Dua puluh tiga

137 26 4
                                    


Sangat sulit tidak menguap. Di sana Zea masih bersemangat bercerita mengenai gebetannya, yang pindah departemen ke tempatnya. Teman-temanku yang lainnya mendengarkan dengan antusias, sambil sesekali menimpalinya.

Lebih dari satu jam aku terjebak di antara mereka. Di mulai dari sepulang dari pertemuanku dengan klien yang ternyata adalah seorang penanam saham terbesar di perusahaanku, merasa puas dengan kinerja dan presentasiku, yang berakhir dengan kesepakatan akan menambah suntikan dana untuk projek kami kali ini.

Pria berkumis—Pak Broto—alias atasanku sangat senang dengan kabar itu, lalu memberikan bonus padaku yang dikirimkan pada saat itu juga. Anak-anak yang mengetahuinya, langsung saja minta ditraktir. Tidak ada pilihan lain aku pun kini terjebak dalam aktivitas paling kubenci. Penggibahan.

Dimulai dari cerita gebetan, hingga tentang tubuh bahenol, Ella, anak baru di departemen penjualan. Mereka pada iri, karena katanya semenjak kedatangan wanita itu, semua pandangan lelaki di kantor tertuju pada tubuh gitar Spanyol itu. Terlebih lagi, Ella suka memakai pakaian ketat, rok mini dan tidak jarang melepas dua kancing kemejanya, jadilah ia tontonan yang menggiurkan di mata lelaki di kantor kami.

"Sumpah, nih ya. Dia itu sebenarnya jual apartemen atau jual diri? Waktu menawarkan sama pembeli, dia sok-sokan membusungkan dada. Dada dia 'kan udah gede, buat apa coba digituin? Tuh balon makin mencuat ke depan om itu. Iya om. Kayaknya klien dia om-om semua deh." Zea berucap yang ditanggapi heboh yang lainnya, dan tidak kalah menyindir Ella.

"Aku jadi penasaran, jangan-jangan dia keterima gara-gara ngerayu HRD pake tubuhnya itu. Diiming-imingi tidur satu malem kali."

"Hush! Gaboleh ngomong gitu. Yang penting 'kan dia bekerja profesional. Buktinya semenjak bergabung dengan kantor kita, penjualan jadi meningkat pesat."

Aku menegakan tubuh, akhirnya ada juga yang dapat berpikir positif. "Bila perlu contoh Ella, biar perusahaan kita cepat berkembang! Jangan bisanya gosip aja!" Timpalku yang langsung membuat mereka kicep.

Aku bangkit berdiri hendak ke toilet, aku perlu membasuh wajah. Baru jam enam sore, namun aku sudah mengantuk. Di tengah kakiku yang melangkah ke toilet aku menatap sosok yang sangat menarik perhatianku.

Seorang pria sedang berbicara dengan pria lainnya di salah satu meja di sana. Mereka tampak asyik berbincang, ketika aku perlahan menghampiri mereka. Lalu si pria itu akhirnya menoleh menyadari keberadaanku dan pandangan kami bertemu. Sejurus kemudian ia terkejut, sama seperti diriku. Aku bertemu dengannya lagi.

•••


Aku dan dia duduk berhadapan. Sama dengan diriku, ia juga banyak berubah. Matanya semakin sayu, lingkar hitam tercetak jelas di sana. Rambutnya panjang sebahu, yang ia gerai kali ini. Bulu-bulu halus menutupi dagunya. Garis wajahnya semakin tegas, dan tirus. Sepertinya dia semakin kurusan, tampak dari kaus yang kebesaran di tubuhnya.

Kalau saja aku tidak mengenalnya mungkin sistem curigaanku akan menuduh dia adalah seorang narapidana yang kabur dari lapas. Tapi aku sangat mengenalinya dan selama ini sangat merindukannya. Sampai-sampai ketika melihatnya lagi setelah sekian lama, dadaku terasa sesak. Luapan kerinduan itu seakan mendesak keluar. Aku ingin menghambur ke pelukannya, tapi aku sadar, ada sekat yang membuatku tidak dapat melakukannya. Sekat yang tumbuh selama lima tahun kepergiannya.

Kusesap kopi hitam yang masih mengepulkan asap—pastinya setelah beberapa kali kutiup. Pahit mendominasi indera pengecapku, namun itu terasa nikmat. Di depanku pria itu masih diam, tidak menampakkan akan bereaksi. Jadi, karena tidak ingin semakin membuat waktu berlalu sia-sia, aku segera menciptakan sebuah percakapan di antara kami.

"Apa kabar ... Bara?" Entah kenapa, ketika menyebutkan namanya ada bagian diriku yang merasa ngilu. Aku sedang berusaha untuk tegar, tidak mengingat-ingat apa pun yang akan membuat aku menangis di depannya.

"Baik, seperti yang kamu lihat."

Aku tersenyum miris. Baik seperti yang kulihat? Kulihat ia tampak seperti zombie, sangat mengerikan. Baik dari mananya? Aku menahan segala gejolak untuk menentang kata baik itu, maka aku hanya dapat menyesap sekali lagi kopiku.

"Kalau kamu. Apa kabarmu, Kinanti?" Tanyanya kini menatapku, setelah sejak tadi memandang ke luar.

"Aku baik, selalu baik."

"Kamu banyak berubah. Aku lebih suka rambut pendekmu," ucapnya bermaksud bercanda, namun aku sudah terlanjur dibawanya ke masa lalu, jadi aku mengartikannya sebagai sindiran halus.

"Semua pasti berubah. Tidak ada yang abadi di dunia ini."

"Tapi perasaanku masih sama, Kinan. Bagaimana dengan itu?"

Aku tertegun cukup lama. Lantas tertawa renyah setelahnya, pernyataan itu begitu menggelitik dan sangat frontal. Bagaimana dia bisa dengan mudah melontarkannya? Sedangkan dia pernah menghilang secara tiba-tiba, dan membuatku hancur. Pada pertemuan pertama kami ia langsung menyatakan masih menyukaiku, lelucon macam apa ini? Apa dia tidak sadar atas kesalahan yang dia perbuat.

"Seperti dulu, kamu masih sefrontal itu. Tapi sekali lagi, tidak ada yang abadi."

"Apa itu maksudnya, kamu sudah tidak memiliki rasa itu lagi padaku?"

"Ya."

Tidak! Melupakanmu saja tidak bisa, bagaimana caraku untuk tidak menghilangkan perasaan itu?

Bara tersenyum, lebih ke senyum getir. Aku mengetahuinya karena telah menonton banyak drama dengan tokohnya melakukan hal itu. Sirat kekecewaan terpancar darinya tanpa ia tutupi. Aku sedikit menyesal telah berbohong, namun aku tidak ingin melakukan kesalahan kedua.

"Aku bisa memahaminya. Satu pertanyaanku. Bolehkah aku mendapat kesempatan kedua untuk membuatmu kembali mempunyai perasaan padaku?"

Bibirku terkatup. Aku masih amat-sangat-menyukainya, tidak perlu kesempatan kedua, detik ini juga ia sudah berada di dalam hatiku tanpa perlu membuka pintunya. Yang aku inginkan darinya saat ini adalah konfirmasi mengenai alasan apa yang membuat ia menghilang lima tahun lalu.

"Kesempatan kedua ada, bila kamu menceritakan satu cerita tentang lima tahun terakhir ini," tukasku.

"Tidak ada yang menarik dari lima tahun itu. Yang terpenting adalah satu kesempatan untuk mendekati kamu lagi."

"Bagiku penting, Bara. Aku butuh kejelasan kenapa kamu menghilang, kenapa kamu nggak bisa dihubungi. Aku ingin tau!"

Ia membuang muka. Itu membuatku semakin sakit. Bara sama sekali tidak memberikan jawaban yang kuperlukan. Segera aku bangkit.

"Kamu akan dapat kesempatan kedua bila kau menjelaskan mengenai alasan kamu hilang selama ini," kataku sebelum akhirnya berdiri dan meninggalkannya.

[]

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang