Dua puluh

138 26 15
                                    

"Apa yang dipikirkan anak bodoh itu? Kenapa ia sampai segila itu?" Ucap Harris sambil mondar-mandir tidak jelas di depan pintu ruangan di mana dokter sedang menangani Kinanti.

Hanum tampak masih syok semenjak pertama kali melihat Kinan berlumuran darah, wanita paruh baya tidak berbicara sejak mereka tiba di rumah sakit, hanya air matanya yang memberitahukan bahwa ia sangat terguncang dengan kejadian itu. Sedangkan dengan berisiknya Harris terus saja memaki perbuatan Kinan.

Di sisi lain ada Kirana yang sejak tadi merapalkan doa agar Kinan baik-baik saja. Perjalanan ke rumah sakit memakan waktu setengah jam, ditambah macet yang membuat mereka sampai hampir satu jam. Kirana takut mereka terlambat.

"Anak sialan! Tahunya buat masalah saja, kenapa tidak sekalian minum racun biar langsung mati!"

Mendengar penuturan itu, Kirana refleks mendongak menatap tajam Harris. Pria itu seolah menentang doa Kirana, dan itu membuatnya terbakar emosi.

"Papa mikir nggak 'sih kalau Kinan melakukan ini juga karena ulah Papa?"

Harris tidak lagi mondar-mandir, dan menatap putri yang selama ini menjadi anak yang paling penurut padanya. Anak kebanggaannya, kini ia menatap tajam Harris membuat pria berumur lima puluhan itu mendengus.

"Itu karena kebodohannya sendiri."

"Papa pernah nggak mikirin perasaan Kinan? Gimana sakitnya selalu dibilang bodoh sama Papa?!"

"Jangan ikut-ikutan jadi bodoh, Kirana. Kamu tahu pasti yang dilakukan oleh adikmu itu salah"

"Lalu jika salah, Papa ingin Kinan sekalian mati aja, gitu?!"

"Lebih baik dari pada terus menerus jadi pembangkang!"

"Kirana enggak tahu ternyata Papa setega itu. Yang gila itu sebenarnya Papa!"

"Jaga ucapanmu Kirana!"

"Selama Kirana pikir, Papa bertindak seperti ini untuk kebaikan kami, karena Papa ingin yang terbaik buat kami. Tapi Papa siapa yang tega berharap agar anaknya mati saja dari pada menentangnya?! Apa sebenarnya Kirana salah selama ini percaya sama Papa?!"

Mulut Harris terkatup, aura menakutkan keluar dari wajahnya yang memerah. Tapi sepertinya Kirana sudah lelah menahan pertanyaan itu sejak dulu. Terlanjur basah, Kirana menceburkan diri saja kali ini.

"Kirana pikir dengan mematuhi semua keinginan Papa maka itu yang terbaik. Kirana pikir Papa melakukannya karena sayang sama kami, tapi apa? Ternyata Kirana salah."

"Kirana...."

Hanum yang sudah sadar dari syoknya menyadari diamnya tidak akan berguna, maka dari itu ia harus segera menghentikan pertengkaran ini sebelum keadaan semakin parah. Ia berdiri mengusap punggung Kirana memenangkan emosi yang hampir meledak itu.

"Berhentilah bertengkar, ini rumah sakit kalian lupa?" Kata Hanum mencoba menjadi penengah di antara mereka.

Harris yang sepertinya sangat terkejut dengan pertanyaan Kirana yang meragukan rasa sayangnya melenggang pergi meninggalkan Kirana yang masih menatap nyalang dirinya.

"Kendalikan emosimu, Kirana...," bisik Hanum.

"Kirana jadi mikir, apa nggak cukup Kirana aja yang jadi boneka Papa? nggak cukup Kirana aja yang kehilangan mimpi, Ma?"

"Kamu tahu alasan di balik semua itu, kenapa bertanya lagi?"

"Hanya gara-gara keegoisan Papa, Kirana jadi melukai perasaan Kinan. Hanya gara-gara ingin jadi anak penurut Kirana jadi melupakan bahwa Kinan sudah sangat menderita," tangis Kirana pecah.

Predestinasi (Tamat✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang