Satu

877 122 110
                                    

Bus begitu padat hari ini, sebenarnya selalu padat apalagi pagi dan sore. Masalahnya aku tidak pernah suka berimpitan dengan orang-orang asing yang suka sekali mendorongku. Padahal jelas-jelas mereka tahu, berdiri sepanjang perjalanan ke tujuan saja sudah cukup melelahkan, lalu mengapa perlu saling menyenggol?

Seperti saat ini, ketika aku hendak membasahi kerongkonganku yang kering sehabis mengejar bus tadi, tiba-tiba saja ada yang menyenggol ku, lantas separuh isi botol minum ku—yang seharusnya bisa menghilangkan dehidrasi ku—akhirnya tumpah dan membasahi kemeja putihku.
Asal dia tahu saja ini masih pagi untuk emosi.

Kutegakkan tubuhku lalu kulihat ada seorang pria yang melirikku aneh. Sekarang aku tidak bisa tidak berpikiran negatif terhadap pria ini, pasalnya air yang mengenai kemejaku membuat dalamanku terekspos.

“Maaf-maaf, baju kamu jadi basah gara-gara aku.”

Aku terbengong beberapa detik. Jadi dia yang menyenggolku? Oke, baiklah, dia sudah minta maaf. Tapi mengapa setelah dia memandangku dengan tatapan anehnya dan setelah beberapa menit berlalu? Aku akhirnya hanya bisa berdeham sebagai tanggapan atas ucapannya dan memindahkan tasku ke depan untuk menutupi bagian yang basah.

Sepanjang perjalanan pria itu tetap memandangku, dan dari sekian banyak pengalaman menyebalkan dalam bus, hari ini kunobatkan sebagai yang paling mengesalkan. Rasanya aku ingin menusuk kedua matanya karena berani memandangku seperti itu, ya meskipun tatapannya tidak seperti pria hidung belang seperti papanya Lira—oke, maaf untuk itu, Lir. Tapi Ayahmu benar-benar genit!

Setelah melewati persimpangan keenam terhitung dari rumahku, akhirnya bus berhenti di halte tepat samping kampusku. Namun, baru saja aku ingin melewati pintu bus, sebuah tangan menahan lenganku, ketika aku menoleh sebuah jaket langsung tersampir di pundakku.

“Pakai ini buat menutup kemejamu yang basah,” katanya.

Baru aku ingin merespons, namun orang-orang yang juga turun di pemberhentian ini mendorongku hingga aku keluar dan bus beranjak pergi. Aku hanya bisa memandangi kepergian pria di dalam bus—yang jaketnya masih berada di tubuhku—dengan tampang bodoh.

“Lihat apa 'sih sampai segitunya?”

“Lihat sesuatu yang nggak perlu kau tahu, masuk aja 'yuk.”

Aku tahu itu Rayhan sahabatku, yang memang selalu setia menungguku di halte, sebab mengapa aku langsung mengenalinya tanpa menoleh. Laki-laki yang sudah ratusan kali menawarkan untuk menjemputku saja dari pada naik bus, namun aku tetap bersikeras untuk pergi ke kampus sendiri.

Rayhan menarik tanganku masuk ke kampus. Ruangan ber-AC menyambut kami, dan itu cukup mampu membuat sejuk tubuhku setelah dua puluh menit berada di tengah sesaknya orang-orang. Setelah menaiki undakan tangga—yang tidak pernah aku ketahui jumlahnya— untuk sampai di ruanganku, lantai dua gedung ini. Aku langsung mendudukkan diri di kursi ujung kelas, dan Rayhan seperti biasa berada di sampingku.

“Pinjam catatan yang kemarin dong,” ujar Rayhan yang sudah siap dengan pulpen dan buku.
Aku menurunkan tas dan mengambil buku yang dimaksud, lantas memberikannya pada Rayhan.

“Hari ini hitam, ya?” Katanya sambil menyengir ketika mengambil bukuku.

Aku refleks menutup dadaku dan membenarkan letak jaket pria yang tadi, dan mengumpat dalam hati mengapa kemeja ini lama sekali keringnya. “Matamu minta di colok?!”

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang