi Rayhan ketika tersadar bahwa dia masih ada kelas sampai jam satu nanti.
Rayhan dan aku memang satu jurusan, manajemen. Tapi, jadwal kelas kami hanya beberapa yang sama. Seandainya bisa mengatur sendiri, akan kubuat kami selalu bersama. Tidak ada orang lain yang cukup akrab denganku kecuali dia. Bukan aku introvert, tapi aku orangnya suka berpikiran buruk, dan hanya Rayhan yang tahan akan sikapku dan tidak pernah marah ketika kutuduh yang buruk-buruk.
Tidak mungkin aku tiga jam tanpa berbuat apa pun, jadi lebih baik aku mencari jajanan di luar kampus, sebab di kantin hanya ada makanan berat. Aku harus menyeberang jalan untuk membeli molen panas-jajanan berupa pisang yang dibungkus tepung tapi berbeda dengan pisang goreng-yang baru di goreng oleh penjualnya di seberang sana.
Sesampainya di sana, aku mendengar ada suara memanggil namaku. Aku celingukan mencari tahu sumbernya, dan yang kudapati adalah Bara yang menghampiriku.
"Kamu menguntit aku lagi?" kataku setelah memesan.
"Kebetulan lewat. Sudah pulang?"
"Belum. Masih ada satu kelas lagi." Aku menyodorkan plastik keresek berisi molen, "mau?"
Bukannya jaim dengan menolak, Bara malah mengambil dua buah sekaligus, bukannya aku pelit, tapi kebanyakan pria akan menolak pemberian seperti ini.
"Jam berapa masuknya?"
"Tiga. Kamu ngajak aku ngapain?" kataku menebak arah pembicaraannya.
"Ada tempat makan yang enak, kamu mau makan siang sama aku?"
Aku mengunyah perlahan si pisang molen, aku tidak mungkin semudah itu menerima tawaran Bara, jangan-jangan niat jahatnya masih ada.
"Aku tidak berniat buruk. Hentikan pikiran negatifmu itu!" ujarnya seolah mengetahui isi kepalaku.
"Kamu kira aku percaya dengan pria bewokan kayak kamu?"
"Jangan nilai buku dari sampulnya. Ayolah, aku bawa motor, kita tidak akan lama."
Akhirnya aku menganggukan kepala.•••
Suasana rumah makan ini ramai, padahal jam makan siang sejatinya dua jam lagi. Dan yang menyenangkan adalah pesanan kami yang cepat disajikan, mengingat ramainya pengunjung.
Dua mangkuk soto Medan telah berada di hadapan kami, asap yang mengepul membuatku yang sebelumnya tidak terlalu lapar tiba-tiba saja keroncongan. Perut, ada apa denganmu? Kusendokkan kuahnya ke mulutku, ternyata benar rasanya nikmat.
"Ini tidak memakai micin, tapi tetap enak. Perpaduan bumbunya pas banget, biasanya banyak orang yang menggunakan bumbu berlebihan," komentarku.
"Dari mana kamu tau?"
"Aku sering membantu nenek memasak ketika beliau masih hidup, jadi aku tahu makanan yang diberi micin atau bumbu apa yang dipakai," jelasku.
"Suka memasak?" Bara sepertinya lebih tertarik untuk bercerita dari pada makan, sotonya bahkan belum disentuh tapi sudah bertanya-tanya.
"Iya. Tapi sekarang nggak bisa masak lagi."
Sebenarnya aku tidak ingin membahas ini, karena dengan membahasnya aku kembali teringat perdebatanku dengan papa malam itu. Malam yang membuat jarak yang sangat panjang antara aku dan papa. Malam yang membuat papa tidak pernah mau melihatku lagi.
"Kalau boleh tahu, kenapa?" tanya Bara hati-hati, sepertinya menyadari perubahan raut wajahku.
Karena semenjak aku mengatakan ingin mengambil jurusan tata boga, semua orang di rumah tidak membiarkan aku ke dapur lagi. Papa dan mama shock ketika mendengar penuturanku malam itu. Sejak awal, papa berkeinginan menjadikan aku seorang yang bekerja di kantoran, mempersiapkan segalanya, termasuk memberikan les tambahan agar aku dapat masuk jurusan akuntansi atau manajemen di salah satu universitas favorit di tempatku. Sayangnya pada saat SNMPTN aku membuat tata boga pada pilihan pertama sedangkan dua jurusan lainnya di pilihan kedua dan ketiga. Aku lolos di tata boga, papa tidak terima dan marah besar. Papa mengata-ngatai bahwa aku hanya akan jadi tukang masak setelah lulus, aku akan kesulitan mencari kerja nantinya dan berbagai umpatan yang sangat menusuk hatiku.
Papa bilang aku harus masuk jurusan pilihannya. Harus. Sehingga sekarang aku terjebak dalam jurusan yang tidak pernah kuinginkan, dan mau tidak mau harus menjalaninya dengan baik selama empat tahun.
Saat itu aku hanya berpikir bahwa adalah kesalahan besar aku memutuskan pilihanku sendiri, aku salah telah membuat semua orang di rumah kesal. Maka, ketika mereka tidak lagi mengizinkanku ke dapur, aku melakukannya. Berharap dengan itu papa akan memaafkanku."Kalau tidak mau, tidak apa-apa."
Aku menyunggingkan seulas senyum, lalu menggeleng. Dia orang asing, aku tekan-kan itu pada diriku yang sangat ingin menceritakan kisah miris itu. Aku belum siap untuk mendapat penolakan lagi, walaupun aku tahu ada kemungkinan dia berpihak padaku.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Predestinasi (Tamat✅)
عاطفية"Ada alasan mengapa kita dipertemukan." Begitu katamu hari itu. Lantas aku pun mempercayainya. Iya, semudah itu untuk mempercayaimu. Semudah itu untuk jatuh padamu. Anehnya setelah semua yang terjadi, semua masalah malah membuat kita tidak bisa bers...