2. Cinta Itu Buta

8.6K 861 20
                                    

2. Cinta itu buta

Terkadang, aku ingin sekali menyangkal perkataan orang yang bilang kalau persahabatan antara laki-laki dan perempuan adalah suatu ketidakmungkinan. Karena aku bisa membuktikannya sendiri. Aku dan Raga adalah buktinya. Kita bisa menjalin pertemanan sampai selama ini.

Tidak jarang, kita memang seperti sepasang insan yang menjalin kasih, seperti berkirim pesan, telfonan sampai larut malam hanya untuk mendengar keluh kesah Raga mengenai banyak hal, kita juga sering memajang foto selfie di sosial media yang kata orang-orang terlihat mesra, padahal hanya sebatas foto berdua yang menurutku malah terlihat konyol.

Kita juga sering nonton berdua, jalan-jalan berdua tanpa tujuan karena Raga yang menyeretku untuk ikut. Dan hal lainnya yang aku rasa memang tidak seharusnya kita lakukan berdua hanya dengan status teman. Mungkin ini yang namanya teman rasa pacar.

Tapi jujur saja, aku nyaman bersama Raga. Mungkin bukan hanya aku wanita yang merasakan hal itu saat bersamanya. Meski menyebalkan, dia juga pandai membuatku tertawa. Tapi diluar rasa nyaman itu, aku tak merasakan apapun padanya.

Apa aku takut kehilangannya? Ya, tentu saja! Tapi sungguh, aku tidak mencintainya, karena aku memiliki cintaku sendiri.

Namanya Hadinata Fahreza. Dulu dia adalah kakak kelasku, dan kini menjadi kakak tingkatku, dan satu lagi, dia adalah mantanku. Iya, aku memang wanita gagal move on yang menyedihkan.

Hadinata yang biasa dipanggil Nata itu jahat. Dia jahat karena mengatakan dia mencintaiku tapi juga membagi cintanya untuk wanita lain. Jahat, 'kan?! Dan bodohnya, kenapa aku tetap tidak bisa move on darinya?

Kuakui, dia semakin tampan setiap harinya. Sempat ada rasa menyesal karena aku yang menyudahi hubungan dengannya padahal dia sudah meninggalkan selingkuhannya itu demi aku.

Katanya, dia masih mencintaiku. Tapi hati sudah terlanjur patah. Jadi aku memutuskan untuk menyudahi begitu saja. Kukira, akan semudah itu aku melupa. Nyatanya, 2 tahun berlalu, rasa ini masih sama.

Raga selalu mengolok kisah percintaan gilaku, dia bilang, "heran sama cewek, udah diselingkuhin tapi tetep masih sayang. Lagian gantengan aku daripada si Nata."

Dan dengan senang hati, aku mendebatnya, "cewek itu, kalau udah cinta yah pake hati. Gak mandang fisik, dan seringnya gak perduli meski udah disakitin berkali-kali. Kalau udah sayang, yah pokoknya sayang. Kalau udah cinta, yah pokoknya cinta."

"Pantesan sering nangis. Padahal yang dinangisin udah jalan sama cewek lain. Kasian."

Percayalah, saat itu ingin sekali rasanya aku hempaskan Raga ke Pluto. Tapi sayangnya, yang dikatakan dia ada benarnya juga.

"Kamu juga sering bikin cewek patah hati!" aku menghardiknya karena memang dia seringkali mematahkan hati wanita.

"Aku gak salah. Mereka aja yang terlalu berharap."

"Itu karena kamu kasih mereka perhatian yang gak seharusnya. Cewek itu gampang baper, tau."

"Tapi kamu enggak."

Aku terdiam. Lagi-lagi Raga benar. Aku tidak baper padanya meski dia seringkali bersikap sangat manis padaku. Bahkan lebih manis dari perlakuan Nata dulu. Tapi, tetap masih ada Nata yang memenuhi relung hatiku.

Benar kata orang, cinta itu buta.

Aku pun kembali menimpali ucapan Raga kala itu.

"Setiap cewek itu beda-beda, Raga. Kebanyakan dari mereka itu gampang berharap kalau dikasih perhatian lebih."

"Nah, jadi salah siapa?"

"Ya salah kamu, lah!"

"Salah mereka, lah. Aku gak kasih harapan ke mereka. Aku kan orangnya memang perhatian."

"Tapi kan gak semua cewek harus kamu kasih perhatian lebih!"

"Namanya juga cowok."

"Namanya juga cowok, nyakitin cewek itu jadi hal biasa," sindirku padanya. Namun dia tidak terima.

"Pada dasarnya, bukan aku yang nyakitin. Mereka lah yang nyakitin diri sendiri karena lebih sering pakai hati ketimbang logika."

Aku menjawab lagi, "karena itu lah sifat alamiah wanita. Hati kita itu lebih lembut dari laki-laki, lebih tulus, lebih penyayang, apalagi kalau udah punya keluarga sendiri. Jadi kamu gak bisa menyalahkan wanita soal itu. Kalau kamu udah tau wanita lebih sering pakai hati, seharusnya kamu yang lebih sering pakai logika tuh sadar dan berhenti buat nyakitin hati wanita."

Dan sejak perdebatan itu, Raga tidak pernah lagi membuat argumen mengenai laki-laki dan wanita. Entah dia malas berdebat, atau sudah mengaku kalah.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang