🔹🔹🔹
“Kamu dekat, selalu bersamaku, namun tetap saja tak tergapai.”
🔹🔹🔹
Terhitung sudah empat minggu sejak Rayhan memutuskan memberi jarak pada hubungan mereka. Bukan perkara kebohongan Kinan yang membuatnya seperti itu, tapi karena laki-laki yang akhir-akhir selalu bersama Kinan-lah alasannya. Rayhan berulang kali mencoba meruntuhkan egonya, berulangkali mencoba untuk melupakan saja semuanya, tapi ternyata tidak semudah yang dipikirkan.Rasa cemburunya telah mengendalikan dirinya. Meskipun demikian, Rayhan tidak pernah bosan memastikan sahabat sejak SMA-nya itu selalu baik-baik saja. Diam-diam ia mengikuti Kinan, yang sekarang Rayhan tahu bahwa perempuan itu sering ke sebuah Kafe. Bahkan hal terbodoh yang dia lakukan adalah memastikan Kinan tidak pulang malam, agar Kinan tidak dimarahi orang tuanya.
Seperti saat ini, Rayhan menatap adegan itu lagi. Di atas balkon lantai tiga, terlihat dengan jelas Pria itu kembali menjemput Kinan, ekspresi Kinan sangat bahagia, senyumnya begitu lebar ketika pria itu mengucapkan sesuatu padanya.
Interaksi yang sanggup menoreh rasa sakit pada hatinya. Sambil mengeram kesal Rayhan meremas keras pagar pembatas sampai buku-buku jarinya memutih. Ingin rasanya ia berlari ke sana dan menarik Kinan menjauh dari laki-laki itu, atau menendang jauh laki-laki sampai tidak bisa menemui Kinan lagi.
“Dipandangi mulu, samperin 'gih.”
Fero yang mengetahui perihal perasaannya pada Kinan, menepuk pundaknya. Fero sudah sering memberitahu bahwa keputusan yang dilakukan Rayhan adalah hal yang salah. Bukannya membuat perempuan itu sadar, Rayhan malah membuatnya semakin tidak punya kesempatan berada di hati Kinan, begitu katanya.
Tapi meruntuhkan egonya Bukanlah satu hal yang mudah.
“Aku ingin buat dia merasa kehilangan,” tukasnya masih memandang ke bawah, kendati sepasang manusia itu telah menghilang dari sana.
“Apa kau sudah merasa 'kan hasil keputusan bodohmu ini? Nihil. Mereka bahkan semakin lama semakin dekat. Bukan kehilangan, Kinan akan melupakanmu!”
Rayhan tertohok mendengar kenyataan itu dari mulut orang lain. Selama ini ia menanamkan pada dirinya sendiri, yang dilakukannya sudah benar, dan tidak akan lama lagi Kinan akan kembali padanya. Tapi, sepertinya yang terjadi adalah sebaliknya.
“Ayolah, kau sudah mengenal dia lebih lama dari laki-laki asing itu. Kau mengerti dia lebih dari teman-temannya yang lain.”
“Lama kebersamaan tidak menjanjikan apakah ia akan lebih memilihku atau tidak.”
“Keputusan berada di tanganmu, Ray. Tapi pegang omonganku, berdiam diri tidak akan menghasilkan apa-apa,” Ujar Fero dalam dan mengena.
Rayhan tidak berdiam diri, tapi berjalan menjauh, dengan terus berharap menjauh akan mendekatkannya.
•••
Ponselnya mati dan motornya tidak bisa dihidupkan, perpaduan yang sangat sempurna. Rayhan menendang motor yang sudah diutak-atiknya tapi tidak juga hidup-hidup. Lebih sialnya lagi bengkel tidak ada di sekitar motornya mogok, ia sudah mendorong benda itu lima ratus meter tapi tidak menemukannya.
“Kenapa, Bang?” tanya seorang pengendara mobil pickup yang berhenti di sampingnya.
“Mogok, mesinnya tiba-tiba nggak bisa dihidupkan.”
“Wah, bengkel masih jauh lagi. Bagaimana kalau saya membantu membawa motornya.”
Rayhan bersyukur dalam hati bisa bertemu pengendara ini, ia tidak akan capek-capek lagi berjalan beberapa puluh meter untuk mencari bengkel. Rayhan bersama satu pria lainnya mendorong motor naik di atas papan miring.
“Abang duduk di depan saja,” kata si pria yang membantunya tadi.
Tidak ada rasa curiga Rayhan turun dari sana, namun begitu kakinya menyentuh aspal, mobil pickup itu melaju meninggalkan Rayhan yang sontak mengejarnya sambil mengucapkan sumpah serapah. Akhirnya ia berhenti ketika menyadari bahwa ia tidak akan bisa menangkap mereka.
“Sialan! Kurang ajar!” umpatnya sambil mengacak-acak rambutnya dan menendang kerikil di sisi jalan.
Rayhan tidak pernah menduga bahwa di siang bolong seperti ini ia akan di maling seperti itu, dan Rayhan sama sekali tidak menaruh rasa curiga. Sekarang ia harus bagaimana lagi selain pasrah dengan kenyataan dan bersiap-siap terkena omelan ayahnya di rumah.
Rayhan mendudukkan diri di halte, ia memutuskan untuk naik bus—walaupun ia benci. Daripada naik angkot lebih baik bus 'kan?Berada di antara impitan orang-orang, Rayhan jadi merindukan Kinan. Rindu cerita mengenai padatnya bus dan para penumpang yang sering menyenggol Kinan. Biasanya perempuan itu akan bercerita setiap pagi, tentang pengalamannya di atas transportasi darat ini. Sekarang paginya disibukkan dengan menghindarinya.
“Bodoh, Rayhan. Seharusnya kau memikirkan bagaimana cara memberitahu ayahmu tentang kemalangan yang kau hadapi!”
Apa seperti ini, yang dirasakan Kinan setiap kali melanggar larangan orang tuanya? Rayhan jadi ke pikiran bagaimana rasanya dimarahi oleh orang tua, dibentak, dan disudutkan di waktu yang bersamaan. Ayah Rayhan pasti memarahinya, tapi pria itu tidak pernah menyudutkan Rayhan dan tidak akan melakukan hal itu, apalagi ibunya yang sangat menyayangi putra tunggalnya itu.
Kinan pasti sangat tersiksa diperlakukan seperti itu. Tapi bodohnya Rayhan meskipun sering mendengar cerita mengenai mengerikannya orang tua Kinan, Rayhan malah sering membenarkan yang dilakukan mereka pada Kinan. Bodohnya lagi Rayhan baru menyadarinya sekarang, setelah bertahun-tahun bersama Kinan.
“Kenapa pikiran aku nggak bisa lepas dari Kinan, sih? Kan tadi aku lagi memikirkan cara memberitahu Ayah.”
Bersamaan dengan bus berhenti, Rayhan melupakan sejenak perihal Kinan dan mulai membayangkan wajah syok orang tuanya mendengar kejadian ini. Dalam hati Rayhan berdoa agar suasana hati ayahnya saat ini baik agar ketika mendengar hal buruk tidak terlalu emosi atau mengatakan dulu pada ibunya, biar nanti beliau yang menjelaskan pada ayahnya.
Emang ada pengaruhnya? Paling juga sama aja, batin Rayhan mengerang.
Karena kebanyakan berpikir ia tidak sadar telah berdiri di depan pintu rumahnya. Dalam satu tarikan napas ia menarik knop kebawah, pintu terbuka dan ia menemukan dua pasang mata menoleh padanya.
Sial, kenapa ayah lagi sama ibu sih?!
[]
The power of kepepet😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Predestinasi (Tamat✅)
Dragoste"Ada alasan mengapa kita dipertemukan." Begitu katamu hari itu. Lantas aku pun mempercayainya. Iya, semudah itu untuk mempercayaimu. Semudah itu untuk jatuh padamu. Anehnya setelah semua yang terjadi, semua masalah malah membuat kita tidak bisa bers...