25. Ruang Spesial

3.8K 496 16
                                    

25. Ruang Spesial

Kejadian sore tadi, membuatku tak bisa tidur malam ini. Karena nyatanya, itu bukanlah mimpi.

Aku pikir, Raga sudah tidak waras. Apa dia ingin menghancurkan persahabatan kita? Apa dia tidak memikirkan akibatnya sebelum memtuskan untuk berkata seperti itu?

Awalnya, aku tertawa mendengar ucapan Raga. Aku kira dia hanya bercanda, atau cuma prank. Tapi kemudian, dia berkata dengan raut seriusnya.

"Aku gak bercanda, Ta. Aku serius."

Tawaku pun meredup kala itu. Aku terdiam. Lalu, mengangkat tangan untuk meyentuh kening Raga, aku takut dia demam, makannya jadi melantur. Tapi ternyata dia tidak demam. Tanganku malah digenggam olehnya.

Aku menarik tanganku darinya. Dia memberiku pertanyaan, kenapa kita gak pacaran aja? Lantas, aku pun bertanya balik padanya. "Kenapa kita harus pacaran?"

Dan dengan cepat, dia menjawab pertanyaan balasanku itu, "karena kita udah sama-sama nyaman."

"Raga, nyaman aja gak cukup buat membangun suatu hubungan! Lagi pula, kamu tau kalau banyak perbedaan antara kamu sama aku."

"Dan karena perbedaan itu kita jadi saling melengkapi."

Aku menggeleng. Tidak, ini semua tidak benar.

"Aku gak bisa, Raga."

"Kenapa?"

"Karena kita sahabat!"

"Terus kenapa kita gak bisa lebih dari sahabat?"

Aku diam, enggan memberikan jawaban.

Lalu aku berdiri, enggan berdebat lagi mengenai masalah ini. Namun Raga menahanku, ia masih menuntut jawaban untuk pertanyaanya.

"Kenapa, Ta?"

"Karena aku gak mau kehilangan kamu, Raga!"

Ya, itu lah alasan terbesarku.

"Kamu gak akan kehilangan aku."

"Tapi kalau pacaran, kita bisa putus."

"Kalau gitu kita jangan putus."

Raga memang pandai sekali berdebat. Apalagi, kalau ia sudah bertekad untuk memenangkan perdebatan.

"Apa alasan kamu?" Aku bertanya-tanya mengapa Raga membicarakan hal ini sekarang. "Kenapa kita harus pacaran? Apa cuma karena nyaman? Dan kenapa kamu bilang ini sekarang?"

"Karena kamu gak pernah peka."

Apa maksudnya?

"Aku bingung gimana caranya nyatain perasaan ke kamu. Jadi, aku selalu selipin di tengah obrolan kita. Tapi kamu gak pernah sadar."

Jadi selama ini, Raga sudah berusaha menyatakan perasaannya. Tapi perasaan apa? Demi Tuhan, aku baru saja bangun, otakku belum bisa sepenuhnya mencerna setiap hal yang Raga katakan.

"Maksud kamu apa sih, Ga?" Aku benar-benar kebingungan.

"Aku sayang sama kamu, Talita!"

Deg

Kalau saja aku punya riwayat penyakit jantung, sudah pasti detik itu juga aku dilarikan ke rumah sakit.

Lalu setelah itu, aku hanya mematung. Kita hanya saling pandang dalam diam. Kulihat kesungguhan dari mata Raga. Binar harap pun dapat kulihat di sana.

Jadi, selama ini Raga menyimpan rasa padaku? Bagaimana bisa? Dia selalu terlihat biasa saja saat kita bersama, tidak pernah terlihat gugup, apalagi jaim. Karena biasanya, saat seseorang berhadapan dengan orang yang dicintainya, dengan otomatis dia akan jaga image, tapi Raga tidak. Lalu bagaiman aku bisa percaya?

"Apa kamu gak pernah sekalipun punya rasa sama aku?"

Aku menunduk. Bukan berusaha mengingat, karena aku memang ingat. Aku hanya tidak mau mengatakannya.

"Pernah, kan?"

"Tapi udah lama. Dulu, waktu SMA, karena kamu baik sama aku, kamu perhatian sama aku, aku pikir aku spesial. Tapi sejak aku tau kalau kamu baik sama semua perempuan, aku jadi tau kalau aku juga sama kaya perempuan lainnya. Sejak itu, aku gak pernah berharap apa-apa sama kamu lagi."

Ya, aku tidak punya pilihan lain selain mengatakan yang sejujurnya pada Raga. Aku mendengar helaan napasnya, disusul dengan bisikan lirihnya.

"Sekarang kamu punya ruang spesial di hati aku."

Jantungku seperti berhenti berdetak, lalu berdebar cepat. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa Raga tak sepandai aku yang bisa menahan perasaanku sendiri hingga berakhir lupa.

"Kenapa kita gak coba dulu?"

"Aku gak mau coba-coba lagi, Ga. Ini soal hati, mana bisa buat bahan percobaan?!"

Raga mengangguk setuju. "Aku tau kita udah sama-sama dewasa. Memang bukan waktunya lagi buat coba-coba soal perasaan. Karena itu aku baru nyatain ini ke kamu sekarang. Aku mau serius sama kamu. Aku mau kamu jadi yang terakhir."

Aku terhanyut mendengar kalimatnya. Raga terdengar begitu bersungguh-sungguh. Kejadian beberapa hari ini seperti sudah digariskan.

Dari mulai aku yang ingin mencari seseorang yang baru. Lalu ibuku yang namanya Harum, menyarankan aku untuk bersama Raga. Lalu di sore yang sama saat Raga menyatakan perasaanya, saat aku tertidur, aku bermimpi menikah dengan Raga. Jadi, apakah ini pertanda kalau dia adalah jodohku?

"Aku kasih kamu waktu untuk pikirin jawabannya. Semoga jawaban kamu sesuai sama harapan aku."

"Gimana kalau aku jawab gak bisa?"

"Kamu gak bisa karena alasan kamu takut kehilangan aku?"

Aku pun mengangguk, memang itu lah alasanku. Karena aku pun selalu nyaman bersama Raga meski dia menyebalkan.

"Kamu gak akan kehilangan aku kalau kamu mutusin buat terima aku di hidup kamu. Tapi kalau memang jawaban kamu itu, maka kamu bener-bener akan kehilangan aku."

Bukankah, aku tidak punya pilihan lain?

"Aku gak bisa jawab sekarang."

"Kalau gitu nanti malem!"

Aku hendak membantah, namun dengan cepat dia mengatakan, "titik."

Raga pun memenangkan perdebatan yang dimulainya.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang