Aku segera berlari menghampiri Rayhan dan langsung memeluknya. Tidak peduli orang di sekitar kami memerhatikan adegan drama itu. Pokoknya aku cuma mau bilang aku kangen dia.
"Katanya nggak mau jemput. Eh, dateng juga," ujarnya mengurai pelukan kami.
"Kerjaanku udah selesai. Jadi bisa deh jemput. Mana oleh-olehnya?" Kujulurkan tanganku ke hadapannya.
Bukannya memberikan apa yang ku minta ia malah dengan lancang mencium telapak tanganku. Karena refleks dan geli aku langsung menampol bibirnya. Ia mengaduh daramtis, aku 'kan pelan memukulnya.
"Bibir montok gue jadi tepos, deh nih. Jahat banget lo."
"Siapa suruh nyium-nyium. Aku 'kan minta oleh-oleh. Terus lagi, kenapa pake lo gue? Nggak usah sok gaul deh. Nggak cocok sama tampang mu."
"Haha, gue cukup keren untuk berbicara kayak gini. Lo aja yang norak," katanya lalu memberikan tas kertas padaku. "Nih, puas kau?"
Aku segera menerima benda itu. Kami beriringan menuju mobilku. Toyota Calya itu akhirnya keluar garasi. Tadi pagi hujan deras sekali. Aku tidak ingin membasahi kemeja putihku karena ada rapat yang harus dihadiri. Jadilah aku membawa si Cayla.
"Aku yang mengemudi." Aku memberikan kuncinya padanya. Ia selalu berprinsip bahwa tidak boleh wanita menyetiri pria.
"Bagaimana keadaan perusahaanmu?" Kataku selesai mengenakan sealt belt.
Mobil mulai melaju meninggalkan bandara Kuala Namu. Cayla meluncur mulus melewati jalan tol bandara. Seperti biasa Rayhan sangat fokus mengendarai Cayla.
"Perusahaan baik-baik saja. Kalau kau berniat pindah, aku bisa langsung memasukkanmu. Kau bisa membuatmu jadi sekertarisku."
"Wah, serius? Mau dong. Pasti gajinya gede. Sekertaris CEO gitu."
"Asal kau mau jadi pendamping hidupnya Si CEO."
Aku memutar mata, ia terlalu menggombal. Rayhan memang benar-benar jadi aneh semenjak tinggal di Jakarta. Apa yang telah kota terpadat di Indonesia itu lakukan pada otak kecil Rayhan.
"Berhenti merayuku. Nanti aku baper, bisa berabe."
"Aku serius, Kinan. Kenapa nggak sadar-sadar sih."
"Sama sekali nggak lucu."
"Kinanti aku suka kamu. Dari dulu."
"Bad jokes, Ray."
"I'm seriously. I love you more than friend."
"What the hell?! I cann't belive that. Never can."
"Aku suka kamu, semenjak aku tahu kamu."
Aku tidak lagi bisa menjawab apa-apa lagi. Pernyataan itu lebih rumit dari trigonometri yang berkomplikasi dengan aljabar. Juga lebih sulit dari menghitung buku besar tanpa menggunakan kalkulator. Pernyataan itu sesulit menerima kenyataan kalau ternyata Justin Bieber telah menikah. Jadi aku hanya bisa terdiam dan terus mencerna ucapannya.
"Aku tau timing-nya nggak tepat, dan ini terlalu tiba-tiba. Tapi menurutku ini waktu yang tepat. Aku sebulan di Medan. Selama itu kamu boleh berpikir. Sekadar informasi, aku bakalan menetap di Jakarta untuk waktu yang lama."
"Kau akan pindah domisili ke Jakarta?"
"Iya. Aku lahir di sana, Ibu sama Ayah juga orang sana. Sebenarnya ini wancana yang sudah sejak lama."
"Dan kau baru memberi tahuku sekarang?"
"Aku ingin memberitahu dari dulu. Tapi aku belum menemukan waktu yang tepat."
"Tunggu. Kita lagi bahas ke pindahanmu 'kan?"
"Itu jawaban untuk keduanya. Tentang kepindahan dan perasaanku."
Sisa perjalanan kami di temani oleh radio yang berkicau seputar musik K-Pop yang akhir-akhir ini booming. Tidak ada dari kami yang berniat merubahnya. Perjalanan yang biasanya selalu di isi dengan bercerita kini sepi.
Salahnya sendiri mengatakan dua fakta yang mengejutkan itu padaku. Jadilah otakku penuh dengan spekulasi negatif positif dari semua ucapannya. Belum lagi aku mengerti, bayangan ucapan Bara kemarin kini berngiang-ngiang di kepalaku.
•••
Laptop yang terbuka sejak tadi tidak kusentuh sama sekali. Layar desktop masih menampilkan wallpaper bunga-bunga, juga ikon-ikon menu. Aku lupa alasan mengapa aku membukanya dan untuk apa benda itu ada di hadapanku.
Dering ponsel dengan nama Bara membuyarkan akal sehatku. Setelah sekian lama akhirnya nomor itu aktif, aku ingin menggeser ikon hijau. Tapi tanganku terasa berat untuk bergerak. Jadilah aku tunggu saja sampai benda itu berhenti bergetar.
Aku menghembuskan napas lega, panggilan berhenti. Namun beberapa detik kemudian nama Rayhan muncul. Apa mereka janjian untuk menerorku malam ini?
Karena kesal aku mematikan sambungan itu. Lalu sebuah pesan singkat masuk dari nomor tidak dikenal.
Kenapa tidak mengangkat teleponku? Itu nomorku. Bila kamu sudah menghapus nomorku sebelumnya.
~Bara.
Aku melempar ponselku tepat setelah pesan kedua dari Rayhan kubaca dengan mulut terbuka.
Kinanti, kenapa nggak ngangkat telepon aku?
Sudah cukup! Aku belum bisa mencerna semuanya. Jadi aku tidak ingin bertemu ataupun berbicara dengan mereka berdua. Melupakan segalanya aku memilih merebahkan diri. Otak kecil yang semenjak lulus kuliah tidak lagi mengepul kini mengepul lagi karena keanehan yang terlalu mendadak ini.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Predestinasi (Tamat✅)
Romance"Ada alasan mengapa kita dipertemukan." Begitu katamu hari itu. Lantas aku pun mempercayainya. Iya, semudah itu untuk mempercayaimu. Semudah itu untuk jatuh padamu. Anehnya setelah semua yang terjadi, semua masalah malah membuat kita tidak bisa bers...